Pengangguran Terindikasi Akan berkurang, Fakta Atau Ilusi Semata?

Berita Utama100 Dilihat
banner1080x1080

Palembang, Sumselpost.co.id – Sejak pandemi Covid-19 melanda, menjadi pukulan yang sadis bagi level pengangguran di Indonesia. Banyak pekerja yang terpaksa harus di-PHK karena lesunya perekonomian nasional.

Beberapa pekerja bahkan harus bertaruh nyawa karena dilema PPKM dan kewajiban mencari nafkah. Selain itu, beberapa perusahaan raksasa juga harus gulung tikar karena biaya produksi tidak sebanding dengan pemasukan. Meski begitu, tingkat pengangguran di Indonesia 2025 ini diprediksi akan lebih baik dari tahun lalu.

Benarkah demikian?
Melansir kontan.co.id, 28/2/2022, Danareksa Research Institute (DRI) melihat, tingkat pengangguran Indonesia berpotensi berada di level 6,24% pada 2022.

Hal itu terjadi jika pemerintah melakukan pemberlakuan perbatasan kegiatan masyarakat (PPKM) level IV.
Yusuf menambahkan, tingkat pengangguran tahun ini akan selalu ditentukan oleh pemulihan ekonomi Indonesia.

Menurutnya, meski adanya indikasi peningkatan pengangguran pada tahun ini, tetapi tingkat pengangguran tahun ini akan berpotensi sedikit lebih baik dibandingkan tahun lalu.

Baca Juga  Kondisi Sungai Enim Masih Memprihatinkan, Aktivis Muara Enim Desak DLH Bertindak Tegas

Ia memperkirakan tingkat pengangguran tahun ini berada di kisaran 6,2%—6,3% atau menurun marginal jika dibandingkan angka tingkat pengangguran terbuka (TPT) pada Agustus 2021 yang mencapai 6,49%.Perkiraan ini berdasarkan atas dua asumsi, yakni tidak ada lagi kenaikan kasus Covid-19 dan program penciptaan lapangan kerja pemerintah, baik itu investasi maupun program kewirausahaan.

Secara garis besar, ada dua hal yang dapat kita kritisi dari tingginya angka pengangguran di Indonesia, yakni penyebab pengangguran ditinjau dari faktor individual dan kebijakan negara. Dari sisi individual, pengangguran disebabkan oleh kemalasan individu itu sendiri, faktor cacat atau uzur, dan rendahnya level pendidikan, serta keterampilan.

Kemalasan individu tidak bisa dielakkan dengan kondisi sistem kehidupan saat ini. Ketika individu merasa tidak ballance dengan sistem gaji yang ada, mereka akan sesuka hati bekerja. Kalaupun pada akhirnya dipecat, alternatif berikutnya adalah mengadu nasib dalam arus perjudian.

Baca Juga  Albizia RHA : Pemangkasan anggaran sebaiknya dialokasikan ke Anggaran Pendidikan

Dan bahkan banyak yang tidak mau bekerja karena memandang tittle mereka, yakni mereka seorang sarjana atau semacamnya.
Kondisi ini diperparah dengan faktor rendahnya pendidikan dan keterampilan.

Data BPS per Februari 2021 menyebutkan bahwa penyerapan tenaga kerja di Indonesia masih didominasi masyarakat berpendidikan rendah (SMP ke bawah).

Adapun dari sisi kebijakan negara, pengangguran disebabkan ketimpangan antara penawaran tenaga kerja dan kebutuhan, kebijakan pemerintah yang cenderung tidak berpihak kepada rakyat, pengembangan sektor ekonomi nonriil, serta banyaknya tenaga kerja wanita.
Selain itu, banyak kebijakan pemerintah yang cenderung tidak memihak rakyat. Kenaikan bahan pokok, kelangkaan minyak goreng, atau tingginya aktivitas impor, semua itu secara tidak langsung memicu tingkat kenaikan pengangguran.

Baca Juga  Penyulingan Minyak Mentah di Babat Tomat Di Tertibkan Tim Gabungan

Dalam iklim investasi dan usaha, Khalifah akan menciptakan iklim yang merangsang untuk membuka usaha melalui birokrasi yang sederhana dan penghapusan pajak, serta melindungi industri dari persaingan yang tidak sehat.

Adapun dalam kebijakan sosial yang berhubungan dengan pengangguran, seharusnya pemimpin negara tidak mewajibkan wanita untuk bekerja. Karena, fungsi utama wanita adalah sebagai ibu dan manajer rumah tangga. Kondisi ini akan menghilangkan persaingan antara tenaga kerja wanita dan laki-laki. Dengan kebijakan ini, wanita akan kembali pada pekerjaan utamanya sebagai pengurus bagi anak anak mereka dan sementara lapangan pekerjaan sebagian besar akan diisi lelaki.

Oleh : Diki  dan Raden 

Komentar