KUNINGAN,SumselPost.co.id – Pemilihan kepala daerah (Pilkada) 2024 menyisakan banyak sekali agenda penting yang harus disempurnakan ke depan. Salah satunya adalah menata ulang pengaturan pilkada dalam undang-undang untuk memastikan bahwa politik uang atau kecurangan yang bersifat TSM(Terstruktur, Sistematis,Massif) bisa diatasi.
“Mungkin ini pengaruh dari pileg dan pilpres sebelumnya, sehimgga pilkada serentak 2024 juga marak dengan politik uang, khususnya di tingkat kabupaten/kota. Meskipun belum ada riset mendalam soal ini, tidak sedikit calon kepala daerah terpilih sangat mungkin dihasilkan dari politik uang dan atau kecurangan TSM,” demikian Yanuar Prihatin,
Calon Bupati Kabupaten Kuningan 2024, pada Kamis (12/12/2024).
Menurut mantan Wakil Ketua Komisi II DPR RI itu, hal itu bisa dibayangkan bagaimana masa depan daerah akan dikelola, sementara proses meraih jabatan pun dilakukan dengan menghalalkan segala cara. Politik uang dan kecurangan yang bersifat TSM adalah kejahatan pidana. Mereka yang melakukan kejahatan biasanya disebut penjahat. “Artinya, tidak sedikit kabupaten/kota akan dipimpin oleh para penjahat pilkada atau penjahat demokasi,” ujarnya.
Yanuar menyontohkan yang sederhana pilkada di Kabupaten Kuningan, di mana dirinya ikut serta sebagai kontestan pilkada. Ternyata politik uang dan kecurangan bersifat TSM marak dilakukan di hari tenang antara 24 – 26 Nopember 2024. Dari 376 desa/kelurahan, diduga sebanyak kurang lebih 360 desa/kelurahan terinfeksi politik uang dan kecurangan TSM ini. Sekitar 1.632 TPS terserang virus ganas politik uang atau materi lainnya, dari total 1.927 TPS. Diperkirakan lebih dari 250an ribu pemilih terdampak kejahatan pilkada ini, dari total 554.288 suara sah yang ditetapkan saat rekapitulasi tingkat kabupaten.
Namun, ia juga sangat menyayangkan, politik uang dan kecurangan TSM lagi-lagi sangat sulit dibuktikan apalagi diproses hukum. “Undang-undang Pilkada tidak mampu mencegah apalagi mengatasi kejahatan pilkada ini. Contoh, dalam Pasal 73 Undang-undang Nomor 10 tahun 2016 disebutkan bahwa Calon dan/atau tim Kampanye dilarang menjanjikan dan/atau memberikan uang atau materi lainnya untuk mempengaruhi penyelenggara Pemilihan dan/atau Pemilih. Calon dan/atau tim Kampanye dilarang menjanjikan dan/atau memberikan uang atau materi lainnya untuk mempengaruhi penyelenggara Pemilihan dan/atau Pemilih. Jika terbukti bisa dikenakan sanksi administratif pembatalan calon,” jelas Yanuar.
“Bisakah ini efektif diterapkan? Sangat sulit. Bagaimana jika relawan (bukan Tim Kampanye yang Tedaftar di KPU) yang membagikan uang atau materi lainnya kepada pemilih atau penyelenggara pemilu,bisakah menggugurkan pencalonan jika terbukti? Bersediakah para pemilih yang menerima uang atau materi lainnya menjadi saksi dalam kasus politik uang dan gerakan TSM ini? Pasti sulit, karena mereka pun tidak mau kena sanksi pidana berupa penjara dan denda,” ungkap Ketua DPP PKB itu.
Belum lagi soal waktu pelaporan yang terbilang pendek. Dalam Pasal 4 Peraturan Bawaslu Nomor 9 Tahun 2024 tentang Penanganan Pelanggaran Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Wali Kota dan Wakil Wali Kota disebutkan, laporan dugaan pelanggaran dalam pilkada harus disampaikan paling lambat 7 hari setelah diketahui atau ditemukan pelanggaran. “Jelas ini waktu yang ketat dan singkat ini menjadi hambatan serius dalam mengungkap pelanggaran politik uang dan kecurangan TSM. Pembatasan hari yang singkat ini sebenarnya terbilang ganjil, kok tindakan pidana bisa hangus karena soal waktu,” tambahnya.
Atas dasar itu lanjut Yanuar, maka sudah layak jika undang-undang pilkada direvisi. Antara lain, warga masyarakat yang menerima uang atau materi lainnnya harus dilindungi agar mereka memiliki keberanian untuk melapor dengan sukarela tanpa dihantui sanksi pidana. Hapus saja sanksi pidana untuk warga yag menerima uang atau meteri lainnya ini. Kenapa? Masyarakat adalah korban dari para calon dan tim kampanye atau relawan.
“Sebab, para kandidat memanfaatkan dengan terencana kelemahan ekonomi warga untuk meraih dukungan. Jika para kandidat tidak melakukan serangan fajar, maka masyarakat pun pada dasarnya tidak akan mencari-cari kesempatan untuk terlibat dalam tindakan kejahatan politik uang,” tegas Yanuar.
Selain itu kata dia, waktu pelaporan terjadinya politik uang atau kecurangan yang bersifat TSM tidak masuk akal dibatasi hanya 7 hari sejak kejadian. Patokannya sebaiknya bukan sejak kejadian, tetapi sebelum pelantikan pasangan calon terpilih. Sebelum dilantik masyarakat dan pasangan calon tetap bisa melaporkan. Tinggal dihitung saja harinya agar bisa disesuaikan dengan kebutuhan waktu proses hukum di Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi.
Dikataklan, jika perlu karena ini tindak pidana serius, maka tidak ada pembatasan waktu akan lebih baik. Artinya meskipun sudah terjadi pelantikan, jika di kemudian hari paslon terpilih terbukti melanggar, maka masih tetap bisa digugurkan. “Inilah keadilan demokrasi. Mereka yang berbuat salah dan melanggar aturan jangan seenaknya lolos dari jerat hukum. Dengan cara ini, siapapun calonnya diharapkan akan sangat hati-hati jika berniat melakukan politik uang atau pelanggaran bersifat TSM,” tuturnya.
Yanuar mengusulkan, satu hal lagi, KPU dan Bawaslu di tingkat kabupaten/kota sebaiknya dibubarkan, dan diganti dengan badan ad hoc saja. Lembaga penyelenggaran pemilu di tingat kabupaten/ini rawan kena virus persekongkolan jahat pemilu atau pilkada. Hanya sedikit sekali kasus persekongkolan ini bisa diungkap. Dengan menjadikan badan ad hoc, berarti telah menyelamatkan demokrasi Indonesia ke depan. Lagi pula setelah pemilu dan pilkada serentak, KPU dan Bawaslu tingkat kabupaten/kota tidak lagi punya peran yang terlalu penting.
Ia minta itu dipertimbangkan sebagai badan ad hoc di tingkat kabupaten/kota hingga tingkat kecamatan, desa/kelurahan dan tingkat TPS (Tempat Pemungutan Suara), keanggotaannya bisa diisi oleh partai politik. Alasannya sederhana, jika partai politik ada di dalamnya maka kemungkinan terjadinya kecurangan dari internal penyelenggara bisa dicegah. Otomatis mereka akan mengembangkan sikap saling kontrol secara ketat. Selama ini sangat terbuka kemungkinan PPK, PPS hingga KPPS menjadi target operasi untuk pengkondisian kecurangan yang bersifat TSM.
“Dengan terobosan ini sekaligus mengurangi kemungkinan campur tangan para pejabat daerah, BUMD, aparat kepolisian, TNI dan kepala desa untuk mengintervensi penyelenggara pemilu dan proses politik pilkada di tingkat kabupaten/kota, kecamatan, desa/kelurahan dan TPS,” pungkasnya. (MM)
Komentar