Satu Diantara Sembilan Bidadari

Berita Utama130 Dilihat
banner1080x1080

Palembang, Sumselpost.co.idb- Pak Yamin merasa dirinya sebagai manusia paling kaya di dunia. Pada usia 73 tahun, Allah masih memberinya tubuh yang sehat, rezeki yang cukup, dan anugerah yang paling ia syukuri: sembilan orang anak perempuan, sembilan bidadari dalam hidupnya.

Delapan di antaranya telah menikah dan memberinya 21 orang cucu. Hanya satu yang masih tinggal bersamanya—anak bungsunya yang paling manja sekaligus paling cantik—Siti Hanifah. Gadis itu tengah menempuh semester enam di Fakultas Ekonomi Universitas Sriwijaya, Palembang. Jika tak ada aral melintang, setahun lagi ia akan menyelesaikan studinya.

Siti Hanifah tumbuh dengan semangat yang sama seperti kakak-kakaknya. Ia tak ingin kalah. Semua kakaknya adalah sarjana dan telah bekerja—ada yang menjadi bidan, guru, pegawai negeri, hingga pengusaha restoran. Tekad itu membuatnya berjuang keras agar segera menyelesaikan kuliah.
Setiap pulang dari kampus, Siti Hanifah kerap diantar oleh Rahmad, mahasiswa Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya.

Pemuda itu sopan, berpenampilan rapi, dan sedang menyusun skripsi yang diperkirakan rampung dalam tiga bulan. Kedekatan mereka tak lagi sekadar cerita kampus. Hubungan itu mengalir ke arah yang lebih serius—menuju pernikahan.

Hari wisuda Rahmad menjadi salah satu hari paling berbahagia dalam hidupnya. Ia berdiri di podium, menerima pengumuman kelulusan cumlaude, didampingi dua perempuan yang paling ia cintai: ibunya dan Siti Hanifah. Air matanya jatuh saat namanya disebut. Bahagia itu terasa sempurna.

Empat hari setelah wisuda, tepat malam Minggu, Rahmad datang melamar. Ia hadir bersama ibunya dan kakak perempuannya ke rumah Pak Yamin. Lamaran berlangsung khidmat. Kakak Rahmad menjadi juru bicara keluarga.

“Dengan segala kerendahan hati, kami bermaksud melamar putri Bapak Yamin, Siti Hanifah, untuk adik kami, Rahmad,” ucapnya.

Pak Yamin menyambut dengan mata berbinar. Ia mengangguk penuh haru sebagai ayah dari anak bungsu yang sangat ia cintai.

Kedua keluarga sepakat, akad nikah dan resepsi akan dilangsungkan setahun kemudian, setelah Siti Hanifah diwisuda.
Namun waktu tak selalu berjalan sesuai rencana manusia.

Enam bulan setelah lamaran, Pak Yamin terserang stroke. Tekanan darahnya melonjak hingga 200/110. Separuh tubuhnya lumpuh, meski lisannya masih mampu berbicara. Dalam kondisi lemah itu, satu permintaan keluar dari mulutnya: pernikahan Siti Hanifah dan Rahmad harus dipercepat.

Keluarga bermusyawarah. Keputusan diambil. Pernikahan akan dilangsungkan dua hari kemudian.

Usai salat Jumat, akad nikah digelar sederhana di rumah Pak Yamin. Dalam kondisi sakit, ia bersikeras menjadi wali nikah putri bungsunya. Dengan suara lirih namun tegas, ia melafalkan ijab:

“Rahmad bin Muslim, aku nikahkan engkau dengan putriku Siti Hanifah dengan mas kawin seperangkat alat salat, tunai…”
Rahmad menjawab tanpa ragu, “Saya terima nikahnya…”
Ijab kabul sah.

Beberapa saat setelah akad selesai, Pak Yamin terkulai. Ia koma. Kepanikan menyelimuti rumah. Wardiah, anaknya yang berprofesi sebagai bidan, memeriksa denyut nadi sang ayah. Hitungan berhenti di enam puluh dua.
Ia menggeleng pelan.

“Innalillahi wa inna ilaihi raji’un…”
Tangis pecah. Anak-anak dan para menantu memeluk jasad Pak Yamin. Siti Hanifah—yang baru saja dinikahkan oleh ayahnya—pingsan dalam pelukan Rahmad. Duka dan bahagia bertemu dalam satu waktu yang tak pernah diminta.

Pak Yamin telah pergi, namun ia pulang dengan tenang: satu di antara sembilan bidadarinya telah ia serahkan langsung dari tangannya sendiri.
Tangga Buntung, 1 Februari 2021

Komentar