JAKARTA,SumselPost.co.id – Perpanjangan masa jabatan kepala desa (Kepdes) dari 6 tahun dan maksimal bisa dipilih hingga tiga periode, dan dalam revisi UU No. 6 tahun 2014 tentang Desa, menjadi 9 tahun dan bisa dipilih selama dua periode dikhawatirkan terjadi oligarki politik dan cenderung terjadi penyimpangan atau koruptif.
Demikian disampaikan pakar otonomi daerah Djohermansyah Djohan dalam diskusi forum legislasi “Revisi UU Desa, Mampukah Pemerintah Desa Meningkatkan Kesejahteraan Masyarakat?” bersama Wakil Ketua Baleg DPR RI Achmad Baidowi (Fraksi PPP) dan anggota Baleg DPR Mardani Ali Sera (Fraksi PKS), di Gedung DPR RI Senayan Jakarta, Selasa, (18/7/2023).
Lebih lanjut Djohermansyah mengatakan aturan itu mesti memenuhi syarat, sesuai tradisi desa, dimana kini desa jumlahnya mencapai 80 an ribu yang sebelumnya 50 ribuan desa akibat pemekaran otonomi daerah. Karenanya kewenangan kepala desa itu harus jelas termasuk sumber penghasilannya, kerjanya terlembagakan, memiliki Binwas (pembinaan dan pengawasan), dan kalau terlalu lama hingga 9 tahun, itu dipastikan akan terjadi oligarki, merusak demokrasi, tak ada regenerasi, dan cenderung korup.
“Bahkan dengan masa jabatan selama 6 tahun dan bisa dipilih sampai 3 periode ini blunder. Sementara jabatan yang lain hanya 5 tahun dan maksimal dua periode. Jadi, perpanjangan 9 tahun plus penambahan dana desa yang pengawasaannya tidak jelas ini keluar dari spirit reformasi 98, tak sejalan dengan UUD NRI 1945, yang menekankan pembatasan kekuasaan eksekutif,” jelas Djohermansyah.
Dengan demikian pengawasan dalam penggunaan dana desa itu harus diperkuat, dan sekretaris desa yang mengelola manajemen desa itu harus diaokomodir dari kabupaten. “Sebab, BPK Kabupaten sulit menjangkau aparat desa,” ungkapnya.
Awiek – sapaan akrab Achmad Baidowi mengakui kalau produk UU di DPR ini politis, karena DPR RI ini lembaga politik. Hanya saja perpanjangan masa jabatan ini tidak merubah masa jabatan sebelumnya; yaitu selama 6 tahun dan bisa dipilih kembali hingga tiga periode, itu juga lamanya hingga 18 tahun.
“Penambahan dana desa yang tentu tidak sama antara desa satu dengan yang lain, karena terkait besarnya jumlah penduduk dan luasnya wilayah, maka dana desa itu dapat mempercepat pembangunan desa, untuk menghindari urbanisasi penduduk dari desa ke kota, dan tentu agar kepala desa segera mampu mewujudkan kesejahteraan masyarakat di desa,” jelas Ketua DPP PPP itu.
Sementara itu Mardani Ali Sera menegaskan pihaknya menolak penyeragaman desa, dan penambahan dana desa tersebut dikhawatirkan akan menggerus modal sosial, seperti gotong royong, bantu membantu dan sebagainya yang selama ini guyub, malah akan tergerus dan bisa hilang akibat semuanya dinilai dengan uang.
“Jadi, revisi UU Desa sebagai inisiatif DPR ini tak bisa dilakukan sendiri, melainkan harus melibatkan banyak pihak yang memahami kondisi dan struktur pedesaan yang beragam di Indonesia,” tambahnya.(MM)
Komentar