Dari Pidato Presiden, MPR RI: Kedaulatan Pangan dan Kemandirian Ekonomi Harus Jadi Prioritas, Jangan Bebani Rakyat!

Nasional240 Dilihat
banner1080x1080

JAKARTA,SumselPost.co.id  – Ketua Badan Pengkajian MPR RI, Andreas Hugo Pareira menegaskan dengan kekayaan alam yang melimpah ini, maka pemerintah berkewajiban mewujudkan amanah konstitusi pasal 33 ayat 1,2,3,4 khususnya terkait dengan kedaulatan dan kemandirian pangan, keadilan dan kesejahteraan rakyat. Persoalannya selama ini banyak investasi dari berbagai sektor, tapi hasilnya dibawa lari keluar negeri. Lalu, rakyat Indonesia dapat apa?

“Kekayaan alam kita seperti Migas, nikel, mineral, tambang, dan sebagainya diekspor dalam bentuk bahan mentah, sehingga tidak ada nilai tambah yang kita peroleh. Apalagi hasilnya dibawa ke luar negeri. Karena itu bagus kalau Presiden Prabowo siap mengatasi itu semua dan harus kita dukung,” tegas Sekretaris Fraksi PDI-P MPR itu dalam diskusi Konstitusi dan Demokrasi Indonesia, “Implementasi Pidato Presiden Saat Sidang MPR RI Tahun 2025” yang digelar Koordinatoriat Wartawan Parlemen (KWP) bekerja sama dengan Biro Humas dan Sistem Informasi Setjen MPR bersama pembicara anggota MPR RI FPKS Riyono di Gedung MPR RI Senayan Jakarta, Rabu (20/8/2025).

Ia menilai pidato Presiden Prabowo itu memberikan optimisme untuk program pembangunan ke depan, juga komitmennya untuk memberantas korupsi dan tambang ilegal, menurunkan kemiskinan, investasi sumber daya manusia (SDM) dengan memberikan makan.bergizi gratis (MBG), cek kesehatan gratis, sekolah rakyat dan lain-lain. Bahkan dalam 299 hari pemerintahannya mampu menyelamatkan uang negara Rp300 triliun yang rawan dikorupsi, pertumbuhan ekonomi mencapai 5,12%, pengangguran dan kemiskinan terendah sejak 1998, dan seterusnya.

Namun, Andreas tidak mau berdebat soal angka-angka tersebut. Hanya saja kualitatif ekonomi tumbuh 5,12%, penurunan kemiskiman dan pengangguran itu seperti apa yang dirasakan masyarakat? “Itulah yang menjadi pertanyaan banyak orang, dan itu berbeda antara ide yang disampaikan, dan antara keinginan yang disampaikan dengan realitas sosial yang ada di masyarakat. Ada beberapa hal yang mungkin positif, tapi kalau mau keluar dari middle income trap, itu pertumbuhan ekonominya harus di atas 8% hingga 10%,” jelas Andreas.

Karena itu, Andreas mempertanyakan; apakah yang bisa dicapai dengan posisi sekarang? “Optimisme semua harus punya, tapi apakah itu bisa dicapai dengan 8 program-program andalan pemerintah. Khususnya program unggulan ketahanan pangan dengan anggaran Rp164,4 triliun. Buktinya katanya tahun ini mengalami surplus 4 juta ton beras, tapi faktanya di lapangan harga beras mahal. Lalu, apakah kita sudah bisa mengatasi persoalan ketahanan pangan? MBG Rp335 triliun untuk 82,9 juta siswa pada tahun 2026, bagaimana implementasinya? Jadi, ada ironi-ironi yang harus menjadi perhatian serius MPR, media dan masyarakat,” kata Andreas.

Transfer daerah yang dikurangi akibat efisiensi, tapi daerah ditekan untuk meningkatkan PAD (Pendapatan Aseli Daerah), lalu kepala daerah dengan mudah menaikkan pajak. Hal itu sesuai dengan APBN 2026 sebesar Rp3.787 triliun dan Rp2.357,7 triliun diperoleh dari target pajak. “Ada keimginan yang luar biasa dari Presiden Prabowo, tapi bagaimana mengimplementasikannya, inilah yang harus diperhatikan agar tidak membuat rakyat tambah susah. “Kasus Pati, Bone, Cirebon, jadi pelajaran berharga,” ungkapnya.

Market Harus Dikuasai Negara

Sementara itu, Riyono menilai Presiden Prabowo sudah seperti menyampaikan satuan tiga anggaran sampai detail berkaitan dengan pangan yang dianggarkan Rp164,5 triliun. Sebab, sejak dulu soal kedaulatan pangan dari hulu sampai hilir itu urusannya berkaitan dengan kebijakan dan kini politik anggarannya cukup besar dibandingkan 2025. “Saya usulkan untuk membangun kedaulatan pangan itu anggarannya minimal 10% dari APBN atau Rp370 triliun. Kalau Rp164,5 triliun berarti sekitar 5%. Tapi, kalau ekonomi ingin tumbuh 8%, maka anggaran pangannya Rp800 triliun,” katanya.

Sebagai contoh, untuk saat ini lanjut Riyono, harga beras terus naik, padahal surplus 4 juta ton, kenapa? Karena 97% pangan khususnya beras itu masih dikuasai oleh sektor private, swasta, bukan negara, Bulog hanya operator. Sedangkan operasi pasar beras murah SPHP (Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan) terlambat dilakukan. Seharusnya pada April lalu. “Karena itu, demi terwujudnya kedaulatan pangan ini pemerintah menargetkan 3 juta hektar sawah dari sebelumnya Jokowi terealisir 500.000 hektar dari 1 juta hektar yang ditargetkan,” ujarnya.

Menurut Riyono, urusan pangan ini urusan separuh dari persoalan bangsa. Seperti kata Bung Karno yang menyatakan kalau urusan perut rakyat ini selesai 50%, maka urusan bangsa ini selesai. “Jadi, kalau urusan kedaulatan pangan ini sukses, maka selesailah setengah dari persoalan bangsa ini,” pungkasnya.

PPHN

Menyinggung soal Pokok Pokok Haluan Negara (PPHN) sebagai tindak lanjut amanah dari MPR periode 2019 – 2024, apakah akan dibentuk panitia adhoc kata Andreas, itu tergantung pimpinan MPR RI.
“Untuk menindaklanjuti apakah nanti dibentuk panitia adhoc untuk pembahasan lebih lanjut itu kewenangan pimpinan MPR,” kata dia.

PPHN itu setidaknya menyangkut dua hal: yaitu substansi PPHN dan kedudukan hukumnya. “Kalau mau kuat ya amandemen terbatas khusus memberi kewenangan MPR untuk membuat PPHN. Sebab, kalau UU bisa direvisi atau digugat ke Mahkamah Konstitusi (MK). Pasca reformasi Presiden tidak kenal lagi dengan PPHN, cukup visi misinya diundangkan menjadi RPJPN (Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional),” tegas Andreas.

“Saya kira kalau dianggap lebih baik untuk tujuan dan arah pembangunan berkelanjutan, tidak ada masalah dengan PPHN, agar tidak setiap ganti presiden selalu ganti kebijakan. Di mana setiap presiden baru selalu ingin mempunyai progran unggulan. Kita dukung PPHN,” tambah Riyono. (MM)

Komentar