JAKARTA,SumselPost.co.id – Rancangan Undang Undang (RUU) Perampasan Aset meski sudah masuk program legislasi nasional (prolegnas), namun pembahasannya masih jalan di tempat. Seperti jalannya siput; sangat lambat dan penuh kehati-hatian, khawatir UU ini ilbarat senjata makan tuan.
Mengapa? “Menyadari perampasan aset negara yang dimiliki seseorang atau korporasi yang diperoleh dengan cara melanggar hukum, korupsi, atau cara haram, maka bisa dirampas oleh negara. Sementara yang berpotensi memiliki aset negara itu adalah mereka yang berkuasa. Baik eksekutif, legislatif dan yudikatif,” tegas anggota Komisi III DPR RI Nasir Djamil.
Hal itu disampaikan politisi PKS itu dalam forum legislasi “Urgensi RUU Perampasan Aset Terkait Tindak Pidana” bersama pakar hukum pidana Abdul Fickar Hajar di Gedung DPR RI Senayan Jakarta, Selasa (28/2).
Karena itu lanjut Nasir Djamil, RUU inisiatif pemerintah itu belum ada kemajuan meski sudah masuk prolegnas pada September 2022 lalu Bahkan dalam konteks hukum pidana seperti korupsi, terorisme dan kejahatan lainnya ada potensi untuk menggelapkan aset negara. “Di satu sisi menurut UUD NRI 1945 pasal 8 A – J sudah mengatur kepemilikan harta itu dan tidak boleh dirampas secara sembarangan,” ujarnya.
Sama halnya Mahkamah Konstitusi (MK) yang menolak menghapus hukuman mati, karena HAM yang digembar-gemborkan oleh Barat itu, tetap dibatasi oleh UU yang berlaku di negara sendiri. Sebab, korupsi yang dilakukan pada situasi negara sedang dalam bencana, resesi ekonomi dan sebagainya maka bisa dihukum mati. Juga terorisme, narkoba dan sebagainya.
“Nah, untuk aset negara juga demikian. Kecuali aset negara yang sudah diputuskan dalam Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU), Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) dan kejahatan lainnya, maka lembaga penegak hukum seperti Kejaksaan, KPK, Kepolisian harus berlomba-lomba recovery aset para buron tersebut sampai ke luar negeri,” jelas Nasir.
Oleh sebab itu kata Nasir diperlukan UU ini agar para penguasa tidak menyalahgunakan, menggelapkan, mencuri aset negara, baik yang bergerak atau tidak bergerak. “Gampangnya UU Perampasan aset ini seperti yang dilakukan oleh debt collector, atau bisa dengan melakukan pembuktian terbalik,” ungkapnya.
Menurut Fickar Hajar, dengan UU ini apakah lalu perlu lembaga tersendiri atau tidak? Sebab, penyitaan aset negara selama ini harus melalui proses dan keputusan hukum tetap oleh pengadilan. Atau akan melegalkan perampasan aset negara tanpa proses hukum?
“Perampasan aset itu tetap harus ada dasar hukumnya, karena kita negara hukum. Atau ada sebuah keputusan yang kedudukannya sama dengan putusan pengadilan? Sebab, kalau tidak akan ada gugatan keberatan dari para pihak. Jadi, UU ini harus mengakomodir dua kepentingan; masyarakat dan negara,” tambah Fickar.(MA)
Komentar