JAKARTA,SumselPost.co.id – Regresi reformasi TNI semakin tegas terlihat dalam 9 bulan kepemimpinan Prabowo-Gibran. Setelah berbagai penempatan prajurit TNI pada jabatan sipil, ketidakpatuhan terhadap Operasi Militer Selain Perang (OMSP), hingga minimnya partisipasi bermakna dan substansi yang masih rapuh dalam muatan revisi UU TNI, kondisi regresi tersebut semakin diperpanjang dengan pengembalian status militer aktif Letjen Novi Helmy yang sebelumnya ditempatkan sebagai Direktur Utama Bulog melalui Kepmen BUMN Nomor: SK-30/MBU/02/2025 tanggal 7 Februari 2025.
Melalui pengembalian status militer aktif ini, ketidakpatuhan terhadap UU TNI semakin tampak. Bukan hanya melalui praktik penempatan di jabatan Dirut Bulog, yang notabene tidak termasuk ke dalam jabatan sipil yang diperkenankan bagi prajurit aktif mendudukinya, tetapi juga dapat menjadi preseden buruk dalam tata kelola institusi dan memicu kebingungan publik.
“Sebab, pasca memicu kritikan publik terhadap penempatan Letjen Novi Helmy sebagai Dirut Bulog pada awal Februari 2025, ketimbang membatalkan penempatan tersebut, TNI telah merespons bahwa Letjen Novi Helmy tengah dalam proses pengunduran diri sebagai tentara aktif,” demikian Ikhsan Yosarie (Peneliti HAM dan Sektor Keamanan SETARA Institute), dan Merisa Dwi Juanita (Peneliti HAM dan Sektor Keamanan SETARA Institute) di Jakarta, Sabtu (5/7/2025).
Namun lanjut Setara, ketika sorotan pengembalian status militer aktif ini mengemuka ke ruang publik, respons berbeda justru muncul dari TNI. Penjelasan Kapuspen TNI, sebagaimana telah diberitakan dalam berbagai media massa, bahwa penempatan Letjen Novi Helmy di Bulog merupakan bentuk penugasan dari institusi TNI, serta merupakan bagian dari dukungan TNI terhadap kebijakan pemerintah.
“Selain memperlihatkan penafsiran yang keliru terhadap penempatan pada jabatan sipil, penjelasan ini juga dapat memicu anggapan bahwa selama menjabat Dirut Bulog, Letjen Novi Helmy belum pensiun dini sebagaimana amanat UU TNI maupun keterangan TNI ketika merespons kontroversi penempatan tersebut. Letjen Novi Helmy dalam kondisi demikian justru hanya beralih seragam sementara,” jelas Setara.
Berkaitan dengan persoalan ini, SETARA Institute memberikan catatan sebagai berikut:
1. Pengembalian status militer aktif terhadap Letjen Novi Helmy setelah menduduki jabatan sipil menjadi potret regresi reformasi berlapis. Ketidakpatuhan terhadap UU TNI tahun 2004 (pengangkatannya dilakukan pada Februari 2025 sebelum revisi UU TNI dilakukan), mengingat jabatan Dirut Bulog tidak termasuk ke dalam Pasal 47 ayat (2), berpadu dengan pengembalian status yang dapat mengingkari ketentuan pensiun sebagaimana amanat Pasal 47 ayat (1) UU TNI terkait ketentuan menduduki jabatan sipil bagi prajurit TNI. Merujuk penjelasan Pasal 55 huruf c UU TNI, ketika pensiun, prajurit tersebut selesai melaksanakan kedinasan militer untuk kembali ke masyarakat. Pengembalian status militer aktif pasca pensiun ini juga dapat menjadi preseden yang mengganggu regenerasi di internal TNI ke depannya jika dijalankan tanpa ketentuan yang jelas.
2. Penjelasan Kapuspen TNI bahwa penempatan tersebut merupakan penugasan dari institusi TNI berpotensi bertentangan dengan UU TNI. Jika kerangka penempatan tersebut memang mengacu kepada kepatuhan terhadap UU TNI, khususnya Pasal 47 ayat (1), maka prajurit TNI terkait harus pensiun dari dinas kemiliteran untuk dapat menduduki jabatan Dirut Bulog. Konsekuensi dari pensiun tersebut adalah perubahan status dari prajurit ke warga sipil. Sehingga, rantai komando maupun representasi institusi TNI menjadi tidak relevan, karena telah menjadi bagian dari otoritas sipil terkait.
3. Penjelasan Kapuspen TNI bahwa salah satu pertimbangan bahwa kembalinya status Letjen Novi Helmy perwira TNI ke dinas aktif kemiliteran disebabkan dan/atau pertimbangan kebutuhan organisasi dan pembinaan personel, dapat berkonsekuensi terhadap perlunya evaluasi menyeluruh penempatan prajurit TNI pada berbagai jabatan sipil. Evaluasi tersebut diperlukan juga untuk memastikan kebutuhan postur organisasi TNI tidak terganggu, serta preseden ini tidak berulang. Pasal 11 UU TNI telah spesifik mengamanatkan bahwa Postur TNI dibangun dan dipersiapkan sebagai bagian dari postur pertahanan negara untuk mengatasi setiap ancaman militer dan ancaman bersenjata.
“Dalam kerangka reformasi TNI dan kepatuhan terhadap UU TNI, semestinya berbagai praktik maupun kebijakan regresif ini perlu dievaluasi, baik oleh Presiden maupun oleh Panglima TNI. Sebab dukungan TNI terhadap kebijakan pemerintah, semestinya tetap dilakukan dalam kerangka reformasi TNI dan UU TNI,” pungkasnya. (MM)
Komentar