Indonesia Rawan Bencana, DPR Desak Pemerintah Perkuat Mitigasi dan Kebijakan Bencana Nasional

Nasional14 Dilihat
banner1080x1080

JAKARTA,SumselPost.co.id — Anggota Komisi V DPR RI dari Fraksi PKS, Yanuar Arif Wibowo, menilai pemerintah perlu melakukan pembenahan serius dalam kebijakan mitigasi bencana menyusul rentetan bencana alam yang terjadi di sejumlah wilayah Indonesia. Menurutnya, bencana yang berulang harus menjadi alarm bagi pemerintah untuk memperkuat kesiapsiagaan, komunikasi publik yang empati rakyat, hingga evaluasi menyeluruh terhadap tata kelola kelestarian hutan.

Demikian Yanuar Arif Wibowo dalam diskusi “Refleksi Akhir Tahun : Membangun Solidaritas Bersama Di Tengah Bencana”, bersama mantan Jubir Presiden Prabowo, Ujang.Komarudin, yang digelar Koordinatoriat Wartawan Parlemen (KWP) bekerja sama dengan Biro Pemberitaan DPR RI, di Gedung DPR RI Senayan, Jakarta, Selasa (2/12/2025)

Yanuar menyebut kondisi geografis Indonesia yang berada di wilayah rawan bencana semestinya dihadapi dengan instrumen mitigasi yang matang dan berkelanjutan. “Indonesia ini hidup di atas potensi kebencanaan yang luar biasa. Maka perangkat mitigasi harus dipersiapkan sejak awal. Tidak seperti perang yang masih bisa diprediksi dan dipersiapkan, bahwa bencana alam itu bisa datang kapan saja, sehingga pemerintah wajib mengantisipasi dengan kebijakan berbasis sains dan kesiapan teknis lainnya.

Menurut Yanuar, Komisi V DPR selama enam bulan intens berdiskusi dengan BMKG, dimana peta kebencanaan itu sebenarnya sudah tersedia, namun implementasinya sering tak sejalan dengan kebutuhan di lapangan. “Para pejabat jangan lalu memberikan pernyataan yang memicu amarah rakyat. Masa 631 jiwa meninggal, 472 hilang dan 3 jutaan warga terdampak dianggap biasa saja? Empati itu penting,” kata Yanuar.

Ia mengkritik sejumlah pejabat yang menurutnya tidak mencerminkan kepekaan terhadap situasi korban. Hal itu, justru dapat memicu kemarahan masyarakat yang tengah berduka dan berjuang memulihkan diri.

Yanuar mencontohkan pengalamannya meninjau lokasi longsor di Majenang, di mana mitigasi sebenarnya sudah dilakukan sejak dua minggu sebelum kejadian. Namun skala longsor yang terjadi jauh lebih besar dari estimasi, sehingga banyak warga yang tetap menjadi korban. “Longsor itu bergerak sampai dua kilometer dengan ketebalan lumpur tujuh meter di titik paling ujung. Banyak korban di rentang 500—1.500 meter yang tidak tersentuh,” paparnya.

Ia mendorong pemerintah berani melakukan investasi besar untuk mitigasi, termasuk kesiapan alat, teknologi monitoring, hingga penguatan kapasitas pemerintah daerah. Menurutnya, keterbatasan anggaran daerah sering membuat penanganan bencana tak optimal.

“Makanya beberapa kepala daerah berteriak agar ini ditetapkan sebagai bencana nasional. Supaya resolusi nasional bisa dibawa, rehabilitasi bisa cepat dilakukan,” ujarnya.

Yanuar menambahkan bahwa selain faktor teknis, pejabat publik juga harus menghadirkan komunikasi yang menenangkan masyarakat, terutama relawan dan korban yang sedang berjuang. “Yang dibutuhkan itu kesejukan, bukan pernyataan yang mendiskon apa yang terjadi di lapangan. Jangan sampai mereka merasa tidak dianggap,” ujarnya kecewa.

Ia menyerukan refleksi nasional atas rangkaian bencana yang kerap terjadi menjelang akhir tahun. Yanuar berharap pemerintah pusat dapat memberikan perhatian lebih, apa pun status bencana yang ditetapkan, agar percepatan pemulihan di daerah terdampak bisa segera dilakukan.

Pengamat politik Ujang Komarudin menilai respons pemerintah terhadap banjir dan longsor besar yang melanda Sumatera Barat, Sumatera Utara, dan Aceh masih belum menunjukkan empati dan koordinasi nasional yang memadai. Tugas pemerintah bukan sekadar memberikan bantuan, tetapi memastikan komunikasi publik yang objektif, sensitif, dan mampu menenangkan masyarakat di tengah situasi krisis. “Pengalaman masa lalu saat menangani kebakaran hutan dapat menjadi pelajaran penting,” kata Ujang.

Tenaga Ahli Utama Kantor Komunikasi Kepresidenan RI ini pun mengingatkan penanganan bencana memerlukan pengerahan seluruh sumber daya nasional, terlepas dari apakah status bencana ditetapkan sebagai bencana nasional atau tidak.

“Pemerintah bukan hanya berkewajiban mengerahkan bantuan, tetapi juga memastikan informasi disampaikan dengan empati. Semua kekuatan nasional harus dicurahkan untuk mengatasi bencana ini,” tegas Ujang.

Ujang menilai banjir dan longsor yang kini terjadi seharusnya dapat diantisipasi lebih baik. Merujuk pada peringatan BMKG yang telah dikeluarkan beberapa hari sebelumnya mengenai potensi hujan dengan intensitas tinggi.

Sementara itu, pemerintah daerah, menurut Ujang, berada dalam kondisi sumber daya terbatas. Beberapa daerah terdampak bahkan mengakui tidak memiliki alat berat maupun perlengkapan esensial untuk merespons bencana secara cepat. “Hal ini mendorong tiga kepala daerah meminta pertolongan langsung kepada pemerintah pusat. Mereka tidak punya akses memadai. Makanan tidak ada, jalur terputus, dan mereka meminta tolong ke pusat. Itu adalah jeritan kebatinan,” ujarnya.

Ujang juga menyoroti merosotnya semangat gotong royong di sejumlah wilayah. Ia menilai berbagai skema bantuan dan program pemerintah justru secara tidak langsung membuat masyarakat semakin bergantung pada insentif finansial, sehingga nilai kebersamaan kian pudar.

“Ada pergeseran gotong royong. Dahulu masyarakat langsung bergerak, sekarang menunggu upah. Ini terjadi di banyak daerah,” katanya.

Ujang mengajak pemerintah, masyarakat sipil, hingga kalangan kampus untuk menghidupkan kembali solidaritas nasional. Menurutnya, bencana di akhir tahun ini harus menjadi momentum untuk mempersatukan bangsa, bukan memunculkan kegaduhan akibat komentar pejabat yang tidak sensitif.

Ia menekankan bahwa banyak pihak, termasuk kampus dan organisasi pemuda, telah menggalang dana dan turun langsung memberikan bantuan. Namun tidak cukup, sehingga membutuhkan peran negara secara penuh. “Apa pun statusnya—bencana nasional atau bukan—yang dibutuhkan adalah pengerahan total sumber daya. Jika punya uang, bantu. Jika punya jaringan, gerakkan. Jika hanya bisa berdoa, lakukan.”

Ujang juga menyoroti akar persoalan ekologis, termasuk kerusakan hutan yang membuat daerah semakin rentan terhadap banjir dan longsor. Ia mengingatkan bahwa rehabilitasi lingkungan memerlukan waktu panjang dan komitmen kuat.

“Menanam pohon tidak instan. Saya menanam durian saja dua tahun baru tiga meter. Rehabilitasi hutan butuh waktu dan konsistensi,” ujarnya.

Menurut Ujang bencana ini merupakan cermin yang menuntut bangsa untuk kembali pada solidaritas, empati, dan kerja kolektif. “Bencana ini harus menjadi refleksi bersama. Kita dipanggil untuk membantu saudara-saudara yang sedang kesulitan,” pungkasnya. (MM)

Postingan Terkait

Postingan Terkait

Komentar