Menguji Langkah Reformasi Polri: Dari Penunjukan Kapolri oleh Presiden hingga Penegasan Jabatan Sipil

Nasional39 Dilihat
banner1080x1080

JAKARTA,SumselPost.co.id  – Dua isu krusial muncul dalam momentum percepatan reformasi Polri, yakni wacana penunjukan langsung Kapolri oleh Presiden dan penegasan jabatan sipil yang dapat diduduki anggota Polri tanpa mekanisme pensiun. Keduanya mencerminkan kebutuhan mendasar untuk memastikan tata kelola kepolisian yang lebih profesional, transparan, dan tunduk pada kontrol demokratis.

Pertama, di tengah tuntutan publik atas transparansi penegakan hukum dan peningkatan integritas aparat, mekanisme pengisian jabatan Kapolri memegang peran strategis dalam menentukan arah perubahan institusional. Perdebatan mengenai kemungkinan Presiden menunjuk langsung Kapolri tanpa persetujuan DPR muncul sebagai momentum evaluasi terhadap efektivitas proses yang selama ini berjalan.

Kedua, pasca Putusan MK No. 114/PUU-XXIII/2025 yang menyatakan frasa “atau tidak berdasarkan penugasan dari Kapolri” dalam Penjelasan Pasal 28 ayat (3) UU 2/2002 telah menimbulkan kerancuan dan memperluas norma pasal a quo, serta menimbulkan ketidakpastian hukum sebagaimana telah dijamin dalam Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945. Kapolri mengeluarkan respons melalui Peraturan Polri No. 10 Tahun 2025 yang di dalamnya mengatur jabatan di 17 Kementerian/Lembaga sipil yang dapat diduduki anggota Polri.

Berkaitan dengan kondisi tersebut, berikut catatan SETARA Institute, Jumat (12/12/2025 sebagai berikut:

1. Wacana dan/atau usulan penunjukan Kapolri oleh Presiden tanpa persetujuan DPR memiliki dua sisi. Di satu sisi, kondisi ini dapat mengakibatkan proses penunjukan Kapolri menjadi tertutup, mengukuhkan supremasi tunggal di tangan Presiden, serta dapat berpotensi memperbesar risiko politisasi Polri jika Kapolri terpilih dianggap terlalu dekat secara politik dengan Presiden. Sementara di sisi lain, wacana tersebut menghindari tarik-menarik politik di DPR, meniadakan ruang negosiasi politik yang kerap melahirkan utang politik terhadap anggota DPR maupun fraksi tertentu, serta memastikan Kapolri yang dipilih benar-benar sejalan dengan visi Presiden.

2. Suksesi usulan tersebut memerlukan pengaturan ketat. Seperti, pertama, kewajiban memastikan transparansi dan akuntabilitas proses penunjukan oleh Presiden, meliputi publikasi rekam jejak, proses seleksi internal, indikator kompetensi, hingga alasan Presiden memilih kandidat tertentu. Kedua, pelibatan Kompolnas untuk memastikan objektivitas, integritas, dan profesionalisme proses seleksi. Pelibatan Kompolnas bukan hanya sebagai pemberi rekomendasi biasa, tetapi sebagai gatekeeper independen yang memastikan bahwa setiap calon Kapolri memenuhi standar etik dan kompetensi strategi. Ketiga, penguatan fungsi pengawasan DPR dengan fokus pada kinerja Kapolri setelah menjabat, termasuk potensi rekomendasi pemberhentian jika ada pelanggaran serius. Pengawasan berbasis kinerja ini diharapkan lebih substantif dibandingkan sekadar uji kelayakan formal. Serta keempat, membuka ruang konsultasi publik untuk mendengar berbagai masukan ahli dan masyarakat.

3. Berkaitan dengan Putusan MK No. 114/PUU-XXIII/2025, putusan ini dapat memegang peran signifikan dalam reformasi Polri. Melalui putusan tersebut, potensi penggunaan frasa terkait sebagai justifikasi ekspansi penempatan anggota Polri di luar institusi Polri dapat dihentikan. Argumentasi MK telah menyentuh titik substansial dampak frasa tersebut, yakni telah mengaburkan substansi frasa “setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian” dalam Pasal 28 ayat (3) UU Polri. Putusan ini dapat menjadi energi korektif bagi pemerintah dan cermin bagi institusi Polri untuk mempercepat konsolidasi reformasi kepolisian.

4. Berkaitan dengan 17 kementerian/lembaga yang dapat diduduki anggota Polri tanpa mekanisme pensiun, sebagaimana diatur melalui Peraturan Polri No. 10 Tahun 2025, di satu sisi merupakan kemajuan kecil dalam upaya reformasi Polri. Sejak UU Polri tahun 2002 diundangkan daftar 17 K/L ini dikeluarkan, tidak terdapat batasan yang rinci perihal jabatan sipil yang dapat diduduki anggota Polri. Akan tetapi, pada dasarnya juga perlu dijelaskan ke publik relevansi dengan jabatan yang disebutkan, serta perlu dilakukan pembatasan untuk aspek berikutnya, seperti maksimal jumlah anggota Polri yang dapat ditempatkan, pembatasan jabatan terkait, serta batas waktu penempatan, agar tidak terjadi migrasi anggota Polri ke K/L terkait, serta tidak merugikan jenjang karir ASN di K/L tersebut.

5. Pemerintah, dan juga Polri, perlu memperhatikan bahwa Peraturan Polri No. 10 Tahun 2025 ini juga berpotensi berimplikasi pada proses reformasi internal Polri. Sebab, alih-alih memperkuat profesionalisme inti Polri, seperti pemolisian demokratis dan modern, penegakan hukum berbasis HAM, dan peningkatan kualitas SDM, daftar 17 K/L ini justru dapat mengalihkan fokus institusi ke arah perluasan pengaruh kelembagaan dan dapat melahirkan berbagai konflik kepentingan. (MM)

Postingan Terkait

Postingan Terkait

Komentar