JAKARTA,SumselPost.co.id – Pada pekan ini banyak media mengutip pernyataan Ketua Umum DPP PKB Muhaimin Iskandar tentang penghapusan jabatan gubernur. Usulan utama dari Cak Imin sebenarnya penghapusan pemilihan gubernur secara langsung, bukan pada penghapusan jabatan gubernur.
Penghapusan jabatan gubernur bukan hal pokok dan prioritas. “Bisa iya, bisa juga tidak. Tergantung efektivitas pemerintahan privinsi setelah dilakukan penataan ulang dalam pemilihan gubernur,” kata Wakil Ketua Komisi II DPR RI Yanuar Prihatin, Rabu (1/2)..
Kenapa pemilihan langsung gubernur perlu ditinjau ulang? Menurut Yanuar, Pertama, pragmatisme politik dalam pemilihan langsung di Indonesia sudah pada tingkat membahayakan demokrasi, moral, mental dan akhlak para elit dan masyarakat. Namun, tidak bisa menghentikan anomali ini secara mendadak dan tanpa pertimbangan matang.
“Kita harus mencari solusi yang paling mungkin untuk diterapkan. Salah satunya adalah memangkas pemilihan langsung dalam pemilihan gubernur/wakil gubernur. Sehingga peluang untuk mengurangi materialisme dan pragmatisme politik menjadi berkurang dalam pilkada, yakni dalam pilkada di tingkat provinsi,” ujarnya.
Kedua, konsep otonomi daerah di Indonesia bertumpu pada kabupaten/kota, bukan pada tingkat provinsi. Sehingga tugas dan kewenangan gubernur sebenarnya terbatas. Lebih banyak berurusan dengan aspek administratif dan protokoler pemerintahan daerah. Tugas gubernur lebih berorientasi pada koordinasi, pengawasan, monitoring, sinkronisasi dan pelaporan.
Dikatakan, jika pemerintahan provinsi melakukan program-program sektoral itu lebih banyak karena tugas pembantuan dari pemerintah pusat, yakni dalam rangka pencapaian prioritas nasional.
Ketiga, posisi dan kedudukan gubernur adalah wakil pemerintah pusat di daerah. Gubernur bukan kepala daerah yang otonom dalam melaksanakan tugas, fungsi dan kewenangannya. Bila tugas dan kewenangannya terbatas, kenapa harus dipilih langsung? “Kasihan calon-calon gubernur/wakil gubernur harus merogoh kocek yang besar untuk sebuah jabatan yang tidak otonom,” ungkap Yanuar lagi.
Karena itu, pemilihan gubernur/wakil gubernur sebaiknya dikembalikan ke DPRD Provinsi. Ada beberapa opsi yang bisa diperdalam.
Pertama, DPRD memilih dan menetapkan pasangan calon gubernur/wakil gubernur yang diusulkan partai politik, sebagaimana terjadi sebelum pilkada langsung.
Kedua, DPRD Provinsi hanya memilih dan mengusulkan 2 atau 3 pasang calon gubernur/wakil gubernur. Selanjutnya diusulkan kepada pemerintah pusat. Presiden yang akhirnya memilih dan menetapkan salah satu pasangan calon sebagai gubernur/wakil gubernur definitif.
Ketiga, presiden mengusulkan 2 atau 3 pasangan calon, kemudian DPRD provinsi yang memilih dan menetapkannya dalam rapat paripurna.
Keempat, cara lain yang tidak dianjurkan, presiden menunjuk calon gubernur/wakil gubernur di suatu provinsi, tanpa keterlibatan pihak manapun. Semacam hak prerogatif presiden, seperti layaknya menunjuk jabatan menteri.
Diantara empat opsi tersebut lanjut Yanuar, pilihan yang keempat akan membuat presiden full power. Dan harus dihindari karena berpotensi abuse of power dalam penyelenggaraan pemerintahan.
“Jangan lupa, posisi dan kedudukan pemerintahan provinsi sebenarnya mirip dengan pemerintahan kecamatan. Bedanya, pemerintahan provinsi adalah penghubung antara pemerintah pusat dengan pemerintahan kabupaten/kota. Sementara pemerintahan kecamatan adalah penghubung antara pemerintahan kabupaten/kota dan pemerintahan desa/kelurahan,” pungkasnya.(MA)
Komentar