UU Penyiaran Dinilai Tak Relevan lagi, DPR Usul Pisahkan Aturan OTT dan TV Konvensional

Nasional54 Dilihat
banner1080x1080

JAKARTA, SumselOst.co.id – Anggota Komisi I DPR RI dari Fraksi Golkar, Abraham Sridjaja, mengkritisi urgensi pembaruan Rancangan Undang-Undang (RUU) Penyiaran, agar relevan dengan perkembangan teknologi digital. Karena itu, Komisi I DPR merubah total RUU Penyiaran tersebut untuk direvisi sesuai perkembangan teknologi saat ini. Pihakmya lagi mengakomodir aspirasi untuk menyusun draft RUU Penyiaran yang masuk Prolegnas prioritas 2025.

Demikian disampaikan Abraham dalam forum legislasi yang digelar Koordinatoriat Wartawan Parlemen bekerja sama dengan Biro Pemberitaan DPR RI menggelar Forum Legislasi “’Menjawab Tantangan Era Digital Lewat Rancangan Undang-Undang Penyiaran Baru” bersama Wakil Ketua Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat, Mohamad Reza di Gedung DPR RI Senayan Jakarta, Selasa (17/6/2025).

Abraham menegaskan bahwa pembahasan RUU yang sudah mandek sejak 2012 ini harus segera diselesaikan, namun dengan pendekatan yang cermat. RUU yang digagas lebih dari satu dekade lalu itu tidak lagi memadai karena tidak mencakup platform digital seperti Netflix, TikTok, YouTube, atau berbagai layanan over-the-top (OTT) lainnya. Sehingga terjadi kekosongan hukum dan ketimpangan pengawasan antara media konvensional dan digital.

Baca Juga  Sultan Bacakan Teks Pembukaan UUD 1945 dalam Peringatan Hari Lahir Pancasila 2025

“RUU penyiaran tahun 2012 itu belum mengenal istilah OTT, belum ada Netflix, TikTok, dan platform streaming lainnya. Maka terjadi kekosongan hukum. TV konvensional merasa hanya mereka yang diawasi, sementara platform digital tidak,” jelas Abraham.

Ia mengingatkan, revisi RUU Penyiaran harus menghindari tumpang tindih kewenangan antara lembaga pengawas seperti Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), Dewan Pers, dan Direktorat Pengawasan Ruang Digital di bawah Kominfo Digital (Komdigi). Menurutnya, pengaturan yang serbarangan berpotensi menciptakan konflik antar-lembaga serta membuka celah penyalahgunaan kekuasaan oleh oknum.

Abraham menilai definisi “penyiaran” dalam RUU juga perlu dipertajam agar tidak menimbulkan kerancuan dalam praktik pengawasan. Untuk itu, ia mengusulkan agar konten digital dan platform OTT diatur dalam UU tersendiri, terpisah dari RUU Penyiaran yang berfokus pada siaran melalui gelombang radio frekuensi.

“Penyiaran itu secara teknis adalah transmisi serentak melalui gelombang radio frekuensi. OTT adalah hal berbeda. Kalau semua digabung, KPI akan jadi super power. Maka OTT sebaiknya diatur dalam UU lain. Di Amerika, misalnya, ada FCC untuk TV konvensional dan lembaga lain untuk OTT,” ungkapnya.

Baca Juga  Pimpinan DPD RI Minta Kades Kembangkan BUMDes Bantu Pemerintah Atasi Praktik Oligopoli Beras

Menurut Abraham telah terjadi keresahan publik terhadap konten vulgar di platform digital yang lolos sensor. Namun, penanganannya tetap harus mengedepankan kerangka hukum yang jelas dan tidak tumpang tindih.

“Kalau mau dimasukkan RUU Penyiaran, harus jelas sejak awal. Judulnya juga harus berubah, misalnya jadi ‘RUU Penyiaran dan Konten Digital’. Kalau tidak, ini akan menimbulkan konflik kewenangan,” tegas Abraham.

Diskusi ini menjadi bagian dari upaya Komisi I DPR untuk mengkaji ulang struktur pengawasan media di era digital. “DPR beromitmen untuk menuntaskan RUU Penyiaran, namun tanpa mengorbankan kejelasan hukum dan integritas kelembagaan. Juga harus menghindari oknum – oknum memainkan peran ini dengan tidak bertanggungjawab,” pungkasnya.

Mohamad Reza menjelaskan jika tak ada tumpang tindih kewenangan antara Dewan Pers dan Komisi Penyiaran. “Pertanyaannya apakah KPI melakukan pengawasan terhadap program siaran jurnalistik? Itu pasti. Misalnya tahun 2021 ada 43 teguran atau pelanggaran atau sanksi yang kami berikan terhadap program kategori program siaran jurnalistik dan itu tidak ada masalah. Seperti liputan penggerebekan kantor pinjaman online (pinjol) karena dalam liputannya ada film porno dan itu ditonton banyak orang, pelecehan seksual di pesantren, tapi dalam tayangan gambar ada pesantren yang tidak ada sangkut-pautnya dengan kasus itu ikut ditayangkan, kekerasan pada anak dan lain-lain,,” ungkapnya.

Baca Juga  Pelaku Pengedar Narkotika Beserta Barang Bukti 76 Paket Sabu di Amankan Polsek Kemuning

Dari kasus tersebut KPI banyak diprotes masyarakat dan KPI lalu memberi peringatan dan sanksi pada media TV tersebut. “Tugas KPI adalah melakukan pengawasan dan itu dilakukan setelah proses tayang. Bukan seperti sensor film, yang melakukan pengawasan sebelum tayang. “Yang paling penting adalah equal treatment atau treatment yang sama terhadap konten antara di lembaga penyiaran dan di konten digital. “Kasus kekerasan seksual, LGBT, porno, dan sebagainya yang serimg diprotes masyarakat,” jelas Reza. (MM)

Komentar