JAKARTA,SumselPost.co.id – Ketua MPR RI Bambang Soesatyo (Bamsoet) meluncurkan satu buku “PPHN Tanpa Amandemen”. Menurutnya, yang pertama, yang paling ideal adalah dengan Amandemen terbatas. Yaitu, perubahan terbatas UUD 1945 khususnya Pasal 2 dan Pasal 3 Ayat (1) UUD 1945, yang memasukkan substansi kewenangan MPR menyusun PPHN dan pengawasan pelaksanaan PPHN oleh DPR RI.
Demikian disampaikan Bamsoet dalam diskusi Empat Pilar dengan tema ”PPHN Tanpa Amandemen” bersama Wakil Ketua DPR RI (2014-2019) Fahri Hamzah, Anggota Komisi III DPR Muhammad Nasir Djamil, dan pengamat politik Pangi Syarwi Chaniago di Gesung MPR RI Senayan Jakarta, Rabu, (29/3/2023).
Kedua, tanpa Amandemen, yaitu melalui Revisi UU No.12 Tahun 2011 sebagaimana telah diubah dengan UU No.15 tahun 2019 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, dengan menghapus Penjelasan Pasal 7 ayat (1); atau judicial review Penjelasan Pasal 7 Ayat (1) UU No. 12 Tahun 2011 sebagaimana diubah 2 dengan UU No.15 tahun 2019 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
“Sehingga TAP MPR dalam hirarki perundang-undangan hidup kembali dan tidak terbatas pada TAP-TAP MPR yang sudah ada sebagaimana disebutkan dalam penjelasan Pasal 7 Ayat (1). (yaitu TAP MPR dan TAP MPRS yang masih berlaku sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 4 TAP MPR No. I / MPR / 2002 tentang Peninjauan terhadap materi dan status hukum TAP MPR Tahun 1960 sampai dengan Tahun 2002,” jelas Bamsoet.
Ketiga, mengubah atau revisi Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (MD3) sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2019, dengan memasukkan penambahan substansi kewenangan MPR dalam menyusun dan menetapkan
PPHN.
Di samping itu lanjut Bansoet, saat ini Pimpinan MPR telah
menugaskan Badan Pengkajian MPR dan Komisi Kajian Ketatanegaraan untuk mempersiapkan draft
RUU tentang MPR (terpisah dengan DPR dan DPD), mengingat ketentuan Pasal 2 ayat 1, Pasal 19, dan 3 Pasal 22C dalam UUD NRI Tahun 1945, mengamanatkan bahwa keberadaan lembaga MPR, DPR dan DPD adalah diatur dengan Undang-Undang.
Frase itu “diatur dengan Undang-Undang” – bukan “diatur dalam” menekankan bahwa pengaturan mengenai MPR, DPR, dan DPD memerlukan adanya undang-undang tersendiri.
Keempat, PPHN ditetapkan dalam sebuah undang-undang, menggantikan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan
Pembangunan Nasional.
Kelima, MPR menetapkan PPHN melalui konvensi ketatanegaraan lembaga tinggi negara untuk
menghasilkan konsesus nasional yang berbasis pada kewenangan masing-masing lembaga tinggi negara, untuk memastikan PPHN berjalan berkesinambungan,
terintegrasi dan berkelanjutan, mulai dari pusat hingga daerah; Mulai dari undang-undang hingga petaruran desa.
Urgensi TAP MPR
Dari lima konsep di atas menurut Bamsoet , konsep kedua dan kelima
merupakan konsep terbaik, karena judicial review dengan mengembalikan kewenangan MPR
dan mengeluarkan TAP baru (yang bersifat mengatur/regeling) dan konvensi ketatanegaraan merupakan sumber hukum tata negara yang memiliki kekuatan
hukum mengikat dalam praktik berhukum di Indonesia maupun di dunia internasional.
“Mengapa MPR penting mendapatkan kembali kewenangan mengeluarkan TAP MPR (yang bersifat/mengatur/regeling)? Karena sebagaimana diketahui, TAP MPR merupakan salah satu solusi manakala terjadi kebuntuan konstitusi dan kedaruratan atau kegentingan yang memaksa, seperti halnya Presiden yang memiliki kewenangan Perppu manakala terjadi kedaruratan atau kegentingan yang memaksa,” ungkapnya.
Melalui disertasi berjudul “Peranan dan Bentuk Hukum Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN) sebagai Payung Hukum Pelaksanaan Pembangunan Ber-kesinambungan dalam Menghadapi Revolusi Industri 5.0 dan Indonesia Emas’
“Saya juga mengingatkan Indonesia tidak boleh menjadi negara gagal dan mengalami kebangkrutan seperti Srilangka dan Ghana. Tidak boleh juga seperti tiga negara lainnya yang saat ini terancam sebagai negara 5 gagal, yaitu Pakistan, Mesir dan Bangladesh. Indonesia juga tidak boleh terancam mengalami krisis
perekonomian, khususnya krisis keuangan yang dikategorikan sebagai kahar fiskal,” jelas.Bamsoet lagi.
Karena itu, Indonesia perlu menghadirkan Pokok- Pokok Haluan Negara (PPHN) sebagai produk hukum yang dapat mencegah sekaligus menjadi solusi
mengatasi persoalan yang dihadapi oleh negara dengan menggunakan kewenangan subjektif superlatif MPR RI sebagai lembaga tertinggi negara.
“Kewenangan subjektif superlatif itu juga penting berada di MPR jika negara dihadapkan pada situasi
kebuntuan politik antar lembaga negara atau antar cabang kekuasaan. Misalnya, kebuntuan politik antara lembaga kepresidenan (pemerintah/eksekutif) dengan lembaga DPR (legislatif). Atau bagaimana jika terjadi kebuntuan politik antara Pemerintah dan DPR (eksekutif dan legislatif) dengan lembaga Mahkamah Konstitusi (yudikatif)? Atau terjadi sengketa kewenangan lembaga negara yang melibatkan MK. Padahal sesuai asas peradilan yang berlaku universal, yaitu nemo judex idoneus in propria causa (hakim tidak dapat menjadi hakim bagi 6 dirinya sendiri), maka MK Mtidak dapat menjadi pihak yang berperkara dalam sengketa lembaga negara?” katanya.
Krusial
Lalu, siapa yang berhak memutuskan jika terjadi suatu kondisi force majeure atau kahar fiskal dalam skala besar, namun terjadi kebuntuan antara Presiden dan DPR?Mengingat, dalam Pasal 22 UUD 1945 yang terdiri atas tiga ayat menyatakan sebagai berikut :
(1) Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang.
(2) Peraturan pemerintah itu harus mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat dalam
persidangan yang berikut.
(3) Jika tidak mendapat persetujuan, maka peraturan pemerintah itu harus dicabut.
Lalu, jika terjadi perseteruan antara Presiden (pemerintah) dengan DPR, sementara negara masih dalam situasi kedaruratan yang tinggi, siapa yang
menengahi?
Lalu, pernahkah kita membayangkan jika pasangan capres dan cawapres hanya satu pasang? Dalam UU Pemilu Pasal 235 Ayat (4), Pilpres masih memungkinkan untuk terus dilanjutkan, setelah perpanjangan 2×7 hari.
Bagaimana jika satu-satunya pasangan Capres-Cawapres, ternyata tidak memenuhi persyaratan yang ditentukan dalam Pasal 6A Ayat (3) UUD NRI Tahun 1945, yang menyatakan bahwa :
Pasangan Capres dan Cawapres yang mendapatkan suara lebih dari 50% dari jumlah suara dalam Pemilu dengan sedikitnya 20 % suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia.
Sebelumnya pada Pemilu 2014 MK pernah memutuskan, syarat sebaran suara tidak tidak berlaku karena Pilpres 2014 hanya diikuti 2 pasang calon.
Mengacu pada penyelenggaraan Pilkada, adanya calon tunggal tidak lantas membuat calon tunggal
tersebut serta merta secara aklamasi diangkat menjadi kepala daerah. Dalam sistem Pilkada dikenal adanya pemilu antara pasangan calon tunggal yang akan melawan kotak kosong. Lalu bagaimana kalau kotak kosong yang menang?
Merujuk pada Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 13 Tahun 2018, apabila perolehan
suara pada kolom kosong lebih banyak, maka KPU akan menetapkan penyelenggaraan pemilihan kembali pada pemilihan serentak periode berikutnya.
“Adapun waktu diselenggarakan Pilkada kembali yaitu pada tahun berikutnya atau dilaksanakan sebagaimana jadwal sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Bagaimana dengan Pilpres?” Di sinilah pentingnya PPHN itu,” tegas Bamsoet.(MM)
Komentar