SETARA: Penolakan Peribadatan dan Tempat Ibadah Lebih Serius dari Apa yang Disampaikan Presiden Jokowi

Nasional812 Dilihat

JAKARTA,SumselPost.co.id – Dalam Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) Kepala Daerah dan Forum Koordinasi Pimpinan Daerah (Forkopimda) di Sentul International Convention Center (SICC), Kabupaten Bogor, pada Selasa, 17 Januari 2023, Presiden Jokowi mewanti-wanti para kepala daerah peserta Rakornas untuk menjamin kebebasan beribadah dan beragama warganya.

Presiden Jokowi menegaskan bahwa kebebasan tersebut dijamin oleh UUD 1945, khususnya Pasal 29 ayat (2). Jaminan konstitusional tersebut, menurut Jokowi, tidak boleh dikalahkan oleh kesepakatan-kesepakatan yang dibuat oleh Pemerintah Daerah dengan beberapa pihak di daerah setempat, seperti kesepakatan yang dibuat pemerintah daerah dengan Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) yang melarang pembangunan tempat ibadah.

Terkait hal tersebut, Ketua SETARA Institute, Hendardi pada Selasa (17/1) menyampaikan beberapa pernyataan berikut ini:

Pertama, SETARA Institute mengapresiasi pernyataan dan arahan Jokowi kepada Pemerintah Daerah dan Forkompimda. Dalam catatan SETARA Institute, pernyataan dan arahan Presiden dalam Rakornas Forkompimda tersebut merupakan salah satu pesan terkuat yang disampaikan secara terbuka oleh Presiden, sebab secara spesifik menggarisbawahi persoalan peribadatan dan pendirian tempat ibadah sebagai salah satu persoalan utama pelanggaran kebebasan beragama/berkeyakinan di Indonesia, bukan hanya secara umum soal toleransi dan kebinekaan.

Baca Juga  1 Juni, Puan Tekankan Pentingnya Aktualisasi Pancasila untuk Generasi Muda

Namun demikian, perlu disampaikan bahwa situasi faktual persoalan peribadatan dan pendirian tempat ibadah di Indonesia lebih serius dari apa yang disampaikan oleh Presiden. Terutama dari sisi intensitas dan skalanya. Data longitudinal SETARA Institute (2007-2022) menunjukkan, telah terjadi 573 gangguan terhadap peribadatan dan tempat ibadah dalam satu setengah dekade terakhir.

Gangguan tersebut mencakup pembubaran dan menolakan peribadatan, penolakan tempat ibadah, intimidasi, perusakan, pembakaran, dan lain sebagainya. Seluruh gangguan tersebut menimpa kelompok minoritas, baik dalam relasi eksternal maupun internal agama.

Kedua, berkaitan dengan pernyataan dan arahan Presiden tersebut, Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri hendaknya melakukan langkah progresif untuk menghilangkan ketentuan-ketentuan diskriminatif di dalam PBM 2 Menteri (yang sering juga disebut sebagai SKB 2 Menteri).

Aturan-aturan diskriminatif tersebut menjadi pemicu bagi terjadinya penolakan dan pembatasan hak seluruh agama (khususnya kelompok minoritas) untuk beribadah dan mendirikan tempat ibadah, seperti yang diutarakan oleh Presiden. Misalnya, syarat administratif dukungan 90 orang Jemaat dan 60 orang di luar Jemaat nyata-nyata memberikan hambatan serius bagi terjaminnya hak konstitusional untuk beribadah yang oleh Pasal 29 ayat (2) diberikan kepada setiap orang atau tiap-tiap penduduk.

Baca Juga  Silaturahmi Elit Politik Menciptakan Iklim Kompetisi Pemilu yang Sehat

Peraturan perundang-undangan di bawah konstitusi mestinya hanya mengatur untuk memfasilitasi hak warga negara yang dijamin oleh Konsitusi Negara.

Berkenaan dengan hal ini, Menteri Agama RI, Yaqut Cholil Qoumas, sebenarnya sudah sejak dua tahun lalu berjanji kepada publik untuk mempermudah pendirian tempat ibadah kelompok minoritas dan meninjau ulang PBM 2 Menteri tahun 2006. Hal itu disampaikan Menteri Agama dalam forum yang diselenggarakan oleh Persekutuan Gereja-Gereja Indonesia (PGI) pada 21 Januari 2021. *Namun, hingga kini janji tersebut tak kunjung ditunaikan.

Ketiga, dalam analisis SETARA Institute, diskriminasi dan restriksi dalam bentuk pelarangan peribadatan dan pendirian tempat di daerah yang kerap terjadi, diakibatkan oleh rendahnya kapasitas daerah* dalam isu tata kelola kebinekaan dan jaminan konstitusional atas kebebasan beragama/berkeyakinan, khususnya hak untuk beribadah dan mendirikan tempat ibadah, dengan kecenderungan menyangkal dan membiarkan terjadinya diskriminasi terhadap minoritas, atau bahkan terlibat aktif melakukan diskriminasi.

Baca Juga  Jenuh Kebisingan Politik, Fahri Hamzah Dukung KPU Majukan Pendaftaran Pilpres 2024

Hal itu diperburuk dengan seringnya pusat lepas tangan dalam kasus-kasus demikian yang terjadi di daerah. Padahal urusan agama bukanlah urusan pemerintahan yang didesentralisasi dari Pusat ke Daerah oleh UU Pemerintahan Daerah.

Dalam konteks tersebut, SETARA Institute mengusulkan agar perizinan pendirian tempat ibadah atau rumah ibadah ditarik ke Pusat dengan mekanisme administratif yang lebih dipermudah dan disederhanakan.

Keempat, SETARA Institute dalam konteks serupa mendorong agar terjadi pergeseran dan perluasan peran FKUB. FKUB sebaiknya tidak diberikan kewenangan untuk memberikan rekomendasi mengizinkan atau menolak pendirian rumah ibadah.

FKUB lebih baik dioptimalkan perannya untuk mewujudkan dan memelihara kerukunan sesuai mandat organisasionalnya dengan memperluas kampanye toleransi, ruang-ruang perjumpaan lintas agama, serta mitigasi dan resolusi konflik yang mengganggu kerukunan antar agama, termasuk mediasi dan resolusi jika terjadi kasus penolakan peribadatan dan pendirian tempat dan rumah ibadah.(MA)

 

Komentar