SETARA: Revisi Kilat UU Pilkada, Bukti Tidak ada Kepemimpinan Konstitusi

Nasional430 Dilihat

JAKARTA,SumselPost.co.id – Persetujuan Badan Legislasi DPR RI atas revisi UU Pilkada yang mengklaim merupakan tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi terkait syarat pengajuan calon gubernur, bupati, walikota, ‘merupakan bentuk vetokrasi sebagian elit politik’ yang terlanjur nafsu menguasai seluruh ruang-ruang politik kontestasi Pilkada serentak 2024.

‘Vetokrasi dalam konteks revisi UU Pilkada berbentuk kesepakatan elit yang memveto aspirasi publik dan kepemimpinan interpretasi konstitusi’ yang sebelumnya oleh Mahkamah Konstitusi (mk) melalui Putusan 60/PUU-XXII/2024 berupaya menyelamatkan demokrasi dari hegemoni dan tirani mayoritas.

Demikian disampaikan Azeem Marhendra Amedi, Peneliti Hukum dan Konstitusi SETARA Institute di Jakarta, Rabu (21/8/2024) malam.

Baca Juga  Atlet voli desa Tanjung beringin Juara I Turnamen Tahunan se-kecamat Rupit

Lebih lanjut Azeem menilai, bukan hanya membangkangi putusan MK, revisi 7 jam atas UU Pilkada “mengandung cacat materiil dan formil,” karena rumusan syarat pencalonan ‘ditafsir sesuai selera para vetokrat untuk kepentingan menguasai semua jalur dan saluran kandidasi Pilkada.’ Penetapan syarat bervariasi yang telah ditetapkan MK, ditafsir oleh DPR sebagai tidak berlaku bagi partai yang memperoleh kursi di DPRD. “Akal-akalan tafsir juga diberlakukan terkait tafsir konstitusional genapnya usia 30 tahun bagi seorang calon gubernur/wakil gubernur, yang dihitung sejak pencalonan,” ujarnya.

Baca Juga  Diunggulkan Pemilih Muda, Pengamat: Airlangga dan Golkar Harus Percaya Diri

Menurut Azeem, putusan MK seharusnya berlaku apa adanya ketika sudah dinyatakan berkekuatan hukum tetap, final, mengikat dan self executing. Kedudukan berlakunya Putusan MK adalah selayaknya berlakunya UU. Bentuk ketidakpatuhan DPR terhadap Putusan MK tersebut juga merupakan suatu pelanggaran hukum, yang selain menabrak tatanan konstitusional juga telah merobohkan prinsip checks and balances.

Peragaan kehidupan demokrasi yang semakin rapuh, revisi kilat UU Pilkada untuk kepentingan elit dan pembangkangan putusan Mahkamah Konstitusi telah menjadi bukti tidak adanya kepemimpinan dalam interpretasi konstitusi (constitutional leadership) meski Indonesia memiliki Mahkamah Konstitusi. “Tidak ada badan lain yang paling berwenang dalam menafsir konstitusi kecuali Mahkamah Konstitusi yang memegang judicial supremacy dalam menegakkan supremasi konstitusi,” ungkap Azeem.

Baca Juga  Batasi Impor Barang Elektronik, DPR: Pemerintah Harus Perkuat Daya Saing Produk Dalam Negeri

Dengan demikian, konstitusi dan Mahkamah Konstitusi tidak lagi memegang supremasi judisial dalam menafsir konstitusi, karena pada akhirnya kehendak para vetokrat telah memenangkan kehendak segelintir elit yang tidak berpusat pada kepentingan rakyat. “Tanpa kepemimpinan konstitusi, sistem ketatanegaraan Indonesia akan semakin rapuh dan semakin menjauh dari mandat respublika, karena rakyat dan aspirasi rakyat bukan lagi menjadi sentrum perumusan legislasi dan kebijakan publik,” pungkasnya.(MM)

 

Komentar