JAKARTA,SumselPost.co.id – Anggota Komisi III DPR RI Rikwanto menyebut jika Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana atau KUHAP ini akan menjadi tonggak dari hak asasi manusia (HAM). RKUHAP Insyaallah akan selesai akhir tahun 2025 dan mulai berlaku mulai Januri 2026.
Legislator dari Fraksi Partai Golkar itu menyebut jika RUU KUHAP akan memberi keadilan dan kepastian hukum. Karena itu, Komisi III DPR RI sedang membentuk Panitia Kerja (Panja) RUU KUHAP. Pembentukan Panja itu dilakukan setelah Komisi III DPR RI menerima Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) RUU KUHAP dari pemerintah, pada Selasa (8/7/2025) yang diserahkan Kemkum.
Demikian Rikwanto dalam diskusi forum legislasi yang digelar Koordinatoriat Wartawan Parlemen (KWP) bekerja sama dengan Biro Pemberitaan DPR RI, “Komitmen DPR Menguatkan Hukum Pidana Melalui Pembahasan RUU KUHAP” bersama pakar hukum pidana Fakultas Hukum Universitas Tarumanagara, Firmansyah di Gedung DPR RI Senayan Jakarta, Selasa (8/7/2025).
Panja RUU KUHAP untuk mensinkronisasikan masukan-masukan dari masyarakat. Menurut Rikwanto, Panja terbuka menerima masukan dari berbagai pihak, baik dari pemerintah, masyarakat peduli hukum, dan akademisi. Termasuk yang diolah oleh Komisi III DPR RI dan badan legislasi lain.
“InsyaAlah Panja sudah terbentuk dan sudah mulai menerima masukan dari pemerhati hukum. Intinya KUHAP yang baru akan membawa keseimbangan antara penegak hukum dan subjek atau objek hukum. Ada keseimbangan, kewenangan juga harus bisa diterapkan hak asasi manusia (HAM) yang bermasalah agar ada keseimbangan,” ujarnya.
Terkait hukuman pidana mati, masih tetap ada dan pelaksanaannya akan tergantung keputusan fraksi-fraksi di DPR dan masukan dari masyarakat. “Selama ini juga sudah ada. Hanya saja pelaksanaannya ditunda hingga 10 tahun, dan setelah itu jika tidak ada masalah dari keputusan bersalah tersebut, akan dilanjutkan dengan hukuman seumur hidup,” pungkasnya.
Menurut Firmanayah hukuman mati itu diatur dalam Pasal 100 dan Pasal 67. Pasal 100 mengatur tentang masa percobaan pelaksanaan hukuman mati selama 10 tahun, sementara Pasal 67 menegaskan bahwa hukuman mati adalah pidana alternatif dan bersifat khusus.
Untuk itu kata dia, hakim dapat menjatuhkan pidana mati dengan masa percobaan 10 tahun, dengan mempertimbangkan penyesalan terdakwa dan harapan untuk memperbaiki diri, atau peran terdakwa dalam tindak pidana. “Jika selama masa percobaan terdakwa menunjukkan sikap terpuji, pidana mati dapat diubah menjadi pidana penjara seumur hidup melalui Keputusan Presiden setelah mendapat pertimbangan Mahkamah Agung (MA). Sama juga sampai mati di penjara,” tambahnya.
Hanya saja hukuman itu selama ini kata Firmansyah, meski sudah ditetapkan hukuman mati, tapi pelaksanaannya tidak dieksekusi. “Jika terdakwa tidak menunjukkan sikap terpuji selama masa percobaan, pidana mati dapat dilaksanakan atas perintah Jaksa Agung,” katanya.
Selain itu, hukuman mati tidak lagi menjadi pidana pokok, tetapi merupakan pidana khusus yang selalu diancamkan secara alternatif. “Artinya, hukuman mati hanya dapat dijatuhkan jika diancamkan secara alternatif dengan pidana lain, seperti pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling lama 20 tahun,” jelas Firmansyah.
Dikatakan jika KUHAP yang lama justru lebih banyak mengakomodasi hak dari pelaku tindak pidana. Sedangkan, hak daripada korban justru terbatas hanya pada satu pasal. “Nah bagaimana kemudian bisa membuat desain KUHAP yang melindungi menghormati HAM ini perlu pertimbang karena kalau dalam rancangan bukan dalam tahap yang lama lebih banyak hak dari pelaku yang diakomodir, tapi hak dari korban itu sedikit hanya bicara di satu pasal,” jelas Firmansyah.
Untuk itu, Firmansyah berharap DPR RI bisa mengawal hal tersebut dalam RUU KUHAP, agar tak hanya bicara soal kecepatan dalam menangani perkara, melainkan keadilan bagi semua pihak. “DPR harus bisa mengawal due process of law tidak hanya bicara tentang penanganan perkara yang cepat – speedy trial, tapi fair trial,” ungkapnya.
Menurut Firmansyah, yang mahal dalam proses penegakan hukum adalah versi trialnya. Bahkan, semboyan equality before the law itu hanya jadi pedoman saja. “Tapi dalam pelaksanaan yang paling mahal itu adalah mengimplementasikannya, termasuk asas utama dari equality before the law di mana hak-hak tersangka dan juga hak korban itu diakomodasi sama,” ujarnya.
Di sisi lain, Firmansyah mendorong agar Komisi III DPR RI menyusun RUU KUHAP yang tegas demi keadilan dalam penegakan hukum. “Karena aturan hukumnya harus tegas dan jelas mengatur konsepsi pidana itu bicara lex certa, lex scripta dan kex stricta serta tidak boleh ditafsirkan lain, dia harus mengatur secara tegas,” katanya. (MM)
Komentar