MPR: Putusan MK Harus Kita Hormati, Tapi Pelaksanaan Pemilu Harus Tunggu Pembuat Undang-Undang

Nasional134 Dilihat
banner1080x1080

JAKARTA,SumselPost.co.id – Wakil Ketua Badan Sosialisasi 4 Pilar MPR RI Agun Gunandjar Sudarsa, menegaskan jika putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait pemilu dan pilkada yang harus dipisahkan tersebut harus dihormati semua pihak, karena itu memamg wewenang MK. Putusan itu bersifat final dan mengikat. Tapi, untuk pelaksanaannya harus menunggu pembuat Undang-Undamg (UU), yaitu DPR dan pemerintah.

“Kita semua harus menghormati putusan MK tersebut dan tidak perlu kaget, biasa saja. Termasuk anggota DPR RI sendiri. Kita harus paham konstitusi sebagai supremasi hukum tertinggi. Kalau biasa nyanyi ya pasti belum paham,” tegas Kang Agun sapaan akrab politisi Golkar itu.

Hal itu disampaikan Agun dalam dialektika kebangsaan MPR RI “Menata Ulang Demokrasi: Implikasi Putusan MK dalam Revisi UU Pemilu” bersama pengamat politik, Abdul Hakim MS, yang degelar Koordinatoriat Wartawan Parlemen (KWP) bekerja sama dengan Biro Humas dan Sistem Informasi Setjen MPR di Gedung MPR RI Senayan.Jakarta, Rabu (6/8/2025).

Lebih lanjut Agun menilai hanya saja putusan MK itu tidak bisa dilaksanakan sekarang ini. “Tapi, jika bicara pemilu 2029 nanti, ya harus tunggu pembuat UU, yang akan membuat atau merevisi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang pemilu yang dibatalkan MK,
sebagaimana putusan MK No.135/PUU-XXII/2024,” ujarnya.

Kang menyebut bahwa putusan MK itu hanya sebagai keputusan, sedangkan struktur UU yang paling tinggi adalah konstitusi, UUD NRI 1945. Sehingga semua harus kembali ke UUD NRI 1945. “Negara ini kan negara hukum, maka supremasi hukum itu harus ditegakkan. Jadi, semua harus kembali ke UUD. Dimana check and balancing antara lembaga tinggi negara itu dilakukan oleh UUD NRI 1945 ini. Makanya tidak ada lembaga yang tertinggi, superbody,” jelasnya.

Juga MPR, Agun minta jangan mimpi lagi menjadi lembaga tertinggi negara. Justru MPR lah yang “menganiaya” Bung Karno, Soeharto, dan Gus Dur. Cuma Ibu Megawati, SBY, dan Jokowi yang tidak diperlakukan seperti ketiga presiden itu oleh MPR RI.

Menurut Agun, berdasarkan pasal 22 E UUD 1945, pemilu yang dimaksud adalah pemilu presiden dan wakil presiden, pemilihan anggota DPR RI, DPD RI dan DPRD yang dipilih secara langsung oleh rakyat, karena kedaulatan itu ada di tangan rakyat. “Sedangkan kepala daerah harus dipilih secara demokratis,” ungkapnya.

Hal itu seperti bunyi UUD 1945, khususnya dalam Pasal 18 ayat (4). Pasal ini menyatakan bahwa “Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintahan provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis”.  Nah, kata Agun, urusan kepala daerah ini seharusmya diselesaikan oleh Mahkamah Agung (MA), bukan MK. “MK itu urusi yang supremasi hukum, bukan yang daerah-daerah begitu, agar MK itu terhormat,” tambahnya.

Dipilih secara demokratis itu maksudnya tetap penyelenggaranya adalah KPU dan Bawaslu daerah, bagaimana format, mekanisme yang demokratis tersebut. “Itu kita serahkan melalui local wisdom, kearifan politik lokal dimana daerah yang satu pasti berbeda dengan daerah yang lain. Apakah musyawarah mufakat, dipilih oleh tokoh-tokoh adat, dipilih langsung dan lain-lainnya sesuai dengan budaya dan kearifan lokal daerah,” jelas Agun.

Sementara itu kata Abdul Hakim MS menilai jika MK sering membuat norma baru yamg bukan merupakan kewenamgannya, karena hal itu merupakan wewenang DPR RI. “Kewenangan MK harusnya hanya aspek yudisial, MK hanya interpretator bukan pembentuk norma baru. Nah persoalannya MK saat ini sering membuat norma baru. Termasuk ambang batas untuk pencalonan kepala daerah,” ungkapnya. (MM)

 

Postingan Terkait

Postingan Terkait

Komentar