JAKARTA,SumselPost.co.id — Anggota Komisi II DPR RI dari Fraksi Partai Golkar, Ahmad Doli Kurnia, menyinggung adanya dana pemerintah daerah sebesar Rp234 triliun yang dilaporkan mengendap di perbankan. Menurutmya kondisi ini ironis, mengingat banyak kepala daerah sebelumnya mengeluhkan keterbatasan anggaran untuk membiayai pembangunan di daerah.
“Negara menginginkan agar proses pembangunan di seluruh aspek dan wilayah berjalan berkesinambungan. Tapi, yang terjadi malah dananya mengendap di bank,” kata Doli dalam dialektika demokrasi “Dari Mengendap ke Berdampak: Optimalisasi Anggaran Pemda untuk Pembangunan” di Gedung DPR RI Senayan, Jakarta, Kamis (23/10/2025).
Namun ironinya, lanjut politisi Partai Golkar itu, ada informasi dari Menteri Keuangan bahwa sekitar Rp234 triliun anggaran daerah tidak terserap dan justru mengendap di bank. Situasi ini menjadi kontradiktif karena di satu sisi pemerintah daerah menuntut tambahan dana transfer dari pusat, tetapi di sisi lain masih terdapat dana besar yang tidak terserap atau tidak terealisasikan.
Padahal, sekitar 80 persen pendapatan daerah selama ini masih bergantung pada transfer dari pemerintah pusat.
Sebelumnya, asosiasi gubernur seluruh Indonesia sempat menyampaikan keberatan kepada Menteri Keuangan atas rencana penurunan alokasi transfer ke daerah dalam Rancangan APBN 2026. Anggaran tersebut turun dari sekitar Rp900 triliun pada 2025 menjadi Rp600 triliun untuk tahun 2026.
Menurut Doli, pengurangan tersebut berpotensi menimbulkan kesulitan fiskal bagi banyak daerah, terutama yang masih sangat bergantung pada dana transfer. Karena itu, ia menekankan perlunya komunikasi yang lebih intens antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah agar kebijakan pengurangan tidak dilakukan secara mendadak.
“Kalau memang terjadi pengurangan, harus jelas aspek-aspek pembangunan apa saja yang terdampak. Pemerintah daerah jangan sampai kaget,” ujarnya.
Ia menegaskan pentingnya tata kelola keuangan daerah yang bersih dan transparan agar dana transfer benar-benar digunakan untuk mempercepat pembangunan yang dirasakan langsung oleh masyarakat.
Doli mengusulkan agar Kementerian Keuangan dan Kementerian Dalam Negeri segera duduk bersama seluruh kepala daerah untuk mencari tahu penyebab dana daerah mengendap dalam jumlah besar.
“Harus dibuka secara jelas, apakah ini karena mismanagement, kurangnya koordinasi, atau kepala daerah bahkan tidak mengetahui adanya dana yang belum terserap. Ini penting disinkronkan agar tidak terjadi kebijakan yang kontra produktif,” ujarnya.
Pengamat politik Pangi Syarwi Chaniago menilai kondisi tersebut sebagai ironi sekaligus “musibah” bagi tata kelola pemerintahan dan ekonomi nasional. “Aneh, kalau negara sudah punya uang tapi tidak bisa membelanjakan. Ini bukan prestasi, tapi musibah,” ujarnya.
Menurut Direktur Eksekutif Voxpol Center itu, rendahnya serapan anggaran daerah menunjukkan lemahnya kreativitas dan inisiatif pemerintah daerah (pemda) dalam mengelola pembangunan. Ia juga mengingatkan bahwa dana publik bukan untuk ditabung, melainkan diputar agar memberi dampak pada pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat.
Purbaya (Ketua Komite Investasi Nasional) sudah benar ketika mengingatkan agar dana tidak disimpan di bank. Mengingat anggaran itu harus menghasilkan, bukan tidur di bank. Sebab, potensi instabilitas di daerah akibat pemotongan dana transfer ke daerah yang sempat diberitakan turun dari Rp900 triliun menjadi Rp600 triliun. “Kondisi ini, berpotensi mengganggu pembayaran gaji aparatur daerah, terutama bagi pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (PPPK), tenaga harian lepas (THL), hingga pekerja paruh waktu,” ungkapnya.
Kalau dana transfer terhambat, gaji pegawai bisa ikut macet. Ini tentu berdampak pada operasional dan citra pemerintah pusat di mata rakyat. “Pemerintah pusat perlu berhati-hati agar kebijakan efisiensi dan pemotongan anggaran tidak justru menekan otonomi daerah. Dan, kita harus tetap percaya bahwa ada daerah-daerah yang kreatif, tapi ada juga yang masih belum mampu. Jangan semua disamaratakan seolah daerah tidak becus,” ujarnya.
Namun demikian, Pangi khawatir adanya risiko manipulasi data anggaran di tengah tekanan untuk mempercepat penyerapan menjelang akhir tahun. Menurutnya, kebiasaan mengejar “prestasi penyerapan” di penghujung tahun kerap melahirkan praktik akal-akalan. “Ketika ada sanksi bagi daerah yang tidak menyerap anggaran, maka mereka bisa saja memanipulasi laporan. Di Indonesia, setiap ada aturan selalu ada akal,” jelasnya.
Pemerintah seharusnya mengukur kinerja bukan dari seberapa cepat anggaran habis, melainkan dari seberapa besar manfaat yang diterima rakyat. “Anggaran bukan untuk ditabung, bukan untuk dikejar demi prestasi administratif. Tapi untuk mendorong kesejahteraan rakyat dan pertumbuhan ekonomi daerah,” pungkas Pangi. (MM)




















Komentar