Konten Poster Hoaks Menyebar, Komisi III DPR Tunjukkan Justru KUHAP Baru Berpihak ke Masyarakat

Nasional61 Dilihat
banner1080x1080

JAKARTA,SumselPost.co.id — Ketua Komisi III DPR RI Habiburokhman menegaskan bahwa poster yang beredar di media sosial mengenai Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP) adalah hoaks. Poster tersebut menuding bahwa jika RKUHAP disahkan, aparat kepolisian dapat melakukan penyadapan, penyitaan, hingga penangkapan tanpa izin hakim. Seluruh isi poster itu tidakl benar.

“Ada semacam poster di media sosial yang isinya tidak benar. Disebutkan kalau RKUHAP disahkan, polisi bisa melakukan (hal-hal tertentu) ke kamu tanpa izin hakim. Ini tidak benar sama sekali,” tegas Habiburokhman sambil memperlihatkan salinan poster tersebut dalam konferensi pers (Konpers) di Gedung DPR RI Senayan, Jakarta, Selasa (18/11/2025).

Menanggapi klaim bahwa polisi bisa menyadap dan mengutak-atik komunikasi tanpa izin, Habiburokhman menjelaskan bahwa KUHAP yang baru justru menegaskan mekanisme yang jauh lebih ketat. Ia menyebut Pasal 135 ayat (2) di UU KUHAP yang baru menyatakan bahwa penyadapan akan diatur secara khusus melalui undang-undang tersendiri, yang baru akan dibahas setelah RKUHAP disahkan.

“Semua fraksi menyadari bahwa penyadapan itu harus diatur secara hati-hati dan harus dilakukan dengan izin pengadilan. Jadi, undang-undangnya belum ada, tapi sikap politiknya sudah ada soal penyadapan,” ujarnya.

Lebih lanjut, poster hoaks itu juga menyebut polisi bisa membekukan rekening dan jejak digital secara sepihak. Habiburokhman menyebut narasi tersebut keliru. Menurutnya, Pasal 139 ayat (2) RKUHAP dengan jelas menyatakan bahwa semua bentuk pemblokiran, baik rekening maupun data online, harus mendapatkan izin hakim.

Tudingan bahwa penyidik bisa mengambil HP atau laptop tanpa izin hakim juga dibantah oleh Komisi III. Menurut Habiburokhman, semua bentuk penyitaan harus dengan izin Ketua Pengadilan Negeri, baik itu penyitaan handphone, laptop, dan lain sebagainya.

Habiburokhman juga menepis klaim bahwa KUHAP baru memungkinkan penangkapan tanpa dasar tindak pidana. Ia menegaskan bahwa penangkapan baru dapat dilakukan setelah seseorang resmi ditetapkan sebagai tersangka, dan penetapan itu mensyaratkan dua alat bukti.

Adapun penahanan memiliki syarat yang jauh lebih objektif dibanding KUHAP lama yang kerap dipakai pada masa Orde Baru. Dalam KUHAP baru, tambahnya, penahanan hanya bisa dilakukan apabila, pertama, tersangka mengabaikan panggilan dua kali; kedua, tersangka memberikan keterangan yang tidak sesuai fakta; ketiga, tersangka menghambat proses pemeriksaan (obstruction of justice); keempat, tersangka berupaya melarikan diri, mengulangi tindak pidana, menghilangkan alat bukti, atau keselamatannya terancam

“Kelima, tersangka mempengaruhi saksi untuk berbohong yang juga termasuk obstruction of justice,” jelas Politisi Fraksi Partai Gerindra ini.

Menguatkan argumen tersebut, Habiburokhman menjelaskan soal subjektivitas yang ada dalam KUHAP lama. Dalam KUHAP lama, seseorang bisa ditahan atas dasar tiga kekhawatiran, yakni khawatir melarikan diri, khawatir menghilangkan alat bukti serta khawatir mengulangi tindak pidana. Menurutnya, unsur dan subjektivitasnya hanya ada pada penyidik.

Habiburokhman turut mencontohkan beberapa kasus yang menurutnya merupakan “korban KUHAP lama”. Ia menyebut justru KUHAP lama yang selama ini membuka peluang penahanan sepihak. Oleh karena itu, ia menilai yang darurat untuk segera dihentikan adalah penerapan KUHAP lama.

Seperti diketahui, RKUHAP telah disahkan menjadi Undang-Undang dalam Rapat Paripurna DPR RI yang digelar pada Selasa (18/11/2025). Keputusan tersebut diambil setelah mendengar laporan dari Habiburokhman dan mengetahui persetujuan dari semua anggota fraksi (MM)

Komentar