Patahkan Klaim Jambi, Sejarawan Sumsel Sepakat Awal Kedatuan Sriwijaya di Palembang

Berita Utama147 Dilihat
banner1080x1080

Palembang, Sumselpost.co.id – Sejumlah sejarawan Sumatera Selatan (Sumsel) memastikan bahwa awal berdirinya Kedatuan Sriwijaya memang berpusat di Palembang.

Penegasan ini sekaligus membantah pernyataan Prof. Dr. Agus Aris Munandar dari Departemen Arkeologi FIB Universitas Indonesia, yang sebelumnya mengemukakan argumen bahwa Sriwijaya berpusat di Jambi.

Menurut Prof. Dr. Farida R. Wargadalem, sejarawan dari Universitas Sriwijaya (Unsri), bukti paling kuat bahwa Palembang adalah pusat Sriwijaya bersumber dari prasasti-prasasti kuno yang ditemukan di wilayah ini.

“Dalam ilmu sejarah, sumber tertulis adalah yang paling valid. Ada tiga prasasti utama yang mendukung bahwa Sriwijaya berpusat di Palembang, yaitu Prasasti Kedukan Bukit, Prasasti Talang Tuwo, dan Prasasti Telaga Batu,” jelas Prof. Farida, Kamis (13/11/2025).
Ia menjelaskan, Prasasti Kedukan Bukit bertarikh tahun 682 M menyebutkan perjalanan suci Siddhayatra yang dilakukan Dapunta Hyang Sri Jayanasa untuk mendirikan kedatuan Sriwijaya . Ini menandai berdirinya Sriwijaya di wilayah Palembang.

Sementara itu, Prasasti Telaga Batu berisi daftar jabatan dalam pemerintahan Sriwijaya—mulai dari putra datu hingga pejabat bawahannya. “Prasasti ini menunjukkan adanya struktur pemerintahan yang kuat di tempat prasasti itu ditemukan. Jadi, di situlah pusat kekuasaan berada,” katanya.

Adapun Prasasti Talang Tuwo (684 M) berisi pemberian hadiah berupa taman kepada rakyat oleh sang raja, sebagai simbol kemakmuran dan kemurahan hati pemimpin Sriwijaya.

“Ketiga prasasti ini saling berkaitan, baik dari isi maupun jarak waktunya yang hanya terpaut dua tahun. Ini memperkuat bahwa semua aktivitas pemerintahan dan sosial itu terjadi di wilayah yang sama—yakni Palembang,” tambah Prof. Farida.

Secara geografis menurut Farida, Palembang sejak dahulu dikenal sebagai wilayah berair dengan banyak sungai dan lebak. Kondisi ini menjadikan transportasi sungai sangat vital. Daerah-daerah bertoponimi talang menandakan wilayah yang lebih tinggi dan menjadi tempat pemukiman kuno, termasuk lokasi ditemukannya sejumlah prasasti Sriwijaya.

Menariknya, Prof. Farida juga menyinggung temuan Prasasti Baturaja, yang memuat kisah pemberontakan di daerah Minangga. Ia menjelaskan bahwa lokasi yang disebut Minangga Tamwan dalam prasasti Kedukan Bukit diyakini berada di wilayah Ogan Komering Ulu (OKU).

“Penemuan ini memperkuat bukti bahwa aktivitas Sriwijaya memang berlangsung di Sumatera bagian selatan, bukan di Jambi. Dari Minangga, pusat pemerintahan kemudian berpindah ke Palembang karena kondisi geografisnya yang lebih strategis,” ujarnya.

Terkait anggapan bahwa tidak ada bangunan candi di Palembang, Prof. Farida menegaskan hal itu keliru. Kondisi geografis yang berair membuat bangunan batu sulit bertahan, namun bukti arkeologis tetap ada.
“Di Prasasti Geding Suro misalnya, hasil ekskavasi menunjukkan adanya tiga struktur candi dari abad ke-7 hingga ke-8. Lapisan-lapisan tanah di sana memperlihatkan kesinambungan antara masa Sriwijaya, masa kerajaan, dan masa Kesultanan Palembang,” jelasnya.

Bangunan bata yang ditemukan di Geding Suro bahkan memiliki kemiripan dengan candi-candi di Muara Jambi, menunjukkan hubungan budaya dan keagamaan antardaerah di masa itu.

Lebih lanjut, Prof. Farida menekankan pentingnya membedakan antara pusat pemerintahan dan pusat keagamaan.
“Bukit Siguntang adalah pusat keagamaan, sementara pusat pemerintahan berada di kawasan Satu Ilir, Palembang. Ini sama halnya dengan Borobudur atau Muara Takus yang merupakan pusat keagamaan, bukan pusat pemerintahan,” katanya.

Ia menambahkan, situs Muara Jambi yang sering disebut sebagai pusat Sriwijaya justru berasal dari abad ke-11 hingga ke-14, jauh setelah masa kejayaan Sriwijaya abad ke-7 hingga ke-10. Selain itu, tidak ada prasasti yang menunjukkan Muara Jambi sebagai pusat pemerintahan.

“Bukti-bukti prasasti, lokasi temuan, serta kesinambungan budaya semuanya mengarah ke Palembang. Jadi, kalau kita berbicara tentang Sriwijaya, maka kita sedang berbicara tentang Palembang,” tutup Prof. Farida.

Hal senada dikemukakan Dr. Dedi Irwanto, M.A sejarawan dari Universitas Sriwijaya (Unsri). Menurutnya, bukti-bukti historis dan arkeologis yang ditemukan di Palembang sangat kuat menunjukkan bahwa kota inilah yang menjadi pusat pemerintahan Sriwijaya.

“Sriwijaya merupakan salah satu kerajaan tertua di Nusantara. Keberadaannya pertama kali dikenal lewat penelitian C.F. Cœdès pada 1920-an yang menafsirkan isi Prasasti Kota Kapur dan berbagai catatan Tiongkok. Berdasarkan temuan itu, Cœdès menyimpulkan bahwa Sriwijaya adalah nama sebuah kerajaan besar, bukan nama seorang raja, dan pusatnya berada di Palembang,” kata Ketua Pusat Kajian Sejarah Sumatera Selatan (Puskass) ini.
Ia menambahkan, sejumlah prasasti penting memperkuat teori tersebut, di antaranya Prasasti Kedukan Bukit, Telaga Batu, dan Talang Tuwo.

“Prasasti Kedukan Bukit mencatat bahwa pada 16 Juni 682 M, Raja Dapunta Hyang mendirikan wanua Sriwijaya. Sementara Prasasti Telaga Batu menyebutkan struktur pejabat kerajaan dari tingkat tertinggi hingga terendah, yang menunjukkan adanya pusat pemerintahan di sekitar Telaga Batu — dekat lokasi PT Pupuk Sriwijaya saat ini. Prasasti Talang Tuwo juga memperlihatkan aktivitas ekonomi dan sosial kerajaan lewat pembangunan taman Sri Ksetra,” paparnya.

Selain itu, Prasasti Kota Kapur dan Prasasti Palas Pasemah menunjukkan ekspansi kekuasaan Sriwijaya ke wilayah lain seperti Jawa dan Lampung. Prasasti Karang Berahi bahkan menegaskan bahwa pengaruh Sriwijaya meluas hingga Jambi, yang pada masa itu masih menjadi bagian dari wilayah kekuasaan Palembang.

“Jadi jelas, Palembang adalah pusat awal Kedatuan Sriwijaya. Jambi dan wilayah lain seperti Bangka Belitung maupun Lampung merupakan daerah kekuasaan Sriwijaya, bukan pusatnya,” tegas Dedi.

Lebih lanjut, Dedi menjelaskan bahwa berbagai artefak yang ditemukan di dasar Sungai Musi turut memperkuat dugaan bahwa Palembang adalah pusat peradaban Sriwijaya. Temuan-temuan itu antara lain arca, keramik kuno, hingga mata uang Dinasti Bani Umayyah dari abad ke-7.

“Benda-benda itu membuktikan adanya perdagangan internasional dan interaksi lintas budaya, termasuk awal masuknya pengaruh Islam di masa Sriwijaya,” ungkapnya.

Menurutnya, artefak tersebut kemungkinan merupakan barang berharga masyarakat Palembang yang dibuang ke Sungai Musi saat serangan dari Kerajaan Cola (Kola Mandala) pada abad ke-11.

“Itu menjelaskan mengapa banyak peninggalan Sriwijaya ditemukan di dasar sungai, bukan di daratan,” katanya.
Menanggapi teori Prof. Agus Aris Munandar yang menyebut Candi Muara Jambi sebagai bukti keberadaan Sriwijaya di Jambi, Dedi menyebut argumen itu kurang tepat secara kronologis.

“Candi Muara Jambi baru dibangun sekitar abad ke-11, jauh setelah masa kejayaan Sriwijaya yang dimulai pada abad ke-7. Sementara di Palembang, peninggalan-peninggalan masa awal Sriwijaya sudah jelas terlihat,” jelasnya.

Ia juga menilai bahwa wacana pemindahan pusat Sriwijaya ke Jambi memiliki muatan politis, apalagi berbarengan dengan proyek revitalisasi kawasan Candi Muara Jambi.
“Kita perlu berhati-hati agar pengakuan sejarah tidak diseret ke arah politik. Jangan sampai fokus penelitian dan pengembangan sejarah Sriwijaya di Palembang berkurang,” ujarnya.

Dr. Dedi mendorong para akademisi dan arkeolog Sumatera Selatan untuk menghidupkan kembali penelitian tentang Sriwijaya, terutama setelah tidak aktifnya Balai Arkeologi di Palembang dalam satu dekade terakhir.

“Kita harus memperbanyak riset agar bukti-bukti ilmiah semakin kuat. Palembang memiliki kontinuitas sejarah dari masa Sriwijaya hingga Kesultanan Palembang, dan itu menjadikannya unik,” pungkasnya.
Sedangkan Dr. Kemas Ar Panji, S.Pd., M.Si., sejarawan dari Universitas Islam Negeri (UIN) Raden Fatah Palembang, klaim yang menyebut Jambi sebagai pusat Sriwijaya tidak didukung oleh bukti sejarah yang kuat.

“Kalau kita lihat hasil FGD yang disampaikan oleh Prof. Agus dan tim di Jambi, itu sebenarnya merupakan klaim panitia yang ingin menyatakan bahwa Jambi adalah pusat Kerajaan Sriwijaya. Namun hal itu bertentangan dengan keputusan dan penelitian sebelumnya yang telah menetapkan Palembang sebagai pusat Sriwijaya,” ujar Kemas.

Ia menambahkan, meskipun banyak bukti arkeologis di Palembang yang telah hilang akibat pembangunan dan kondisi alam, berbagai peninggalan masih menunjukkan jejak kuat peradaban Sriwijaya di wilayah tersebut.

“Temuan ini diperkuat dengan hasil ekskavasi arkeologi yang pernah dilakukan dan kini sudah dipaparkan ke publik,” kata anggota Tim Ahli Cagar Budaya (TACB) Kota Palembang ini.

Kemas menjelaskan, bangunan-bangunan pada masa Sriwijaya umumnya terbuat dari bahan alami seperti kayu dan bata merah, sehingga tidak dapat bertahan ratusan tahun. Selain itu, perubahan lanskap akibat masa Kesultanan Palembang, penjajahan Belanda, hingga masa awal kemerdekaan, turut menyebabkan banyak peninggalan kuno rusak atau hilang.

“Masa Kesultanan Palembang menandai peralihan dari nuansa Buddhis ke Islam. Banyak situs Buddha, termasuk candi-candi dan prasasti, yang sempat hancur dan baru digali kembali pada masa kolonial Belanda,” tambahnya.

Kemas menegaskan, berdasarkan sumber sejarah tertulis seperti prasasti abad ke-7, bukti kuat menunjukkan Palembang sebagai pusat pemerintahan Sriwijaya pada masa awal kejayaannya.

“Sumber tertulis memiliki nilai sejarah yang lebih tinggi dibanding bukti yang lain. Prasasti-prasasti yang ditemukan di Palembang berasal dari abad ke-7, jauh lebih tua dibanding catatan yang ditemukan di wilayah lain,” jelasnya.

Namun demikian, ia tidak menampik kemungkinan bahwa Sriwijaya pernah mengalami perpindahan pusat kekuasaan pada periode selanjutnya.

“Mungkin saja pada abad ke-11 hingga ke-13, pusat pemerintahan Sriwijaya sempat berpindah ke Jambi. Namun, yang jelas, peradaban Sriwijaya bermula dari Palembang,” tegas Kemas.

Ia berharap perdebatan mengenai lokasi pusat Sriwijaya tidak sekadar menjadi klaim wilayah, melainkan didasari kajian ilmiah yang komprehensif.

“Palembang adalah peradaban tertua Sriwijaya. Klaim bahwa Jambi adalah ibu kota Sriwijaya harus ditinjau ulang secara ilmiah dan proporsional,” pungkasnya.
Sebelumnya dalam Seminar Nasional

“Kedigdayaan Melayu Jambi” yang dibuka Wakil Gubernur Jambi Abdullah Sani, Sabtu (8/11/2025), sempat memanas dengan paparan salah satu narasumber utamanya. Arkeolog ternama dari Universitas Indonesia (UI) secara telak menggugat teori yang telah mapan puluhan tahun, yakni Ibu kota Sriwijaya bukan di Palembang, melainkan di Jambi.

Adalah Prof. Dr. Agus Aris Munandar dari Departemen Arkeologi FIB UI yang melemparkan argumen kuat ini dalam seminarnya yang bertajuk “Kawasan Arkeologi Muarojambi, dan Srivijaya”, yang digagas LAM Provinsi Jambi itu.
Selama ini, sarjana G. Coedes adalah yang pertama kali menyatakan Palembang sebagai lokasi Sriwijaya, dan pendapat ini dipegang teguh oleh banyak ahli.

Namun, Prof. Agus membeberkan sejumlah keraguan fundamental terhadap teori itu.
Prof. Agus mempertanyakan minimnya peninggalan arkeologi yang mengesankan di Palembang.

“Tidak dijumpainya peninggalan arkeologis yang mengesankan seperti candi dan kompleks monumen keagamaan dalam jumlah besar di Palembang,” paparnya dalam materi presentasi.

Lebih tajam lagi, ia menginterpretasi ulang prasasti-prasasti yang justru ditemukan di Palembang, seperti Prasasti Kedukan Bukit. Menurutnya, prasasti yang menyebut ‘jayasiddhayatra’ (perjalanan ziarah yang berhasil) dan upaya Sri Jayanasa membangun ‘wanua’ (permukiman baru) justru membuktikan Palembang bukan ibu kota.

“Tafsirnya wilayah Palembang bukan lokasi ibu kota,” tegasnya.

Ia berpendapat, prasasti-prasasti itu menunjukkan Palembang adalah wilayah yang didatangi atau ditaklukkan oleh Raja Sriwijaya, yang datang dari tempat lain.

Komentar