MPR: Desentralisasi Bermasalah, Perlu PPHN untuk Menyatukan Perencanaan Pembangunan Secara Tunggal

Nasional100 Dilihat
banner1080x1080

JAKARTA,SumselPost.co.id – Jika dalam 27 tahun reformasi ini otonomi daerah atau desentralisasi yang diatur UU.No.23 tahun 2014 ini bermasalah, bahkan banyak kepala daerah justru menjadi tersangka, pembangunan daerah lambat yang berdampak pada lambatjya pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat, sampai Bupati Pati, Jawa Tengah didemo rakyat untuk mundur akibat menaikkan pajak yang membebani rakyat, maka program pembangunan itu dibutuhkan Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN).

“Maka perlu amandemen terbatas UUD RI 1945 untuk menyusun PPHN tersebut dan menjadikan Bappenas (Badan Perencanaan Pembangunan Nasional) sebagai perencana pembanhunan tunggal nasional. Tapi, bukan berarti menarik desentralisasi menjadi sentralisasi lagi,” tegas Firman Subagyo, Anggota Badan Pengkajian MPR RI itu.

Hal itu disampaikan politisi dari Fraksi Golkar itu dalam diskusi konstitusi dan kemokrasi Indonesia “Hubungan Pusat dan Daerah (Optimalisasi Desentralisasi dan Otonomi Daerah)” yang digelar Koordinatoriat Wartawan Parlemen (KWP) bekerja sama dengan Biro Humas dan Sistem Informasi Setjen MPR bersama Anggota Badan Pengkajian MPR RI/Senator DPD RI, Dedi Iskandar Batubara, dan Peneliti Utama Politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Siti Zuhro, di Gedung MPR RI Senayan. Jakarta, Rabu (10/9/2025).

Baca Juga  Langgar Etik PSU, MKD Rekomendasikan Beniyanto Tak Maju Pemilu 2029

Lebih lanjut Firman mengatakan bahwa dasar hukumnya diatur UUD1945 bahwa akar dan dasar pengaturan hubungan pemerintah pusat dan daerah karena pemerintah mempunyai kewajiban untuk memperhatikan kehidupan masyarakat bangsa dan negara tanpa terbatas wilayah. Juga UU.No. 23 tahun 2014 tentang pemerintahan daerah. UU ini merupakan perangkat dasar yang mengatur penyelenggaraan pemerintahan daerah secara keseluruhan termasuk hubungan kewenangan antara pusat dan daerah, dan UU.No. 1 tahun 2022 tentang hubungan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. UU ini secara khusus mengatur aspek keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah

“Kelebihan dari desentralisasi dan otonomi daerah itu adalah pemberdayaan daerah. Karena desentralisasi itu memungkinkan daerah mengelola sendiri urusan pemerintahan dan pembangunan sehingga bisa meningkatkan partisipasi masyarakat untuk percepatan pembangunan daerah,” ujarnya.

Selain itu, dapat meningkatkan efisiensi pemerintahan dengan mengurangi tahapan birokrasi yang rumit untuk mempercepat pengambilan keputusan yang ideal, dan pengembangan potensi daerah. “Jadi, desentralisasi itu memungkinkan daerah untuk mengembangkan potensi dan keunggulan daerahnya untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat,” jelas Firman.

Optimalisasi

Dedi Iskandar Batubara, menyoroti melemahnya praktik desentralisasi. Ia menilai semangat otonomi daerah yang menjadi salah satu tuntutan reformasi 1998 justru semakin tereduksi akibat berbagai regulasi yang menarik kewenangan daerah kembali ke pusat.

Baca Juga  Meski Setimpal, SETARA Sebut Hukuman Mati Tetap Melanggar HAM

“Sejak reformasi, otonomi daerah adalah poin penting. Tapi hari ini kewenangan daerah makin terdistorsi. UU Minerba, Cipta Kerja, sampai kebijakan fiskal justru menarik otoritas ke Jakarta,” ujarnya.

Menurut Dedi, desentralisasi sejatinya memiliki tiga tujuan utama: politik, ekonomi, dan administratif. Namun, kondisi saat ini justru membuat daerah kehilangan peluang untuk mengelola sumber daya alam (SDA) dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

“Daerah yang kaya SDA, seperti tambang nikel atau batubara, justru dihantui angka kemiskinan yang tinggi. Kekayaannya lari ke pusat, tapi masyarakat setempat tetap miskin,” ujarnya.

Selain itu, turunnya alokasi dana transfer ke daerah (TKD) yang pada 2019 Rp 1.000 triliun, kini tinggal Rp 650 triliun atau turun 29,4 persen. Kondisi ini membuat kepala daerah semakin terbatas dalam melakukan inovasi pembangunan. “Kalau izin-izin ditarik ke Jakarta dan PAD hanya bergantung pada PBB atau pajak kendaraan, bagaimana kepala daerah bisa berinovasi?” katanya.

Siti Zuhro menilai dalam dua dekade setelah reformasi menjanjikan otonomi daerah, arah politik Indonesia kembali bergerak ke pusat. Kewenangan daerah yang dulu dijanjikan luas kini dilucuti, digantikan kontrol ketat pemerintah pusat melalui regulasi baru.

Baca Juga  Pidato Kenegaraan Presiden: Indonesia Berpeluang Besar Raih Indonesia Emas 2045

Ia mengatakan UU Minerba dan UU Cipta Kerja sebagai bukti bagaimana kewenangan strategis daerah, mulai dari pengelolaan sumber daya alam hingga tata kelola ekonomi, ditarik kembali ke Jakarta. “Selera rezim menentukan nasib otonomi. Ketika pemerintah ingin seragam, daerah kehilangan ruang berkreasi. Itu berbahaya bagi demokrasi,” kata dia..

Selama dua dekade terakhir, praktik pengawasan pemerintah pusat terhadap daerah juga tidak berjalan. Indikatornya adalah 430 kepala daerah terjerat operasi tangkap tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi. “Kalau pengawasan efektif, tidak mungkin angka OTT kepala daerah setinggi itu. Kelemahan mendasar negara ini ada di pengawasan,” ujarnya.

Relasi pusat-daerah dalam sejarah Indonesia memang selalu bergejolak. Dari demokrasi terpimpin di era Sukarno, sentralisasi Orde Baru di bawah Soeharto, hingga euforia otonomi pasca reformasi. “Kini, arah kembali berbalik: sentralisasi gaya baru. Padahal, pola seragam ala pusat berisiko mengabaikan keragaman. Kabupaten maju, sedang, dan tertinggal dipaksa mengikuti resep yang sama,” pungkasnya. (MM)

 

Komentar