JAKARTA,SumselPost.co.id – Untuk mengantiasipasi maraknya berita bohong, hoaks, fitnah dan ujaran kebencian demi memenangkan kandidat capres-cawapres, caleg dan kepala daerah yang dimulai pada 14 Februari 2024 mendatang, maka aparat harus menerapkan UU ITE (Informasi dan Traksaksi Elektronik) secara tegas agar ada efek jera dan tidak berpotensi memecah-belah masyarakat.
Demikian yang mengemuka dalam dialektika demokrasi dengan tema “Bersama Mencegah Hoaks dan Kampanye Hitam Jelang Pilpres 2024 ” bersama anggota DPR RI Fraksi Demokrat Herman Khaeron, anggota DPR RI Fraksi PPP Syaifullah Tamliha, anggota DPR RI Fraksi PKB Yanuar Prihatin, Sekjen Partai Gelora Mahfuz Sidik, dan pengamat politik Ujang Komarudin di Gedung DPR RI Senayan Jakarta, Kamis (2/11/2023).
Yanuar Prihatin menanyakan seberapa besar hoaks berhasil mencapai tujuannya untuk menjatuhkan lawan politik, komunitas, organisasi dan lain-lain? Apakah strategi itu efektif agar pesaing politiknya kalah, tidak terpilih maka hal itu perlu dilakukan riset khususnya untuk pilpres, pilkada, dan pileg.
Padahal lanjut Ketua DPP PKB itu, yang paati hoaks itu apapun metodenya pasti akan menimbulkan kegaduhan dan pragmemtasi politik makin memanas seperti kasus pilpres 2019. “Jadi, pemilu yang terbaik itu semua harus menjaga agar hoaks itu dihindari. Aparat sudah bagus mulai bergerak menjelang pemilu sehingga para penegak hukum harus menunjukkan eksistensinya,” ujarnya.
Herman Khaeron menilai sejatinya calon pimpinan negara, capres-cawapres itu dalam berkontestasi melakukan dengan cara-cara yang baik, berlomba-lomba dengan kebaikan. Politik memang persepsi, maka untuk mengubah persepsi publik dari hoaks tersebut adalah dengan menegakkan sanksi hukum yang berat dan adil. “Kalau media, pers kan ada Dewan Pers, maka bisa ngerem untuk tidak menyiarkan hoaks. Tapi, kalau masyarakat maka dengan penegakan hukum pidana, karena itu kriminalitas,” tambahnya.
Syaifullah Tamliha justru khawatir dalam pilpres 2024 kali ini akan ada keterlibatan intelejen dan ini paling berbahaya. “Termasuk berita-berita yang besar dan orang itu seolah-olah bagus terus. Itu bisa dicitrakan dan saya tahu tarifnya berapa? Kita mengertilah, tapi kalau masyarakat itu buat lucu-lucuan saja. Termasuk PPP yang dipersepsikan hanya memperoleh 2,7%, buktinya PPP lolos parlemen,” ungkapnya.
Mahfuz Sidik juga memprediksi hoaks dan ujaran kebencian akan terus meningkat pada pemilu kali ini. Khususnya framing, power strugle Jokowi Vs Megawati. “Diantara sasaran hoaks tersebut adalah pemilih milenial yang cukup besar. Misalnya sudah ada narasi kecurangan melalui artifisial intelegence, kecerdasan buatan (AI). Semua itu harus diantisipasi oleh aparat penegak hukum agar pemilu berlangsung jujur, adil, dan demokratis,” jelasnya.
Ujang memimta masyarakat memiliki kasadaran terhadap haoks dan ujaran kebencian tersebut untuk tidak mudah meng-share atau membagikan ke group WA atau medsos. “Sebab, kalau tidak ngerti, nanti tiba-tiba ditangkap aparat dan dipenjara. Kan kasihan hanya menjadi korban hoaks,” katanya.(MM)
Komentar