Tidak Berbasis Program, Anggaran Belanja Dihilangkan dalam RUU Kesehatan

Nasional471 Dilihat

JAKARTA,SumselPost.co.id – Sebagian anggota dan fraksi di Komisi IX DPR kecewa dengan dihilangkannya jaminan anggaran belanja atau mandatory spending kesehatan dalam RUU Kesehatan, yang sudah di tangan pimpinan DPR RI itu. Namun, pemerintah tak akan gegabah menganggarkan belanja – keuangan kesehatan, yang tidak berbasis program perencanaan kesehatan yang berkelanjutan.

Demikian diungkapkan Wakil Ketua Komisi IX DPR RI Hj Kurniasih Mufidayati dan Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kementerian Kesehatan, Siti Nadia Tarmizi dalam diskusi Forum Legislasi “Menakar Efektivitas RUU Kesehatan Mengendalikan Wabah Penyakit Menular” di Gedung DPR RI Senayan Jakarta, pada Selasa (4/7/2023).

Lebih lanjut Kurniasih mengatakan RUU Kesehatan itu sudah selesai di Panja Komisi IX DPR dan sudah diserahkan kepada pimpinan DPR RI. “Dari 9 fraksi hanya PKS dan Demokrat yang menolak RUU tersebut, meski telah dibahas dengan dinamika yang luar biasa dan kondusif,” ujarnya.

Baca Juga  Sidang Sengketa Pilpres 2024 di MK, Fahri Hamzah: Kliping Berita Bukan Alat Bukti

Menurut Kurniasih, pasal – pasal dalam RUU yang junlahnya mencapai 400 an pasal ini lebih banyak dari omnibus law, yang penjelasannya tidak detil. Karena itu pihaknya berharap detilnya, klausulnya pasal-pasal tersebut akan tertuang di dalam peraturan pemerintah (PP) terkait keterlibatan unsur tenaga kesehatan, TNI/Polri, para pakar, tokoh agama dan masyarakat dan sebagainya.

Yang paling disesalkan dari semua pasal tersebut, adalah dihilangkannya mandatory spending. Mengapa? Karena bagaimana bisa mengantisipasi sebuah wabah menular jika tak ada anggarannya. Di WHO saja mencapai 15%. “Setidaknya existing kembali antara 5% – 10%. “Untuk tangani Covid-19 saja mencapai Rp130 triliun,” ungkapnya.

Sementara itu kata Nadia, pemerintah tak akan gegabah memberikan jaminan anggaran yang tidak berbasis program perencanaan pembangunan kesehatan yang konkret. “Jadi, induk panduan rencana pelayanan pembangunan kesehatan itu harus jelas dan konkret setiap tahunnya. Sehingga tak bisa segala sesuatunya dianggarkan Rp10 miliar misalnya, namun nyatanya digunakan untuk rapat – rapat di hotel, mengecat pagar puskesmas dan lain-lain,” jelasnya.

Baca Juga  PBNU Desak Hentikan Kekerasan dan Ketidakadilan Perang di Gaza

Dengan begitu, benar apa yang disampaikan Pak Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin yang menyatakan jika bisa saja anggarannya lebih dari 10% dengan basis program kesehatan yang dihadapi di lapangan. “Nantinya terdapat metode pengganti untuk alokasi anggaran kesehatan. Kementerian Kesehatan (Kemenkes) sedang menyiapkan metode tersebut. Metode pengganti berfokus untuk memperkuat integrasi antara pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan lembaga lain.

“Nah, kami membangun mekanisme rencana induk kesehatan ini di masa depan. Mengintegrasikan ya, ini penting karena mandatory spending itu kadang-kadang sulit mengintegrasikan,” ungkap Budi Gunadi seusai Rapat Kerja bersama Komisi IX DPR RI di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta pada Senin (19/6/2023) lalu.

Baca Juga  MPR: Yang Merongrong Pancasila Menjadi Musuh Bersama Bangsa Ini

“Anggaran itu bukan berarti tidak tersedia. Selama rencana induk kesehatan itu bisa mencapai target dan anggarannya jelas, maka bisa lebih dari 10%. Seperti dalam penanganan covid-19. Jangan dengan program abstrak, tak jelas, sehingga pada akhirnya programnya hanya untuk menghabiskan anggaran yangb ada meski tak sesuai rencana induk kesehatan tersebut,” kata Nadia.(MM)

 

Postingan Terkait

Postingan Terkait

Komentar