Sejarah Penolakan Pembangunan Mall di Kawasan Benteng Kuto Besak Tahun 2002

Berita Utama39 Dilihat
banner1080x1080

Palembang, Sumselpost.co.id — Penolakan terhadap rencana pembangunan mal di kawasan Benteng Kuto Besak (BKB) pada tahun 2002 menjadi salah satu catatan penting gerakan masyarakat sipil Palembang. Upaya tersebut terjadi ketika seorang investor berencana membangun mal di atas lahan eks Bioskop Garuda, namun menuai protes luas dari para tokoh masyarakat serta puluhan organisasi kemasyarakatan (Ormas) dan LSM di Kota Palembang.

Menurut Kemas Idham Abubakar, SP — Ketua Harian Angkatan Muda Keluarga Palembang Darussalam sekaligus saksi sejarah penolakan — proyek pembangunan tersebut dinilai melanggar Perda No. 7 Tahun 1997 tentang Kawasan Benteng Kuto Besak serta Perda No. 8 Tahun 2000 tentang RUTR Kota Palembang.

Penolakan pertama kali muncul pada Agustus 2002 dan dimotori sejumlah tokoh, di antaranya Drs. RMS Prabu Diradja SH (Yayasan Kesultanan Palembang), Ustadz Ahmad Umar Thoyib, Hamdani S.Si, Novianto, Nopriansyah, serta tokoh-tokoh LSM Pusat Peran Serta Masyarakat (PPM) Sumsel. Gerakan ini kemudian mendapat dukungan luas dari berbagai elemen, termasuk Ir. Dailami Malik Tadjudin, Zuhdiyah M.Ag, Mgs. Rudi M. Soleh, Kemas Idham SP, MHA Dailami S.Ag, dan sejumlah tokoh lainnya.

Dukungan penolakan semakin meluas hingga awal 2003, termasuk dari Kerukunan Keluarga Palembang (KKP) yang dipimpin Kgs. H. Roni Hanan serta organisasi Fokus Umat. Dengan tekanan publik yang terus meningkat, Pemerintah Kota Palembang akhirnya memutuskan tidak memproses perizinan pembangunan mal di kawasan BKB.

Gerakan penolakan ini juga melahirkan konsolidasi rutin berbagai tokoh dan LSM Palembang. Aksi demonstrasi digelar pada awal Januari 2003, dipimpin oleh Kemas Idham SP, yang kemudian berujung pada Seminar Sehari Palembang Darussalam di Auditorium IAIN Raden Fatah pada 11 Januari 2003, dilanjutkan dengan musyawarah adat sesepuh Palembang.

Seminar tersebut menghasilkan 10 butir rekomendasi, beberapa di antaranya:

1. Mendorong Wali Kota dan DPRD Palembang untuk mengembalikan identitas Palembang sebagai Darussalam, sekaligus menetapkannya sebagai nama resmi kota.

2. Mengembalikan peran Majelis Adat/Guguk sesuai fungsi tradisional, termasuk pendataan tetuo kampung.

3. Menghidupkan kembali adat dan budaya Palembang Darussalam, seperti Syarofal Anam, arak-arakan pengantin, ngobeng, masang tarub, hingga tradisi takziah.

4. Mengembalikan aset-aset Kesultanan Palembang Darussalam, termasuk Benteng Kuto Besak, sebagai benda cagar budaya yang wajib dilindungi.

5. Mendukung Masjid Agung Palembang sebagai pusat kajian Islam.

Peristiwa penolakan pembangunan mal di BKB pada 2002 menjadi momentum kebangkitan kesadaran masyarakat Palembang untuk menjaga sejarah, adat, serta warisan budaya Kesultanan Palembang Darussalam.

 

Oleh : Kemas Idham ( Ketua Harian Angkatan Muda Keluarga Palembang Darussalam)

 

Laporam : Kms Sofyan

Komentar