Revisi UU Perlindungan Konsumen Mendesak untuk Lindungi Masyarakat E-Commerce

Nasional35 Dilihat
banner1080x1080

JAKARTA,SumselPost.co.id  – UU No.8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen ini memang sudah 25 tahun, jelas belum mengakomodir digitalisasi ekonomi dan konsumen di era digitalisasi ekonomi saat ini. Karena itu, Komisi VI DPR sudah membentuk Panja RUU Perlindungan Konsumen, agar UU ini nantinya adaptif sejalan dengan era digitalisasi ekonomi atau e-commerce

“Hal itu dirasakan oleh pemerintah dan masyarakat sendiri dimana kehidupan sekarang ini jauh berbeda dengan 25 tahun silam. Sehingga banyak hal-hal yang belum terakomidir dalam UU ini,” tegas Ismail Bachtiar.

Hal itu disampaikan anggota Panja RUU Perlindumgan Konsumen dari FPKS itu dalam forum legislasi yang digelar Koordinatoriat Wartawan Parlemen (KWP) bekerja sama dengan Biro Pemberitaan DPR RI “Revisi UU Perlindungan Konsumen Diharapkan Menjawab Problem Digitalisasi” bersama dan Ketua Forum Konsumen Berdaya Indonesia (FKBI), Tulus Abadi, di Gedung DPR RI Senayan Jakarta, Selasa (1/7/2025).

Baca Juga  Puan: Jenderal Agus Subianto Calon Panglima TNI Gantikan Jenderal Laksamana TNI Yudo Margono

Lebih lanjut Ismail mengatakan banyak anggota masyarakat yang belum paham betul komersialisasi atau e-commerce saat ini, sehimgga bingung ketika dihadapkan berbagai masalah digitalisasi hingga merasa dirugikan. Apalagi Indonesia masuk peringkat 9 pengguna digitalisasi e-commerce di dunia, karenanya RUU ini mendesak untuk memberikan perlindungan kepada pengguna e-commerce.

Selain itu, definisi konsumen ini berbeda dengan dulu yang hanya berpegangan pada barang dan jasa, tapi sekarang bisa melibatkan banyak hal. Dimana penjual di Makassar bisa langsung komunikasi dengan konsumen di luar pulau .bahkan lintas negara. “Itulah antara lain.yamg akan diatur dalam RUU ini,” ujarnya.

Termasuk banyak kasus yang viral seperti skin care dan obatan-obatan yang banyak merugikan masyarajat. “Jadi, RUU ini sebagai ikhtiar untuk memberikan kepastian jaminan konsumen yang akan ditangani oleh badan tersendiri. Bukan Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) yang sudah ada,” ungkap Ismail.

Baca Juga  Baleg DPR Setujui Sembilan Perubahan Penting dalam Regulasi Imigrasi

Sementara itu menurut Tulus Abadi seharusmya UU.No.8 tahun 1999 ini bukan direvisi tapi amandemen. Karena persolannyan jauh berbeda dengan kondisi pada 25 tahun silam. Hal itu agar bisa menampung aspek-aspek isu konsumen secara holistik, komprehensif, dan akan efektif dalam menangani konsumen di Indonesia.

“Sekarang ini memang kita tidak bisa lepas dengan isu digital dan secara substansi hukum digital itu belum diatur di dalam UU. Terlebih dimensinya sangat luas misalnya terkait definisi pelaku usaha, bukan hanya satu atau dua lembaga tapi bisa lebih dari itu. Misalnya kita pesan food online, ini melibatkan banyak pihak: produsen, penjual, pengirim barang secara online, e-commerce dan sebagainya,” jelas Tulus.

Setidaknya lanjut Tulus, ada sepuluh poin yang perlu penguatan di dalam RUU Perlindungan Konsumen ini, yaitu secara paradigmatis dan ideologis RUU ini harus mengakomodir isu konsumsi berkelanjutan. Sistem ini sangat relevan dengan isu krisis perubahan iklim, itu harus diatur karena perubahan iklim ini salah satu pemicu signifikan dengan kemasan makanannya, proses dari hulunya dari pelaku usahanya dan juga sampahnya dan sebagainya.

Baca Juga  Buka Masa Sidang, Puan Minta Pemerintah Miliki Strategi Khusus Atasi KKB di Papua

Lalu, soal perlindungan konsumen rentan, misalnya orang tua, disabilitas itu jangan disamakan dengan konsumen secara umum, konsumen produk adiktif seperti produk tembakau atau rokok dll, imunitas konsumen, jangan ada pembungkaman hak-hak konsumen dan lain-lain.

Dikatakan, ada tiga kelembagaan yang disebut Badan Perlindungan Konsumen nasional (BPKN), Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) di level provinsi dan kabupaten/kota dan LPSE (Layanan Pengadaan Secara Elektronik). “Yang urgent BPKN dam BPSK maka harus diperkuat. Jangan sampai BPKN menjadi lembaga yang kurang bergigi, sehingga tidak bisa berbuat banyak. Jadi, semua harus diperkuat karena sifatnya memerankan fungsi-fungsi negara untuk melindungi konsumen,” pungkasnya. (MM)

 

Komentar