Komisi VIII DPR Desak Revisi Total UU Haji dan Penguatan Diplomasi dengan Kementerian Haji Arab Saudi

Nasional205 Dilihat
banner1080x1080

JAKARTA,SumselPost.co.id  – Anggota Komisi VIII DPR RI, Hidayat Nur Wahid, mendorong reformasi total dalam penyelenggaraan ibadah haji, menyusul berbagai persoalan yang terjadi dalam pelaksanaan haji tahun 2025. Dari masalah visa, kartu nusuk, kelayakan pesawat, maktab, bus sholawat, katering, haji foroda, imigrasi harus ketat hanya visa haji yang boleh berangkat ke Arab Saudi, pelayanan kesehatan dan lain-lain.

Demikian disampaikan Hidayat Nur Wahid dalam forum dialektika demokrasi “Strategi Timwas Haji Menaikkan Standar Layanan dan Keselamatan Jamaah” bersama Timwas.Haji DPR Eddy Wuryanto, Selly Andriany
Gentina, dan perspektif media M. Munib di Gedung DPR RI Senayan Jakarta, Kamis (5/6/2025).

Menurut Hidayat, rencana peralihan penyelenggaraan haji dari Kementerian Agama ke Badan Penyelenggara Haji (BPH) mulai 2026 perlu dibarengi revisi Undang-Undang (UU) Haji secara menyeluruh baik teknis maupun diplomasi dengan otoritas Arab Saudi.

“Arab Saudi punya Kementerian Haji, sedangkan kita ke depan hanya badan. Ini tidak setara dalam konteks komunikasi antarnegara. Karenanya, revisi regulasi haji ini BPHU setara dengan kementerian haji Arab Saudi,” ujarnya.

Selain itu, Wakil Ketua MPR RI itu menyoroti sistem atau skema syarikah, pengelompokan jemaah agar tidak terpisah antara suami dan istri atau Lansia dengan keluarganya. “Juga jumlah jemaah wafat tahun ini sudah melebihi tahun lalu. Salah satunya karena pelayanan kesehatan tidak maksimal akibat dikuranginya tim medis oleh pihak Arab Saudi,” ungkapnya.

Lebih lanjut, politisi dari Fraksi PKS itu menilai lemahnya komunikasi diplomatik menyebabkan sejumlah kebijakan penting seperti pembatalan Vlvisa furoda dan tanazul untuk lansia mendadak dibatalkan. Padahal, jika informasi disampaikan lebih awal, dampaknya bisa diminimalisir.

“Visa Furoda dibatalkan tiba-tiba tanggal 26 Mei, sehingga banyak jemaah dan travel yang sudah membayar ratusan juta rupiah mengalami kerugian besar yang sesungguhnya bisa dicegah jika komunikasi antar otoritas berlangsung baik dan tepat waktu,” jelas Hidayat.

Sebagai solusi jangka panjang, Hidayat mengusulkan agar Indonesia memperjuangkan perubahan formula kuota haji di Organisasi Kerja Sama Islam (OKI), dari 1 jemaah per 1.000 penduduk menjadi 2 per 1.000.

Baca Juga  Dihadiri Jokowi, PKB Gelar Puncak Harlah ke-25 di Solo

“Jumlah umat Islam Indonesia sudah jauh bertambah, infrastruktur Arab Saudi juga sudah jauh lebih baik. Ini saatnya kuota diperbarui. Jika formula ini diterapkan, target Arab Saudi untuk melayani 6 juta jemaah dalam Visi 2030 bisa lebih cepat tercapai, dan antrean haji Indonesia bisa berkurang,” ungkapnya.

Hidayat menegaskan bahwa Komisi VIII DPR telah menjajaki kerja sama dengan negara-negara anggota OKI untuk memanfaatkan kuota haji negara lain yang tidak terpakai, seperti Kazakhstan, sebagai bentuk strategi diplomatik alternatif untuk mengatasi persoalan antrian jemaah yang makin panjang.

Catatan Timwas

Dua timwas haji Selly Andriany
Gantina dan Eddy Wuryanto menyampaikan hal yang sama, jika.masih banyak hal-hal terkait pelayanan penyelenggaraan ibadah haji ini yang harus dioptimalkan.
Baik masalah visa, kartu nusuk, kelayakan pesawat, maktab, bus sholawat, katering, haji foroda, imigrasi harus ketat hanya visa haji yang boleh berangkat ke Arab Saudi, pelayanan kesehatan dan lain-lain.

Karena itu sepulang dari Timwas Haji nanti, Komisi VIII DPR RI harus segera merevisi UU Penyelemggaraan haji dan umrah ini secepatnya. “Dimana Kemenag RI bukan lagi sebagai pelaksana, melainkan dialihkan ke BPH. Sehingga secara teknis maupun non teknis ditambah penerapan digitalisasi haji saat ini harus secepatnya diseleaaikan untuk meminimalisir masalah haji yang terus terulang selama ini,” jelas Selly.

Catatan Timwas DPR untuk BPH dalam Perbaikan Standar Layanan dan Keselamatan Jemaah haji berdasarkan hasil sidak ke sejumlah lokasi jemaah yang berada di Arab Saudi dan meninjau langsung berbagai macam aspek dari pelaksanaan ibadah haji tahun ini.

“Tentu kami menganggap strategi yang harus dilakukan pemerintah Indonesia tidak mudah, apalagi BPH selaku badan yang baru berdiri butuh penyesuaian dan kita mengetahui bahwa infrastruktur mereka pun masih mengandalkan bagian Ditjen PHU Kemenag,” kata Selly Andriany Gantina.

Selly mengungkapkan ada sejumlah strategi yang diusulkan Timwas Haji DPR RI untuk BPH agar pelaksanaan ibadah haji tahun berikutnya berjalan dengan lebih baik, salah satunya strategi pelayanan.

Menurut dia, dari hasil sidaknya bersama Timwas Haji DPR RI lain ditemukan bahwa delapan Syarikah yang menjadi pilot project dalam pelaksanaan ibadah haji justru menunjukkan bahwa koordinasi antara pemerintah Indonesia dengan pemerintah Arab Saudi masih belum bisa terlaksana sampai dengan ke tingkat bawah.

Baca Juga  Komisi III DPR: Hukum Acara Pidana Harus Lebih Berpihak pada Kelompok Rentan

“Artinya, kesepakatan antara pemerintah Indonesia yang diwakili Kementerian Agama maupun BPH selaku pengawas karena masih transisi dan pihak Kementerian Agama Saudi Arabia termasuk delapan Syarikah yang bekerja sama masih membutuhkan pendalaman yang lebih jauh,” katanya.

Legislator dari Fraksi PDI Perjuangan (PDIP) ini mengamini bila tingkat kekacauan pelaksanaan ibadah haji dimulai saat jemaah diberangkatkan dari Tanah Suci. Untuk itu, dia memandang kebijakan yang dikeluarkan perintah Arab Saudi memang harus mulai diadaptasikan oleh pihak pemerintah Indonesia.

Selly menyampaikan catatan lainnya ialah penentuan sumber daya manusia (SDM), yakni petugas haji yang disiapkan oleh BPH nantinya. Dia mengungkapkan bila miskomunikasi antara pihak Syarikah dengan pemerintah Indonesia bukan karena di tingkat pusatnya.

Sehingga informasi apapun yang menjadi keputusan tingkat pusat antara pemerintah Indonesia dengan pihak Syarikah maupun Kementerian Agama Arab Saudi tidak pernah ter-delivery dengan baik, ini tentu menjadi antisipasi agar BPH di tahun yang akan datang bisa mempersiapkan itu dengan lebih baik, terutama mengenai petugas petugas yang tadi saya kaitkan dengan manajemen sumber daya manusia yang dimiliki BPH.

Dia berharap ke depan penentuan petugas haji bisa melalui satu badan diklat. Dia tidak ingin penunjukan petugas haji dilakukan sama seperti sekarang ini. “Tidak mungkin dilakukan dengan cara seperti beberapa tahun sebelumnya, di mana petugas haji hanya diberikan bimbingan teknis selama 5-10 hari tanpa ada upaya mengupgrade kemampuan-kemampuan petugas haji,” jelas Selly.

Wakil Rakyat dari Dapil Jawa Barat (Jabar) VIII itu mengatakan catatan selanjutnya adalah masalah kesehatan. Berdasarkan hasil sidak Timwas Haji DPR RI, masih ditemukan banyak jemaah dimensia bahkan memiliki riwayat penyakit akut lolos beribadah haji. “BPH harus bersinergi dengan Kementerian Kesehatan untuk memastikan jemaah haji yang berangkat benar-benar sehat,” katanya.

Baca Juga  Pertemuan Airlangga dan Muhaimin Buka Peluang Perubahan Koalisi Pemilu 2024

Di sisi lain, Selly dan Timwas Haji DPR RI lain menyadari betul bahwa kekurangan-kekurangan itu menjadi bagian utama yang harus diperbaiki oleh Kementerian Agama, DPR Komisi VIII, maupun BPH. Sehingga, tidak ada lagi ego sektoral di masing-masing lembaga.

Tak hanya itu, Selly mengungkapkan Timwas Haji DPR RI berkeinginan perbaikan tak hanya dilakukan pada masalah regulasi dan sinergitas antara satu lembaga dengan lembaga lain atau satu negara dengan negara lain tetapi juga perkembangan tekonogi, IT.

“Kemudian bagaimana kita menghadapi kondisi masyarakat dengan latar belakang budaya sangat berbeda-beda bisa diadaptasikan oleh BPH dengan kemampuan mereka yang menjadi salah satu badan baru yang ditantang untuk bisa mengatasi semua problematika yang hari ini sedang terjadi karena ibadah haji itu bukan di 42 harinya tetap menuju di puncak hajinya,” tegasnya.

Sementara itu selain pentingnya evaluasi masalah haji yang disebutkan Timwas Haji DPR tersebut, M.Munib mempertanyakan siapa yang bertamggungjawab dengan tidak terbitnya visa haji furoda, yang mengakibatkan ribuan calon jemaah haji batal berangkat.

“Kalau kewenangan itu ada di pemerintah Arab Saudi, maka Saudi yang bertanggungjawab. Termasuk siapa yang berdosa kalau kebijakan itu tidak dikeluarkannya itu tanpa sebab-sebab yang berpotensi buruk, madharat atau ancaman yang mengkhawatirkan lainnya, maka Arab Saudi, karena haji wajib dan calon jemaah haji sudah memenuhi syarat istitho’ah, mampu,” ungkapnya.

Yang dalam kaidah fikih disebutkan Alhukmu yadurru ma’a illatihi berarti suatu hukum (hukum) berlaku dan tidak berlaku (wujudan wa adaman) tergantung pada ada atau tidaknya sebabnya (illat), dan atau Dar’ul mafasid muqoddamun ala halbil masholih, berarti menghindari kerugian (mafsad) lebih diutamakan daripada meraih manfaat (mashlahat).

Demikian juga terkait dam, sanksi penyembelihan hewan kurban (tamattu’) yang sedang dikaji oleh para ulama, hal itu mempertimbangkan kondisi Arab Saudi yang sudah makmur dan jumlah penduduk lebih kecil dibnading Afrika atau Indonesia, maka bisa disembelih dan dagingnya dibagikan kepada umat Islam lain di luar Arab Saudi, yang lebih membutuhkan,” jelas Munib. (MM)

 

Postingan Terkait

Postingan Terkait

Komentar