Pengadilan Kabulkan Gugatan Nelayan Atas Semen Holcim, DPR Ingatkan Presiden: Ekonomi Hijau Harus Segera Temukan Formulanya

Nasional61 Dilihat
banner1080x1080

JAKARTA,SumselPost.co.id – Bencana hidrometeorologi Sumatera dan kemenangan gugatan iklim nelayan Indonesia di Pengadilan Kanton Zug, Swiss adalah batu ujian terhadap gagasan Ekonomi Hijau dalam Asta Cita Presiden Prabowo. Dua peristiwa beriringan ini, telah membuktikan bahwa upaya pengembangan ekonomi kreatif, ekonomi hijau dan ekonomi biru sebagai strategi utama dalam mencapai kemandirian bangsa, harus segera menemukan formula idealnya.

Demikian disampaikan Wakil Ketua Komisi IV DPR RI, Alex Indra Lukman, merespon dikabulkannya seluruh permohonan dalam gugatan yang diajukan empat nelayan Indonesia, terhadap perusahaan semen multinasional asal Swiss, Holcim yang diumumkan Pengadilan Kanton Zug, Swiss tanggal 22 Desember 2025 lalu.

Dalam gugatannya, nelayan ini menuntut kompensasi dari Holcim atas dampak perubahan iklim yang mereka alami, dukungan pendanaan untuk perlindungan banjir serta penurunan emisi CO2 secara cepat. Juga halnya dengan bencana hidrometeorologi Sumatera yang melanda tiga provinsi, Aceh, Sumatera Utara dan Sumatera Barat.

Bencana yang menyebabkan banjir bandang dan tanah longsor itu, juga tak lepas dari praktik deforestasi massif, akibat pembukaan lahan perkebunan sawit dan pertambangan yang merusak ekosistem hutan.

“Para pembantu presiden harus bergerak cepat dan tepat dalam menerjemahkan Astacita ini terutama yang terkait dengan hilirisasi, industrialisasi dan pembangunan SDM, untuk memastikan pertumbuhan ekonomi yang harmonis dengan alam dan berkelanjutan sebagaimana dicita-citakan presiden,” tegas Ketua PDI Perjuangan Sumatera Barat itu, Senin (29/12/2025).

Ancaman deforestasi ini makin nyata di masa depan, jika merujuk pidato Presiden Prabowo Subianto di sidang tahunan MPR dan sidang bersama DPR dan DPD tanggal 15 Agustus 2025 lalu.

Dalam kesempatan itu, Presiden Prabowo menyampaikan, negara telah mengambil alih 3,1 juta hektar sawit illegal dalam kawasan hutan di berbagai wilayah di Indonesia.

Dimana, 1 juta hektare di antaranya diberikan pada PT Agrinas Palma Nusantara tanggal 9 Juli 2025. “Seharusnya, pengambilalihan 3,1 juta hektar sawit itu disertai pemetaan yang lebih memihak gagasan ekonomi hijau,” jelas Alex.

Keperpihakan terhadap gagasan ekonomi hijau itu, menurut Alex, sejatinya telah ditunjukan pemerintah dengan pencabutan tanaman sawit yang merambah hingga Taman Nasional Teso Nilo (TNTN) di Kabupaten Pelalwan, Riau.

Selain mengambil alih lahan sawit illegal, seharusnya negara juga menindaklanjutinya dengan pemetaan potensi ancaman akibat pencaplokan hutan secara illegal itu. “Semua kebun sawit yang berada di hutan lindung dan konservasi alam, semestinya juga diperlakukan serupa kasus TNTN,” tegas Alex.

Dengan begitu, hutan yang telah berganti jadi tanaman sawit, tak lagi jadi ancaman secara ekologi dan lingkungan. Menurut anggota DPR RI Dapil Sumbar I itu, Indonesia dengan deposit hutan tropis terluas di dunia, semestinya jadi garda terdepan dalam isu global yang terkait dengan perubahan iklim.

Selain itu, tegas Alex, para pembantu presiden juga harus serius menciptakan pertumbuhan ekonomi baru sesuai janji kampanye Pemilu 2024 lalu. “Di penutup tahun 2025, bangsa ini telah diberikan yurisprudensi oleh Pengadilan Swiss, bahwa perusak lingkungan itu bisa dituntut secara hukum. Ini merupakan preseden yang harus dicermati presiden, dalam membuat kebijakannya di masa depan,” pungkasnya. (MM)

Postingan Terkait

Postingan Terkait

Komentar