JAKARTA,SumselPost.co.id – Larangan tayangan hasil jurnalisme investigasi itu sebagai tindakan ikonstitusional, karena tidak sejalan dengan kemerdekaan mengemukakan pendapat dan tidak sesuai dengan nilai-nilai demokrasi. Sehingga media tidak dapat lagi melakukan fungsi kontrol sosial.
“Larangan itu berpotensi melahirkan kewenangan/kekuasaan semena-mena. Mendorong maraknya perilaku koruptif oleh pejabat publik karena masyarakat tidak berdaya melakukan kontrol sosial,” tegas komunikolog Indonesia Emrus Sihombing, Selasa (14/5/2024).
Selain itu kata Emrus, akan memusnahkan salah satu karya jurnalistik yaitu investigation reporting. “Saya mengusulkan kepada pemerintah pusat agar menolak larangan penayangan jurnalisme investigasi tersebut.
Sebelumnya Persatuan Wartawan Indonesia atau PWI mengkritik sejumlah pasal yang termuat pada draft Rancangan Undang-Undang atau RUU Penyiaran. Pasalnya, sejumlah Pasal tersebut dinilai berpotensi menghambat tugas jurnalistik.
Ketua Umum PWI, Hendry Ch Bangun, menyebut, larangan untuk menyiarkan konten ekslusif jurnalisme investigasi sebagaimana yang dimuat pada Pasal 50 B Ayat (2) RUU Penyiaran tertanggal 27 Maret lalu, berbenturan dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.
Hendry mengatakan, selama ini semua berita di seluruh platform masuk ke wilayah UU Pers dan ditangani oleh Dewan Pers, apabila ada sengketa atau pengaduan masyarakat. “Kalau UU Penyiaran versi baru ini tetap seperti ini tentu ada benturan antara UU Pers dan UU Penyiaran yang baru,” ujar Hendry saat dihubungi Tempo pada Senin, 13 Mei 2024.
Hendry menilai, kerja jurnalistik tidak boleh dibatasi dengan dalih apa pun. Pers bekerja untuk memenuhi hak masyarakat atas informasi yang benar. Larangan untuk menyiarkan konten ekslusif jurnalisme investigasi jelas berupaya menghambat tugas jurnalistik.
Padahal, kata Hendry, jurnalistik investigasi amat dibutuhkan karena sumber-sumber resmi sulit memberikan informasi yang dibutuhkan oleh wartawan. Hal ini berlaku tidak hanya di media cetak tapi termasuk juga media penyiaran.
Selain itu, RUU Penyiaran ini juga akan mengakibatkan adanya bentrok penyelesaian pengaduan yang akan membuat bingung masyarakat dan pelaku pers. Pasalnya, selama ini KPI hanya mengurusi isi siaran non berita. Dengan usulan UU Penyiaran baru ini, KPI punya kewenangan juga soal berita. “Bahkan istilah penyiaran diperluas ke semua jenis siaran termasuk di medsos,” ujar dia.
Dalam draf RUU Penyiaran tertanggal 27 Mei 2024 terdapat sejumlah pasal yang dikritik karena berpotensi mengancam kebebasan pers. Pasal-pasal bermasalah dalam draf RUU Penyiaran, yakni Pasal 8A huruf q dan Pasal 50 B Ayat 2 huruf c. Draf RUU Penyiaran yang diperoleh Tempo berisikan 14 BAB dengan jumlah total 149 Pasal.
Pasal 8A huruf q memberikan kewenangan Komisi Penyiaran Indonesia untuk menyelesaikan sengketa jurnalistik khusus di bidang penyiaran. Padahal selama ini kewenangan tersebut merupakan tugas Dewan Pers yang mengacu pada Undang-Undang Pers.
Kemudian Pasal 50 B Ayat 2 huruf c mengatur larangan penayangan eksklusif jurnalistik investigasi. Dalam catatan rapat pembahasan draf RUU ini, Komisi I beralasan pasal ini dimaksudkan untuk mencegah terjadinya monopoli penayangan eksklusif jurnalistik investigasi yang hanya dimiliki oleh satu media atau satu kelompok media saja.
Anggota Komisi I DPR, Mayor Jenderal (Purnawirawan) TB Hasanuddin, mengatakan DPR tidak memiliki niat untuk memberangus kebebasan pers dengan memuat pasal yang melarang siaran eksklusif jurnalisme investigasi.
Politikus PDIP itu menjelaskan, pelarangan diusulkan guna mencegah terpengaruhinya opini publik terhadap proses penyelidikan dan penyidikan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum. Hasanuddin menyebut soal pelarangan konten eksklusif jurnalisme investigasi ini masih didiskusikan karena jurnalisme investigasi itu ada banyak hal yang berpengaruh.
“Saya kira bisa dipahami. Jadi jangan sampai proses hukum yang dilakukan aparat terpengaruh konten jurnalisme investigasi,” kata Hasanuddin kepada Tempo, Sabtu, 11 Mei 2024.(MM)
Komentar