Kewenangan MPR Melantik Presiden dan Wapres Harus Dijalankan, MPR bukan hanya Penonton

Nasional230 Dilihat

JAKARTA,SumselPost.co.id – Pakar hukum tata negara yang juga mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Jimly Asshiddiqie kembali mengingatkan pentingnya penataan kembali sistem ketatanegaraan, khususnya MPR RI. Selama ini MPR RI tidak menjalankan kewenangannya dalam melantik presiden dan wakil.presiden terpilih. Sebagaimana diatur dalam pasal 3 ayat 2 UUD NRI 1945.

“MPR RI selama ini hanya sebagai pembuka sidang paripurna dalam pelantikan presiden dan wapres yang dilakukan oleh Mahkamah Agung (MA). Padahal, kewenangan itu merupakan pendayagunaan kolektifitas kepemimpinan MPR dari unsur parpol dan DPD untuk memastikan MPR sebagai rumah bersama dan penjelmaan seluruh rakyat Indonesia,” tegas anggota DPD RI itu.

Hal itu disampaikan Jimly dalam diskusi Empat Pilar MPR RI “Putusan MK dengan Sistem Pemilu Terbuka Memperkuat NKRI” bersama Anggota MPR RI dari FPKB Syaiful Huda dan Peraktisi media Jhon Andhi Oktaveri di Gedung MPR RI Senayan Jakarta, Rabu (21/6/2023).

Lebih lanjut Jimly mengatakan dengan menonton dinamika capres-cawapres selama 3 tahun terakhir ini, terlihat jelas bahwa dalam sistem multi-partai, Indonesia terjebak dlm praktik transaksi politik yg sangat tidak sehat:. Hal ini berdampak terhadap kualitas dan integritas kepemimpinan nasional berdasarkan transactional leadership yang buruk, bukan moral and transformational leadershiup yang diidealkan.

Baca Juga  DPR Dorong Pemerintah Genjot Industrialisasi agar Pertumbuhan Ekonomi Lebih dari 5,3%

“Dengan belajar dari kasus-kasus keretakan pasangan kepala daerah di seluruh Indonesia, pasangan capres – cawapres hasil transaksi juga berisiko pada kekompokan kepemimpinan nasional. Karena itu, sebaiknya, diadakan perubahan, amandemen UUD NRI 1945,” ujarnya.

Untuk apa, menurut Jimly amandemen itu untuk menentukan; Presiden tetap dipilih langsung oleh rakyat dimana semua parpol atau gabungan partai peserta pemilu berhak mengajukan capresnya sendiri-sendiri, tanpa threshold (20%). “Tapi, untuk Wapres cukup dipilih oleh MPR RI dari 2 calon yang diusulkan oleh Presiden terpilih untuk dipilih di forum MPR RI. Hanya saja amandemen jangan dilakukan sekarang, tapi 2029 guna menuju Indonesia Emas 2045. Hal itu, agar wibawa MPR kuat kembali,” jelasnya.

Sementara itu terkait putusan MK, dimana untuk pemilu 2024 tidak ada perubahan aturan sistem proporsional terbuka. Karena itu, harus dipraktikkan dengan sebaik-baiknya. Namun, untuk jangka panjang, perlu ada reformasi kebijakan yang bersifat komprehensif dan menyeluruh mengenai sistem pemilu dan kepartaian. Persoalan pemilu proporsional terbuka atau tertutup hanya satu elemen penting saja dalam upaya pelembagaan sistem politik dan modernisasi kelembagaan politik di masa depan.

Baca Juga  Buka Muktamar Fikih Peradaban, Wapres: Ilmu Fikih Harus Mampu Menyesuaikan Perkembangan Zaman

Sistem proporsional terbuka atau tertutup lanjut Jimly, juga harus dilihat secara komprehensif agar manfaat dan mudharatnya masing-masing dapat dipahami dengan komprehensif. Dalam jangka panjang, sistem tertutup jauh lebih baik, tetapi jika diterapkan sekarang, ketika semua partai politik bersifat tertutup, tidak ada demokrasi internal, nomor urut, calon presiden, calon kepala daerah dan caleg hanya ditentukan oleh satu orang ketua umum yang dijabat secara turun temurun (dinasti), maka sistem proporsional tertutup akan sangat berbahaya dan merusak.

“Artinya, sistem proporsional tertutup itu hanya dapat diterapkan dengan jaminan manfaat yang efektif di masa depan (yaitu memperkuat parpol dan mencegah demoralisasi politik yg semakin merusak karena praktik politik uang) sambil atau setelah demokrasi internal parpol berjalan, dan sistem dinasti sudah diatur dan dibatasi, serta iklim pengambilan keputusan di internal parpol sudah terbuka,” tambahnya.

Dikatakan, untuk penataan kebijakan yang bersifat terpadu, dapat digunakan metode omnibus yang mengevaluasi semua UU yang saling kait berkait, yaitu: (i) UU Pemilu, (ii) UU Parpol, (iii) UU MD3, (iv) UU Ormas, (v) UU Penyiaran, (vi) UU PT, dan (vii) UU BUMN dengan mengatur Larangan Rangkap Jabatan dan Benturan Kepentingan Politik jabatan publik dalam satu bab tersendiri, atau dengan metode omnibus itu dibentuk UU tersendiri tentang Larangan Rangkap Jabatan dan Benturan Kepentingan.

Baca Juga  Fahri Hamzah: Jokowi Sudah Melakukan Rekonsiliasi Sejak Revisi UU MD3, Kursi Pimpinan MPR untuk PKS dan Demokrat, Itu Hasilnya!

“Yang perlu dipisahkan dalam UU ini adalah (i) urusan pribadi vs urusan dinas, (ii) antara (a) politik, (b) bisnis, (c) ormas, dan (d) media, tidak boleh tercampur-aduk seperti sekarang,” pungkasnya.

Syaiful Huda mengatakan, bahwa PKB ingin cepat menghentikan politik transaksional. Baik dengan sistem pemilu tertutup atau terbuka. “Semua sistem pemilu ini ada plus minusnya. Yang terpenting bagaimana menghentikan politik transaksional itu dan memgembalikan aturan pemilu itu ke DPR RI. Bukan MK,” ungkapnya.(MM)

 

Postingan Terkait

Postingan Terkait

Komentar