SumselPost.co.id. Palembang,- Dua pasal dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menuai sorotan lantaran dianggap bisa mengancam kewenangan jaksa dan polisi. Dua pasal tersebut, yakni Pasal 111 Ayat (2) dan Pasal 12 Ayat (11).
Pendiri Perserikatan Mahasiswa Hukum Sumatera Selatan (PERMAHUM SUMSEL) Memo Naufal Othman, S.H menyoroti sejumlah ketentuan dalam RUU KUHAP yang dinilai dapat menimbulkan persoalan baru antara kepolisian dan kejaksaan. Dalam Pasal 111 Ayat (2), jaksa diberikan kewenangan untuk mempertanyakan keabsahan proses penangkapan dan penahanan yang dilakukan oleh kepolisian. Seharusnya pasal tersebut mutlak kewenangan dari kepolisian.
Jika jaksa memiliki kewenangan untuk menerima laporan, melakukan penyelidikan, dan sekaligus menuntut, maka akan terjadi tumpang tindih kewenangan dengan kepolisian. “Jadi penyidik (jaksa, red) bisa menyidik sendiri, menuntut sekaligus menyidik. Kecuali, memang perkara tindak pidana khusus karena tindak pidana korupsi dan pelanggaran HAM berat itu extraordinary crime, kejahatan luar biasa, ” tuturnya.
Sebagai Sarjana Hukum sekaligus Pendiri PERMAHUM SUMSEL meminta agar pengesahan RUU KUHAP ditunda pengesahannya dan dikaji ulang karena;
1. Belum adanya ketentuan yang jelas tentang restorative justice (RJ), selain itu jika disahkan RUU KUHAP apakah bisa benar-benar dimanfaatkan oleh masyarakat yang rumahnya jauh dari kejaksaan, sedangkan polisi telah memiliki Polsek di setiap kecamatan dengan disahkan RUU KUHAP secara keorganisasian kurang bagus dan berpotensi tidak adanya batasan yang jelas antara jaksa dan polisi.
2. menimbulkan terjadinya dualisme dalam prosedur penyelidikan karena baik polisi maupun jaksa sama-sama memiliki kewenangan dalam penyelidikan.
Penegakan hukum di Indonesia ada, 4 yaitu ; Polisi, Jaksa, Advokat dan Hakim. Jika KUHAP ini ingin di Revisi makasih libatkan 4 Penegakkan hukum sehingga KUHAP tersebut sinkron. Tutur “Memo Naufal Othman”( rilis)
Komentar