Kompolnas Terima Laporan TPDI dan Perekat Nusantara Terkait Bareskrim Polri yang Tolak Laporan Sirekap KPU

Nasional232 Dilihat

JAKARTA,SumselPost.co.id -Ibu Poengky Indarti, Anggota KOMPOLNAS, Lembaga Pengawas Kepolisian menerima kedatangan Advokat-Advokat TPDI dan Perekat Nusantara, yang terdiri dari Advokat: Petrus Selestinus, Erick S. Paat, Robert B. Keytimu, Jemmy S. Mokolensang, Paskalis A. Dachunha, Ricky D. Moningka, Pitri Indrianingtyas dan Roslina Simangunsong), melaporkan sikap Bareskrim Polri yang menolak Laporan Polisi Advokat-advokat TPDI dan Perekat Nusantara pada tanggal 1 dan 4 Maret 2024 lalu, dengan alasan materi laporan merupakan yurisdiksi Bawaslu Cq. Gakumdu.

Dalam dialog dengan Kompolnas, TPDI dan Perekat Nusantara, menyatakan sangat berkeberatan dan menolak sikap Bareskrim Polri yang menolak upaya masyarakat membuat Laporan Polisi, tentang dugaan telah, sedang atau diduga akan terjadi suatu peristiwa pidana terkait SIREKAP, baik dari aspek pengadaan karena ada dugaan korupsi, maupun dari aspek Penyebaran Berita Bohong melalui SIREKAP KPU, sesuai ketentuan pasal 14 UU No. 1 Tahun 1946 Tentang Peraturan Hukum Pidana, yang menjadi Yurisdiksi Bareskrim Polri.

“Karena itu, menjadi aneh dan tidak masuk diakal, ketika Bareskrim mengarahkan Para Advokat TPDI dan Perekat Nusantara agar melapor ke Bawaslu, Cq. Gakumdu, dengan alasan persoalan Sirekap masuk yurisdiksi Bawaslu Cq. Gakumdu,” tegas Koordinator TPDI dan Perekat Nusantara Petrus Selestinus, Rabu (20/3/2024).

Padahal menurut Para Advokat TPDI, secara Hukum Acara Pidana berdasarkan pasal 1 angka 24 KUHAP, bahwa Laporan adalah “pemberitahuan yang disampaikan oleh seseorang karena hak atau kewajiban berdasarkan UU kepada pejabat yang berwenang tentang, telah, sedang atau diduga akan terjadi peristiwa pidana”.

Lecehkan Publik

Dalam penyampaian di Kompolnas, Advokat-Advokat TPDI dan Perekat Nusantara merasa hak atau kewajibannya berdasarkan UU untuk melapor kepada Polri, untuk dugaan tindak pidana besar dan sangat sensitif dalam kehidupan bernegara, telah dilecehkan oleh Barsekrim Polri dengan alasan yang tidak memiliki landasan hukum dan bertentangan dengan wewenang Polri berdasarkan UU ITE.

“Sikap Bareskrim Polri yang menempatkan semua aktivitas terkait kepemiluan menjadi wewenang atau yurisdiksi Bawaslu Cq. Gakumdu, sebagai suatu sikap melempar tanggung jawab atau Bareskrim Polri terjebak dalam perilaku politik praktis yang diurus oleh Bawaslu. Padahal di dalam UU No.7 Tahun 2017 Tentang Pemilu, kedudukan Polri di Bawaslu menjadi “subordinasi”, karena Polri berada dalam organ Gakumdu yang secara struktur melekat di bawah Bawaslu. (pasal 476 UU No.7 Tahun 2017, Tentang Pemilu),” jelas Petrus.

Di sinilah lanjut Petrus, marwah Polri runtuh, karena hanya demi Pemilu 2024, Bareskrim menolak Laporan Masyarakat tentang dugaan tindak pidana yang menyangkut dugaan penyebaran berita bohong dan korupsi terkait SIREKAP, tetapi mengarahkan Masyarakat melapor ke Bawaslu. Padahal tidak semua dugaan tindak pidana terkait aktivitas kepemiluan menjadi wewenang Bawaslu.

Baca Juga  Pidato Kenegaraan Presiden: Indonesia Berpeluang Besar Raih Indonesia Emas 2045

Kompolnas

Sementara itu, Ibu Poengky Indarti, Anggota Kompolnas yang menerima Advokat TPDI dan PEREKAT NUSANTARA, menyampaikan bahwa Laporan dan Pengaduan TPDI dan Perekat Nusantara akan segera ditindaklanjutan dengan komunikasi dan surati KAPOLRI di samping akan diupayakan dialog bersama dengan Pihak Bareskrim dan pejabat terkait lainnya yang dimediasi oleh Kompolnas.

Selain itu terkait usul TPDI dan Perekat Nusantara agar keberadaan Polri di Bawaslu dilepaskan atau ditarik dan tidak menjadi subordinasi dari Bawaslu melalui revisi UU Pemilu, karena Kompolnas secara struktur bertanggung jawab kepada Presiden, Ibu Poengki menyatakan terima kasihnya atas saran TPDI dan Perekat Nusantara karena hal-hal terkait keberadaan Polri di luar Institusi Polri perlu didalami untuk revisi UU Polri dan UU Pemilu ke depan.

Delik Biasa

Erick S. Paat dari TPDI dan Perakat Nusantara menyatakan bahwa Sirekap sesungguhnya sebuah Rekayasa Teknologi Informasi Elektronik, karena itu kisruh SIREKAP saat ini terjadi, diduga dirancang dengan kemampuan canggih untuk memanipulasi suara yang masuk dan ketika proses penghitungan suara terjadi, sebagaimana sudah dikonstatir oleh UU ITE dalam beberapa pasal tentang perbuatan yang dilarang.

Dengan demikian SIREKAP itu, tidak tunduk pada UU No. 7 Tahun 2017, Tentang Pemilu dan karena itu ia juga tidak tunduk pada yurisdiksi Bawaslu Cq. Gakumdu, karenanya SIREKAP dikualifikasi sebagai delik biasa yaitu Tindak Pidana ITE dan oleh karena itu ia tunduk pada yurisdiksi Penyidik Bareskrim Polri atau Penyidik ASN pada Kominfo.

Demikian pula dengan publishitas yang massive dan terus menerus melalui SIREKAP tentang perolehan jumlah suara sejak 14/2/2024 angkanya stagnan hingga sekarang, jelas sebagai aksi “post truth” yang berdampak membangun persepsi publik agar percaya terhadap berita yang diduga sebagai berita bohong yang bersumber dari SIREKAP KPU dan berpotensi menimbulkan keonaran di tengah rakyat.

Faktanya kata dia, saat ini rakyat sudah turun ke jalan, berhadap-hadapan antara yang pro dan yang kontra, terjadi polarisasi antara yang pro dan kontra di lapangan dan nyaris terjadi bentrokan berhadapan dengan Polri.

Advokat Robert B. Keytimu, anggota senior TPDI menegaskan bahwa di dalam pasal 1 angka 1 UU No.7 Tahun 2017 tentang Pemilu dikatakan bahwa Pemilu adalah sarana kedaulatan rakyat untuk memilih anggota DPR, anggota DPD, Presiden dan Wakil Presiden dan anggota DPRD, secara luber dan jurdil dalam Negara Kesatuan RI berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.

Karena itu menurut dia, ketika Daulat Rakyat yang disublimasikan di TPS-TPS pada 14/2/2024 dan di Sirekap pada tahap penghitungan suara, terdapat dugaan manipulasi melalui Sirekap oleh oknum KPU, dan Pihak lain di luar, maka tidak beralasan hukum bagi Bareskrim Polri menokak Laporan Polisi dari Para Advokat TPDI dan Perekat Nusantara.

Baca Juga  Revisi UU Kepariwisataan Bakal Dorong Industri Pariwisata Masuk Skala Prioritas Nasional

Mengapa? Menurut Robert B. Keytimu, karena substansi yang akan dilaporkan adalah tentang dugaan Penyebaran Berita Bohong melalui Sirekap KPU dan dugaan korupsi dalam proyek pengadaan Aplikasi SIREKAP yang melibatkan aktor lain di luar KPU.

Advokat PEREKAT NUSANTARA Paschalis A. Dachunha, ketika melengkapi penjelasan rekan-rekanya menyatakan bahwa Keberadaan SIREKAP hanya diatur secara sumir di dalam Peraturan KPU (PKPU) No.25 Tahun 2023, pasal 1 angka 56 dan angka 57, yang mengatur tentang Sistem Informasi Rskapitulasi Rekapitulasi Elektronik dan mengatur mengenai Dokumen Elektronik yang di dalam UU No. 1 Tahun 2024 Tentang Perubahan Atas UU No.11 Tahun 2008 Tentang ITE, mengatur tentang Dokumen Elektronik.

Karena KPU hanya mengadopsi beberapa ketentuan UU No.1 Tahun 2024 Tentang Perubahan Kedua atas UU No. 11 Tahun 2008 Tentang ITE, ke dalam PKPU No.25 Tahun 2023, maka setiap dugaan Tindak Pidana terkait Dokumen Elektronik dan Teknologi Informasi, meskipun kejahatan itu terkait aktivitas kepemiluan, namun keberadaan SIREKAP di luar ketentuan pidana pemilu. Menurut Paschalis A. Dachunha, terdapat 67 pasal yang mengatur tentang tindak pidana pemilu di dalam UU No. 7 Tahun 2017, tentang Pemilu, namun tidak ada satu-pun pasal yang mengatur SIREKAP sebagai alat kejahatan dan perbuatan yang dilarang. Dengan demikian, maka SIREKAP 100% tunduk pada UU No.1 Tahun 2024 Tentang Perubahan Kedua atas UU No. 11 Tahun 2008 Tentang ITE.

Pitri Indriningtyas, Advokat Perekat Nusantara yang juga Anggota Peradi SAI, berpendapat bahwa karena Sirekap itu berbasis pada Teknologi Informasi Elektronik, maka harus dipahami bahwa dalam perspektif “kejahatan menyebarkan berita bohong” menggunakan ITE, ia tunduk pada sejumlah pasal perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana oleh UU No.1 Tahun 2024 Tentang Perubahan Kedua Atas UU No.11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dan KUHP.

“Karena, SIREKAP tidak tunduk pada ketentuan pidana di dalam UU No. 7 Tahun 2017 Tantang Pemilu yang berjumlah 67 pasal itu, maka menurut Advokat Perempuan yang aktif di Perekat Nusantara ini, menyatakan meskipun di dalam UU Pemilu ada ketentuan pidana dan tidak ada satupun pasal yang mengatur perbuatan yang dilarang berupa penyebaran berita bohong dengan menggunakan ITE, maka Bareskrim Polri tidak memiliki alasan untuk menolak Laporan Polisi dari Advokat-Advokat TPDI-Perekat Nusantara,” ungkapnya.

Hal yang sama dikatakan oleh Roslina Simangonsong, Advokatnyang juga aktivis TPDI ketika memperkuat pendapat Advokat Pitri Indriningtyas, bahwa UU No. 1 Tahun 2024 Tentang ITE tidak mengecualikan berlakunya beberapa pasal terkait ketentuan Pidana di dalam UU No. 7 Tahun 2017 Tentang Pemilu soal kewenangan penanangan kejahatan “Penyebaran Berita Bohong” termasuk berita bohong melalui ITE yang merupakan tindak pidana biasa.

Baca Juga  Revisi UU Desa, Masa Jabatan 9 Tahun Merusak Demokrasi dan Kepala Desa akan Cenderung Korup

Roslina Siamngunsong selanjutnya menegaskan bahwa terdapat fakta lain, di dalam BAB II, UU No.7 Tahun 2017 Tentang Pemilu, terdapat 67 pasal (488 s/d 554), mengatur tentang “Ketentuan Pidana Pemilu”, tidak ada satu pasal-pun yang mengatur tentang kejahatan Penyebaran Berita Bohong dengan menggunakan Informasi dan Transaksi Elektronik terkait Pemilu.

Juga dengan adanya laporan terkait dugaan korupsi terhadap pihak Rektor ITB, Wakil Rektor ITB, Mantan Ketua KPU RI dan pihak-pihak lain yang diduga terlibat dalam dugaan korupsi pengadaan Sirekap, apakah terhadap kejahatan korupsi dan pelakunya masuk menjadi obyek pemeriksaan Bawaslu, Cq. Gakumdu. Jawabannya tidak.

Dalam pada itu Advokat Jemmy Mokolensang, Advokat TPDI yang juga aktivis PDIP menyampaikan argumennya bahwa, penolakan Laporan Polisi dari TPDI dan Perekat Nusantara oleh Bareskrim Polri, tidak berbasis pada alasan yuridis, tetapi lebih kepada alasan politis, di mana suasana kebatinan Polri selama Pemilu 2024 dicurigai sebagai tidak netral atau memihak pada Paslon Capres-Cawapres tertentu.

Kejahatan Pemilu

Selain itu, Petrus Selestinus Koordinator TPDI dan Perekat Nusantara, menyarakan bahwa Kekuasaan yang bersumber dari semangat Dinasti Politik dan Nepotisme saat ini telah melanda supra struktur politik pada lintas lembaga tinggi negara dan diperkuat dengan kroni-kroni kekuasaan di lembaga negara, jelas merupakan ancaman serius terhadap kedaulatan rakyat dan sistem demokrasi.

Pemilu yang luber dan Jurdil merupakan asas pemilu yang dijamin konstitusi dan UU Pemilu. Bahkan pemilu dinyatakan sebagai sarana mewujudkan kedaulatan rakyat, sebagai implementasi dari prinsip “kedaulatan berada di tangan rakyat” dan dilaksanakan menurut UUD, sehingga wajib dijunjung tinggi oleh siapapun juga.

“Ketika hasil Pemilu dicoba dimanipulasi oleh tangan-tangan yang tidak bertanggung jawab dengan motif politik dan/atau ekonomi, demi memenangkan Paslon tertentu, maka di situlah kejahatan politik terjadi dan mengancam “daulat rakyat” dengan “daya rusak” yang tinggi terhadap sendi-sendi demokrasi, yang harus dicegah melalui upaya hukum yang tersedia dan itu menjadi tugas utama Polri,” pungkasnya.(MM)

Komentar