Komisi III DPR Sebut Putusan MK tentang Pemilu Timbulkan Dilema Konstitusional

Nasional82 Dilihat
banner1080x1080

JAKARTA,SumselPost.co.id – Anggota Komisi III DPR RI Martin Daniel Tumbelaka mengungkapkan kegelisahan publik terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang terbaru terkait Pemilu. Hal ini ia sampaikan dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) Komisi III DPR RI yang menghadirkan sejumlah pakar ketatanegaraan dan mantan hakim konstitusi, Jumat (4/7/2025), di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta.

RDPU tersebut menghadirkan empat narasumber, yaitu Mantan Hakim MK Patrialis Akbar, Mantan – Ketua Komisi Kajian Ketatanegaraan (K3) MPR RI Taufik Basari, Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam As-Syafi’iyah Abdul Chair Ramadhan, dan Dosen FISIP UI Valina Singka Subekti. Agenda utama rapat adalah membahas dan mendalami implikasi konstitusional Putusan MK terkait pemilu yang menuai polemik publik.

Legislator Fraksi Partai Gerindra ini menilai putusan MK tersebut menimbulkan kebingungan dan dilema konstitusional yang serius. Hal itu tidak hanya bagi penyelenggara pemilu tetapi juga bagi masyarakat dan pembuat kebijakan.

“Tentu kami, Komisi III, terus dikejar oleh masyarakat soal apa pandangan kami terkait putusan dari MK ini. Dan saya melihat bahwa ketiga narasumber tadi sepakat bahwa putusan MK ini melampaui kewenangannya dan bahkan dinilai melanggar konstitusi,” kata Martin.

Baca Juga  Puan Harap Idul Fitri 1445 H Jadi Momen Menyulam Silaturahmi Bangsa

“Sementara ada Undang-Undang yang disampaikan tadi, ada Undang-Undang nomor Pasal 22 yang juga memang itu harus kita jalankan. Jadi ada dua putusan ini yang saya bertanya-tanya tadi, kalau ini tidak ada tanggapan atau tidak ada putusan yang lanjut, terus apa yang harus kita lakukan?,” tambahnya.

Lebih lanjut, Martin juga meminta pandangan para narasumber, apabila DPR sebagai lembaga legislatif tidak dapat menjalankan putusan MK karena dinilai melanggar konstitusi, apakah hal tersebut dapat dibenarkan secara hukum dan ketatanegaraan.

Menanggapi hal itu, Patrialis Akbar menyampaikan bahwa dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final dan mengikat, tetapi tidak berarti kebal dari kritik publik. Ia menegaskan bahwa putusan MK tidak bisa dibatalkan oleh MK itu sendiri.

“Putusan MK itu juga gak bisa dibatalkan oleh MK. Kalau dibatalkan oleh MK berarti kredibilitas hakim MK masa lalu gak dijamin. Itu berbahaya. Jadi, ini luar biasa dalam tataran ketatanegaraan kita,” tegas Patrialis.

Baca Juga  UU Penyiaran Dinilai Tak Relevan lagi, DPR Usul Pisahkan Aturan OTT dan TV Konvensional

Ia menambahkan bahwa ketika sebuah putusan dipersoalkan oleh masyarakat luas dan juga parlemen, maka muncul pertanyaan besar terhadap validitas dan relevansinya. “Maka saya berpendapat adalah satu putusan yang memang dipersoalkan oleh masyarakat dan termasuk juga parlemen, berarti ada big question terhadap putusan itu,” ujarnya.

Patrialis menjelaskan bahwa dalam konteks ini terdapat tiga putusan MK terkait Pemilu. Dua di antaranya telah dilaksanakan tanpa masalah dan justru menjadi dasar bagi pemilu-pemilu sebelumnya yang menghasilkan para pemimpin bangsa.

“Nah, dalam masalah ini ada tiga putusan. Sedangkan dua putusan terdahulu tidak ada masalah. Bahkan itu sudah dilakukan. Dan itu sudah menjadi bagian menghasilkan pemimpin-pemimpin negara ini, baik di eksekutif maupun di legislatif. Kita pakai putusan MK yang masa lalu. Pada 2013 itu saya ikut memutuskan pemilu serentak itu,” pungkasnya.

Sementara itu, Valina Singka Subekti menambahkan bahwa Putusan MK No. 135/PUU-XXII/2024 tidak serta-merta membatalkan putusan-putusan MK terdahulu yang masih sah dan berlaku, menegaskan pentingnya kehati-hatian dalam menafsirkan keberlakuan norma hukum yang telah diformulasikan secara yuridis.

Baca Juga  Partai Gelora Usul Anggaran Pendidikan 20 Persen Seluruhnya Dikelola Kemendibudristek

Sebagaimana diketahui, melalui Putusan Nomor 135/PUU-XXII/2024 yang diucapkan dalam Sidang Pengucapan Putusan pada 26 Juni 2025, MK menyatakan bahwa pemilu nasional dan pemilu daerah harus dilaksanakan secara terpisah dengan jarak paling singkat dua tahun dan paling lama dua tahun enam bulan.

Amar putusan ini membatalkan makna “serentak” yang selama ini menjadi prinsip dalam Pasal 3 ayat (1) UU Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pilkada, serta menegaskan bahwa keserentakan menyeluruh tidak lagi dianggap sebagai prinsip konstitusional dalam pelaksanaan pemilu.

Putusan tersebut merupakan respons atas permohonan yang diajukan oleh Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem). Dalam petitumnya, Perludem menilai pelaksanaan Pemilu lima kotak secara serentak telah menimbulkan dampak sistemik, di antaranya melemahkan pelembagaan partai politik, menurunkan kualitas kandidat, serta mengurangi efektivitas Pemilu sebagai instrumen kedaulatan rakyat. (MM)

 

Komentar