Koalisi Sipil: Aduan Kemhan RII terhadap Tempo ke Dewan Pers Mengancam Demokrasi dan Kebebasan Pers

Nasional121 Dilihat
banner1080x1080

JAKARTA,SumselPost.co.id – Media adalah pilar demokrasi, sebagai manifestasi dari kebebasan berekspresi, yang salah satu elemen utamanya adalah kebebasan pers. Kebebasan berekspresi menjadi instrumen kunci dari demokrasi yang dibutuhkan untuk melindungi warga dari penguasa yang sewenang-wenang. Sebab suatu pemerintahan yang demokratis mensyaratkan warganya dapat menilai kinerja pemerintahannya. Penilaian membutuhkan asupan, penelaahan dan penyebaran informasi, termasuk melalui media.

Oleh karenanya keberadaan media menjadi niscaya, sebagai sumber dan penyeimbang informasi yang diasup masyarakat. Dengan pertimbangan tersebut, kami memandang laporan Kemhan kepada Dewan Pers terkait dengan liputan Majalah Tempo tentang rencana penerapan darurat militer yang dituduh hoax (8/9/2025), justru berisiko mengancam kebebasan pers dan demokrasi.

“Sudah seharusnya Presiden mengambil sikap tegas dalam hal ini, mengingat Kemhan sebagai kementerian yang beririsan langsung dengan militer, sehingga tidak sepatutnya juga masuk terlalu jauh berkaitan dengan pelaksanaan kebebasan berekspresi. Darurat militer sendiri merupakan kewenangan mutlak dari Presiden, sebagaimana diatur UU No. 23/PRP/1959 tentang Keadaan Bahaya, yang tidak didelegasikan pada Menteri Pertahanan,” demikian Koalisi Masyarakat Sipil: Imparsial, Centra, Initiative, Raksha Initiatives, HRWG, Koalisi Perempuan Indonesia (KPI), DeJure, PBHI, Setara Institute, LBH Apik, dan WALHI di Jakarta, Rabu (10/9/2025).

Baca Juga  Di KTT Prancis, Puan - Presiden Macron Sepakat Tingkatkan Kerjasama Kedua Negara

Liputan Tempo mengenai rencana penerapan darurat militer, menyikapi kerusuhan-kerusuhan yang terjadi sebagai imbas dari unjuk rasa, menurut Koalisi, seharusnya dilihat sebagai bentuk kontrol publik terhadap penyelenggaraan pemerintah. Darurat militer _(martial law)_ merupakan suatu pilihan kebijakan yang sangat berisiko bagi penikmatan kebebasan sipil, mengingat tindakan-tindakan pembatasan yang mungkin dilakukan, atas nama kedaruraratan.

“Dalam situasi state emergency, demokrasi dan HAM akan direstriksi sedemikian rupa. Oleh karenanya menjadi penting bagi publik untuk mengkritisi rencana ini, untuk memastikan hak-hak mereka tidak dikurangi, dan untuk menghindari risiko terjadinya pelanggaran HAM yang sistematis,” kata Koalisi.

Apalagi informasi-informasi yang beredar melalui sejumlah media, Koalisi menilai mengindikasikan dugaan sejumlah oknum TNI yang terlibat memprovokasi terjadinya kerusuhan, dengan memanfaatkan momentum unjuk rasa. Kemhan seharusnya fokus untuk merespons dugaan-dugaan tersebut, dengan mendorong TNI melakukan penyelidikan internal. Juga memastikan TNI melakukan pemeriksaan secara terbuka kepada personel-personel TNI yang diduga terlibat dalam insiden tersebut, dan memberikan penjelasan kepada publik secara transparan.

Baca Juga  Komisi XII DPR Bakal Sambangi Perusahaan Tambang Nikel Perusak Raja Ampat

Selain itu lanjut Koalisi, Kemhan dan TNI seharusnya memberikan akses seluas-luasnya kepada tim pencari fakta independen, maupun juga Komisi Nasional HAM (Komnas HAM), untuk melakukan investigasi secara mendalam, terkait dengan peristiwa kekerasan yang terjadi sepanjang aksi unjuk rasa, termasuk dugaan keterlibatan anggota mereka. Akses tersebut penting sebagai informasi yang akan melengkapi bukti-bukti yang telah didapatkan melalui berbagai instrumen lainnya, seperti media massa, hasil investigasi masyarakat sipil, dan lain-lain.

“Sudah semestinya Kemhan dan TNI mendukung penuh seluruh upaya untuk memastikan akuntabilitas dan pertanggungjawaban atas peristiwa kekerasan yang terjadi, termasuk apabila dugaan keterlibatan oknum TNI juga terbukti. Prinsip persamaan di muka hukum (equality before the law) harus ditekankan, sebagai pilar penting dari negara hukum,” ungkapnya.

Lebih lanjut, kaitannya dengan pemberitaan Tempo, Koalisi menilai konten jurnalistik yang dihadirkan ke publik, telah sepenuhnya mengikuti metode dan prosedur jurnalistik, seperti keharusan cover bothside, dengan berupaya untuk menghubungi Menteri Pertahanan untuk meminta klarifikasi. Meskipun pada akhirnya Menhan tidak merespon permintaan Tempo tersebut, dan mereka telah menginformasikannya di dalam pemberitaan.

Selain itu, terdapat pula liputan wawancara khusus Panglima TNI yang dimuat dalam salah satu rubrik majalah tersebut, yang menunjukkan upaya Tempo untuk memberikan informasi yang berimbang. “Artinya, Tempo telah mengikuti seluruh kaidah-kaidah kode etik jurnalistik di dalam pemberitaannya. Jadi tidak seharusnya Kemhan justru menyengketakan hasil pemberitaan Tempo ke Dewan Pers, karena justru akan menjadi momok dan ancaman bagi kebebasan pers ke depan,,” jelas Koalisi.

Baca Juga  Puan Sampaikan Perlindungan WNI dan Pekerja Migran pada Ketua DPR Malaysia

Terakhir, terkait dengan pelaporan ini, Kami mendorong supaya Dewan Pers tetap independen dan fair dalam menangani aduan Kemhan tersebut, untuk memastikan media, khususnya Tempo, tetap menjadi pilar demokrasi untuk Indonesia yang berperadaban. “Oleh karena, tanpa kebebasan berekspresi—termasuk melalui media, warga negara tidak dapat melaksanakan haknya secara efektif untuk berpartisipasi dalam pembuatan kebijakan publik, apabila mereka tidak memiliki kebebasan untuk mendapatkan informasi dan mengeluarkan pendapatnya serta tidak mampu untuk menyatakan pandangannya secara bebas,” pungkas Koalisi.

Kontak Person: Ardi Manto (Imparsial), Julius Ibrani (PBHI), Daniel Awigra (HRWvG), Wahyudi Djafar (Raksha Initiatives), Mike Tangka (KPI), Bhatara Ibnu Reza (DeJure), dan AlAraf (Centra Initiative). (MM)

Komentar