JAKARTA,SumselPost.co.id — Gelombang aspirasi dari masyarakat Surabaya dan Sidoarjo kembali menggema, mereka menyuarakan penolakan terhadap keputusan penonaktifan Wakil Ketua DPR RI, Adies Kadir. Warga menyebut penonaktifan itu tidak hanya melukai demokrasi, tetapi juga bertentangan dengan konstitusi dan Undang-Undang yang berlaku.
Menurut Slamat Raharjo, tokoh masyarakat Sidoarjo, menilai keputusan menonaktifkan Adies Kadir tidak memiliki dasar hukum yang sah. “Penonaktifan anggota DPR tidak diatur dalam UU MD3 (MPR, DPR, DPD). Kesalahan berbicara, atau slip of tongue, adalah hal yang manusiawi. Bahkan tokoh publik sekaliber Adies Kadir pun bisa mengalaminya,” tegasnya, Selasa (28/10/2025).
Slamat menegaskan bahwa satu kekhilafan verbal tidak seharusnya menghapus rekam jejak panjang pengabdian seorang wakil rakyat. “Adies Kadir telah lama mengabdi untuk kami, masyarakat Surabaya-Sidoarjo. Menyederhanakan seluruh kontribusinya hanya karena satu kesalahan ucapan adalah bentuk penghakiman yang tidak proporsional,” ungkapnya.
Ia juga menyoroti bahwa Adies Kadir adalah representasi sah dari masyarakat Dapil Jawa Timur. “Kalau ada yang ingin meminta beliau mundur, seharusnya itu kami, karena kami yang memilih beliau untuk duduk di Senayan,” jelas Slamat.
Secara terpisah, pakar hukum tata negara Prof Dr Margarito Kamis juga memperkuat pandangan masyarakat tersebut. Ia menyatakan bahwa tidak ada ketentuan dalam perundang-undangan yang mengatur status “non aktif” bagi anggota DPR RI. “Gak ada itu dalam Undang Undang anggota DPR dinonaktifkan. Semua haknya harus tetap diberikan sampai ada putusan pengadilan yang inkrah,” tegas Margarito.
Ia menekankan prosedur etik di DPR bersifat berjenjang dan harus melalui Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD). “MKD tidak bisa serta-merta memberhentikan anggota hanya karena tekanan publik. Tapi, harus ada aduan resmi, bukti pelanggaran, dan proses etik yang adil,” ujarnya.
Margarito menjelaskan bahwa pemberhentian tetap atau pergantian antar waktu (PAW) hanya bisa dilakukan oleh partai politik dan pimpinan DPR, dan keputusan tersebut pun masih dapat diuji di pengadilan oleh anggota yang bersangkutan.
Tidak Ada Istilah “Non Aktif” dalam Konstitusi
Dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, lanjut Margarito, kedudukan anggota DPR RI diatur secara tegas dalam UUD 1945 dan UU MD3. “Secara konstitusional, tidak dikenal istilah ‘anggota DPR non aktif’. Status keanggotaan melekat sejak pengucapan sumpah, dan hanya dapat berakhir melalui mekanisme hukum yang sah,” tambahnya.
Ia mengingatkan bahwa penetapan status “non aktif” tanpa dasar hukum yang jelas berpotensi melanggar prinsip kepastian hukum dan asas legalitas dalam negara hukum.
Seruan untuk Keadilan dan Kebijaksanaan
Masyarakat Surabaya-Sidoarjo menyerukan agar seluruh pihak bersikap adil dan bijak dalam menyikapi persoalan ini. “Jangan sampai setitik nila merusak susu sebelanga. Kita boleh kecewa, kita boleh mengkritik, tetapi jangan sampai kita menghapus seluruh kontribusi dan dedikasi hanya karena satu momen yang tidak mewakili keseluruhan karakter dan kinerja seseorang,” pungkas Slamat Raharjo. (MM)
–




















Komentar