Muara Enim Sumselpost.co.id -Sirine yang terletak di bangunan kantor walikota Palembang yang merupakan peninggalan Belanda sebagai toren atau menara air. Begitu juga Sirine atau Suling di Pemkab Muara Enim yang berada di Kantor Pemkab Muara Enim yang masih aktif sampai saat ini, yang sekarang masih digunakan sebagai kantor pemerintah kota Palembang dan Pemerintah Kabupaten ( Pemkab Muara Enim ).
Disana terdapat sebuah alat / media yang dapat dibunyikan sebagai tanda bila terjadi bencana alam, sehingga masyarakat waspada terhadap situasi dan kondisi.
Menurut Ratu Dewa walikota Palembang, dahulu juga punya peran vital yakni sebagai pertanda waktu masuk kerja, istirahat dan pulang kerja.
Sedangkan pada saat Ramadhan, berfungsi sebagai penanda waktu imsak dan berbuka puasa.
Ini menjadikan simbol sejarah yang tidak terpisahkan dari kehidupan masa kolonial.
Melalui Dinas terkait untuk menjaga efektivitas penggunaan serta tujuan dan maksud kedepan. Pemkot Palembang akan segera menyusun Peraturan Walikota, sehingga detail saat dibunyikan dan irama Sirine nya sehingga warga kota Palembang tau maksudnya.
Begitu juga di Kota Muara Enim Sirine atau Suling tersebut yakni sebagai pertanda waktu masuk kerja, istirahat dan pulang kerja.
Sedangkan pada saat bulan Ramadhan, berfungsi sebagai pertanda masuk waktu imsak dan berbuka puasa.
Penulis sebagai seorang pemerhati budaya adat istiadat dan juga pengamat hukum kolonial yang berlaku di tanah air ini, mengusulkan agar di bunyikan sirene atau suling yang berada di Pemkot Palembang, Pemkab Muara Enim dan juga kalau ada sirene atau Suling di Pemkab Pemkab lainya untuk dapat di bunyikan pertanda berakhirnya dan saat berlakunya hukum kolonial yaitu sebuah buku ( wet) WvS ( terjemahan Soesilo Kitab Undang Undang Hukum Pidana) , akan berganti dengan Kitab Undang Undang Hukum Pidana Nasional ( KUHP).
KUHP Nasional yang berlaku secara nasional diatur dalam undang-undang nomor 1 tahun 2023.
Dan disahkan oleh Presiden Republik Indonesia pada tanggal 2 Januari 2023 dan efektif berlaku untuk menghapuskan hukum kolonial Belanda pada tanggal 2 Januari 2026 ( sesuai ketentuan pasal nya mulai berlaku pada 3 tahun setelah disahkan). Tepat pada tanggal 2 Januari 2026. Telah terjadi revolusi Hukum kolonial ( WvS) menjadi hukum nasional ( KUHP Nasional). Karya besar putra putri Indonesia yang mulai digarap sejak tahun 1960. Oleh putra putra terbaik bangsa Indonesia yang silih berganti.
Kata Revolusi teringat sebuah nama buku yang berjudul Dari Hukum Kolonial ke Hukum Nasional. ( Dinamika sosial politik dalam perkembangan hukum di Indonesia, karya Prof. Soetandjo Wignjosoebroto ( guru besar ilmu sosiologi hukum Universitas Airlangga Surabaya.)
Juga kata Revolusi istilah Prof. Dr. Satjipto Rahardjo, SH, ( guru besar universitas Diponegoro Semarang).
Kesimpulan sebagai pencinta hukum Nasional kami mengusulkan kepada pemerintah kota Palembang melalui walikota Palembang bapak Drs H. Ratu Dewa, Msc, dan Bupati Muara Enim, H. Edison agar SIRENE yang ada di menara air pada gedung pemerintahan kota Palembang, dan Suling yang berada Di Pemkab Muara Enim di bunyikan nya saat 2 Januari 2026 tanda awal REVOLUSI Hukum kolonial ke hukum Nasional ( WvS – KUHP Nasional). (jn.red)
Oleh : H Albar Sentosa Subari, SH SU ( Ketua Lembaga Adat Melayu Peduli Marga Batang Hari Sembilan ) dan
Marshal ( Pemerhati dan Pengamat Sosial dan Hukum Adat Indonesia )




















Komentar