JAKARTA,SumselPost.co.id – Politisasi identitas semakin menggandakan kompleksitas tantangan kebinekaan kita. Pengalaman demokrasi prosedural kita menunjukkan bahwa hajatan elektoral merupakan momentum yang mendeterminasi politisasi identitas. Kondisi tersebut tergambar dalam Pilkada DKI 2012, Pilpres 2014, Pilkada 2017, dan Pilpres 2019, serta dalam Pilkada Serentak 2020—utamanya di Jawa Barat dan Sumatera Utara.
Data longitudinal SETARA Institute mengenai Kondisi Kebebasan Beragama/Berkeyakinan (2007-2022) menunjukkan bahwa politisasi identitas dalam Pemilu atau Pilkada kerap menjadi pemicu terjadinya intoleransi dan pelanggaran atas Kebebasan Beragama/Berkeyakinan (KBB). Bahkan, ketika upaya untuk menangani satu persoalan intoleransi dan pelanggaran KBB menemui titik terang, politisasi identitas kembali mengacaukannya.
Di sisi lain, tahun 2019 menjadi salah satu momen pelajaran berharga mengenai implikasi politisasi identitas. Bukan hanya dalam konteks dampak, tetapi realitas bahwa politik identitas masih digunakan sebagai salah satu strategi pemenangan.
Implikasi politisasi identitas jelas bertolakbelakang dengan esensi demokrasi. Demokrasi memberikan landasan dan ruang bagi pelaksanaan prinsip persamaan dan kesederajatan manusia. Dalam kerangka demokrasi, keberagaman mestinya mendapatkan arena dan ruang penguatan. Dengan kesetaraan semua orang, tanpa melihat identitas dan menimbang kuantitas secara akumulatif, harmoni dan kehidupan berdampingan secara damai di tengah perbedaan (peaceful coexistence) akan lebih mudah tercapai. Dalam kesetaraan, solidaritas antar sesama terbangun dari keadaan saling membutuhkan, sehingga tak ada yang ditinggalkan (no one left behind).
Namun praktik politisasi identitas telah menciptakan pembelahan atau polarisasi. Politisasi identitas melahirkan situasi sosio-kultural yang intoleran dan diskriminatif. Politisasi identitas menempatkan kelompok minoritas dalam kerentanan (vulnerability).
Salah satu upaya untuk mencegah daya rusak politisasi identitas dalam Pemilu 2024, masyarakat mesti memiliki kapasitas mengenai bagaimana mencegah dan menangani politisasi identitas yang terjadi. Mereka mesti memiliki pengetahuan tentang politisasi identitas dalam Pemilu, juga keterampilan untuk mencegah terjadinya politisasi identitas, serta kemampuan untuk menangani jika politisasi identitas dalam rangka Pemilu 2024 terjadi di ruang-ruang publik.
Di antara hal yang perlu dilakukan untuk memitigasi politik identitas dan polarisasi adalah penguatan kapasitas masyarakat untuk memiliki kesadaran mengenai dampak negatif dari politik identitas. Dengan begitu, diharapkan masyarakat turut berpartisipasi dalam penguatan kualitas demokrasi. Selain itu, diperlukan pelibatan lebih banyak kelompok reformis di setiap daerah untuk memastikan keberlanjutan dan penguatan dampak. Oleh karena itu, pelibatan partisipasi generasi muda juga menjadi penting.
Demikin disampaikan Ketua Dewan Nasional SETARA Institute kepada wartawan di Jakarta, Rabu (30/8/2023).
Dalam konteks itu, SETARA Institute bekerjasama dengan Pengurus Besar Jemaat Ahmadiyah Indonesia (PB JAI) menyelenggarakan roadshow ke kota-kota, seperti Jakarta, Bandung, Sukabumi, Salatiga, Pekanbaru, Kediri, dan beberapa kota prioritas lainnya untuk melakukan peningkatan kapasitas untuk mencegah dan menangani politisasi identitas jelang Pemilu 2024.
Menurut Kandali Ahmad Lubis, Pengurus Umur Kharijiah PB JAI, “Pelatihan ini dimaksudkan untuk menopang keberagaman dalam ke-Indonesia-an yang lebih kokoh. Selain itu, pelatihan ini juga diharapkan akan mempertemukan aktor-aktor kunci di kota setempat untuk secara bersama-sama berkolaborasi menguatkan kohesi dan inklusi sosial yang memiliki daya lenting terhadap dinamika Pemilu”.
“Pelatihan ini melibatkan elemen masyarakat sipil di tingkat lokal dari kalangan usia muda. Mereka berasal dari elemen yang beraneka ragam dan inklusif. Dengan mendorong kolaborasi kelompok muda di daerah setempat, diharapkan mereka akan menjadi pemelihara solidaritas dan pencegah terjadinya dinamika destruktif terkait Pemilu, sekaligus pegiat advokasi jika terjadi politisasi identitas,” kata Ikhsan Yosarie, Koordinator program roadshow peningkatan kapasitas masyarakat sipil ini.
Pelatihan peningkatan kapasitas masyarakat sipil untuk mencegah politik identitas, sejauh ini, sudah dilaksanakan di dua kota, yaitu di Jakarta (11-12 Juli 2023) dan Bandung (26-27 Agustus 2023).
Peserta pelatihan ini adalah elemen muda masyarakat sipil setempat dengan rentang usia 17-25 tahun. Dalam pelatihan di Jakarta dan Bandung, latar belakang peserta berasal dari Penghayat Kepercayaan, Baha’i, Katolik, Protestan, Hindu, Konghucu, Ahmadiyah, dan perwakilan media serta aktivis keberagaman.
Pembicara dan narasumber dalam dua kegiatan yang sudah dilaksanakan adalah Tim SETARA Institute (terdiri dari Ikhsan Yosarie, Sayyidatul Insiyah, Nabhan Aiqoni, dan Sahbani Siregar), Ahmad Masihudin (JAI), Teo Reffelsen (Pengacara Publik Pilnet), dan Arfi Pandu (Jakatarub).(MM)
Komentar