Kisah Pakde Jamin Jadi Transmigan Awal di Air Sugihan

Berita Utama691 Dilihat

Palembang, Sumselpost.co.id – Pada hari kedua, tim kajian Puskass berangkat ke Desa Bukit Batu. Kamis (9/5) Tim terdiri dari Dedi Irwanto (akademisi Unsri), Vebri Al-Lintani (budayawan Sumsel), Ali Goik (penggiat dan aktivis lingkungan Sumsel), Kemas Ari Panji (akademisi UIN RF), dan Mang Dayat (youtuber Sumsel).

Sepanjang perjalanan dari boom Jetty Sungai Baung ke lokasi, mata Tim Puskass disambut amparan sawit. Sambil membayangkan masa lampau, tim Puskass memetakan bahwa secara geografis dahulu wilayah Air Sugihan masuk dalam Marga Tulung Selapan, OKI.

Pada masa kesultanan hingga masa kolonial wilayah Air Sugihan masih merupakan hutan tropis yang sangat lebat. Hutan tropis ini kaya pohon berharga seperti Meranti, Terentang, Pulai, Ramin dan sebagainya.

Kini ketika Tim Puskass berjalan di lokasi dengan medan tanah merah tersebut, amparan hutan tropis itu tidak ada lagi sama sekali. Menurut kisah penduduk Air Sugihan, sejak 1970 di masa awal Orba, hutan alam telah dibabat sedemikian rupa lewat pembalakan komersial hingga tersisa 37% di tahun 1978.

Pembalakan kemudian makin menjadi, saat sistem marga dihapuskan di Sumatera Selatan, dalam kurun waktu 1980-1985 hutan tropis ini dibabat hingga tinggal 17%. Lalu dalam kurun, 1986-1992, ketika ada pelarangan illegal loging, hutan Air Sugihan tetap dibabat hingga hanya tersisa 6%. Dan benar-benar habis dalam kurun 1992-1997.

Siang menjelang sore, Tim Puskass menemui Pakde Jamin, tokoh awal transmigrasi di Bukit Batu, Air Sugihan.

Usianya menjelang 70 tahun namun fisik dan perawakannya sehat, gagah dengan nada bicara yang jelas. Dengan ramah, Pakde Jamin mempersilahkan Tim Puskass menyerumput Kopi Laut, khas Air Sugihan. “Monggo diujuki ini Kopi Laut tersisa yang kami tanam di sini”, sambutnya dengan ramah. Lalu cerita mulai mengalir dari mulut yang penuh canda dengan sesekali diselingi isapan rokok.

Baca Juga  Lembaga Pendidikan Kursus Insan Mulia Barokah Palembang Menggelar Berbagai Lomba

“Saya merupakan salah satu tokoh awal transmigrasi di Air Sugihan ini. Orang-orang awal ini tidak banyak lagi. Sekarang sudah generasi kedua atau ketiga dari mereka yang datang bertransmigrasi ke sini. Awalnya saya mendapat informasi trasmigrasi dari Balai Desa. Saya tertarik ikut trans karena kehidupan di desa awal sudah sangat sulit. Mertua saya sempat khawatir ketika saya sampaikan untuk ikut trans di Air Sugihan. Kalau kau mau ikut trans. Silahkan pergi. Istrimu jangan kau bawa, anak-anakmu tinggalkan. Berangkatlah sendiri. Untung istri saya sudah satu tekad. Sehingga kami berangkat bersama. Kami ditempatkan di Petak Jalur 31 Bukit Batu, Air Sugihan OKI. Saat itu saya berumur 27 tahun dengan membawa 2 anak. Saya dari Jawa Barat ditempatkan dengan kawan-kawan dari Jawa Tengah”, kenang Pakde Jamin.

Pakde Jamin ketika berangkat ke Air Sugihan tidak pernah membayangkan lokasi yang dituju. Daerahnya masih terisolasi di hutan tropis, ternyata dari Palembang, Bukit Batu harus ditempuh satu harian dengan motor ketek waktu itu melalui rawa-rawa.

Trans di Air Sugihan merupakan proyek Orba dengan membangun pemukiman untuk 2.137 kk tahun 1980. Yang tersebar di Kabupaten Musi Banyuasin dan Kecamatan Air Sugihan OKI.

“Kita dibekali tanah kurang lebih 3,8 Ha. Dari jumlah tersebut 2 Ha harus ditanam tanaman wajib, waktu itu kami menanam padi dan jagung. Yang 1,8 Ha bebas bisa ditanam apa saja. Kami kemudian diperkenalkan dengan Kopi Laut dan Nanas Gambut”, kata Pakde Jamin.

Baca Juga  Polsek Bayung Lencir Berhasil Ungkap Kasus Pembunuhan

“Kopi Laut ini sebenarnya kopi jenis Liberika. Rasanya sedikit asam namun kadang bau kacang, sayuran atau madu. Kopi ini cocok kami tanam di lahan gambut. Masyarakat lokal menyebutnya Kopi Rawang. Rasanya akan semakin khas jika ditanam di lahan gambut Air Sugihan ini. Ini merupakan program awal trans kami disini.

Pada awalnya kami bisa menghasilkan 5 ton perhektar pertahun. Sehingga mampu menunjang kebutuhan ekonomi kami waktu itu. Namun sejak masuknya sawit dan turunnya harga kopi. Masyarakat kami mulai meninggalkan Kopi Laut ini. Namun saya mulai menanam lagi sejak 5 tahun terakhir. Karena Kopi Laut ini mulai diminati lagi. Oleh sebab itu kami minta agar Pemkab OKI juga mendukung penanaman kembali Kopi Laut di Air Sugihan ini”, katanya.

Selain Kopi Laut, dia dulu juga menanam Nanas Gambut. Nanas ini tanpa pupuk. Dibiarkan saja pasti tumbuh. Bulan ke-8 nanas ini berbuah. Lalu bulan ke-12 akan panen.

Dengan berat buah pertama 2 kg. sedang panen berikutnya bisa 1-1,5 kg.

Menurutnya nanas ini enak dibuat sirup, dodol atau buah kering. Dulu kami kesulitan pasar.

“Karena harus dijual jauh ke Palembang. Selain itu, bagi kami di lahan gambut. Nanas Gambut juga berfungsi sebagai sekat bakar. Api yang membakar semak belukar akan mati di lahan Nanas Gambut ini. Saat ini desa-desa Air Sugihan masih kesulitan pengelolaan Nanas Gambut ini. Jika tidak ada industri pengelolaan, maka kalau dijual dalam bentuk buah, hasilnya buah Nanas Gambut ini akan jatuh.

Karena pemasarannya terbatas di sekitar sini saja. Inilah yang menyulitkan kami mengembangkan Nanas Gambut ini sejak dulu. Kalau ada industri pengelolaan saya yakin Nanas Gambut akan dibudidayakan di sini”, papar Pakde Jamin.

Baca Juga  Bersepeda dan Jalan Santai Bersama Pangdam II/Swj

Namun Pakde Jamin tidak memungkir perjuangan berat di tahun-tahun awal trans, tantangan alam begitu beratnya. Binatang liar, terutama gajah, jika keluar rumah banyak ditemui penduduk. Tanpa informasi, kecuali satu TV hitam-putih yang ada di Balai Desa yang dihidupkan hanya di malam hari.

Serta bertahan dengan subsidi pemerintah. Pada tahun 1986 pernah terjadi banjir pasang diikuti hujan 5 hari 5 malam. Tidak saja menggagalkan panen, namun juga menaikkan harga sembako karena jalan putus. Tahun 1991 program trans ini nyaris gagal karena adanya bahaya kelaparan terhadap 35.000 warga trans Air Sugihan. Seperti berita penggalangan dana yang dimuat Sriwijaya Post dan koran Yogya, Bernas tahun 1991.

Kini denyut kehidupan ekonomi di Air Sugihan mulai membaik. Keberadaan perusahaan-perusahaan disekitar trans membuka akses. Keasrian dan ketenangan mulai ditemukan di sana dengan alam perairan yang alami.

Namun dibalik ketenangan tersebut, Pakde Jamin dan warga tetap merasakan adanya ancaman dari kawanan gajah. Yang bersembunyi dibalik lebatnya hutan lindung yang tersisa. Dan setiap saat bisa masuk ke perkampungan.

Oleh sebabnya, ketika menutup obrolan, Pakde Jamin meminta agar ada sinkronisasi dalam penanganan gajah yang baik antara masyarakat, pemda dan perusahaan. Agar ancaman gajah dapat Diminimalisir.

Komentar