JAKARTA,SumselPost.co.id — Anggota Komisi III DPR RI dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Nasir Djamil, menegaskan pentingnya reformasi kepolisian sebagai agenda strategis bangsa. Ia menilai langkah Presiden Prabowo Subianto, membentuk Komite Percepatan Reformasi Kepolisian menjadi momentum untuk menghadirkan institusi Polri yang profesional, jujur, dan humanis.
“Reformasi kepolisian itu agenda strategis bangsa ini karena terkait dengan keadilan, keamanan publik, dan demokrasi,” tegasNasir Djamil dalam dialektika demokrasi “Reformasi Polri Harapan Menuju Institusi Penegakan Hukum yang Profesional dan Humanis”,
bersama anggota.Komisi III DPR Rudianto Lallo, Brigjen Pol. Dr. Drs. Gatot Tri Suryanta, dan Trubus Rahadiansyah di Gedung DPR RI Senayan, Jakarta, Kamis (13/11/2025).
Menurut Nasir, keberhasilan reformasi Polri akan berdampak langsung pada rasa keadilan yang dirasakan masyarakat serta kualitas demokrasi di Indonesia.
Menurut Nasir, profesionalisme polisi menjadi kunci utama dalam mewujudkan keadilan dan keamanan. Maka, pentingnya penyidikan dan penyelidikan yang berbasis ilmu pengetahuan serta dilakukan secara transparan dan akuntabel. “Profesional artinya bekerja dengan ilmu dan metode yang saintifik. Penyelidikan harus bermutu, objektif, dan transparan,” kata Nasir.
Ia mengapresiasi berbagai slogan dan visi yang pernah diusung pimpinan Polri sebelumnya, mulai dari Promoter (Profesional, Modern, Terpercaya) hingga Presisi (Prediktif, Responsibilitas, dan Transparansi Berkeadilan). Namun, menurutnya, tagline semata tidak cukup tanpa perubahan nyata di lapangan. “Yang dibutuhkan adalah konsistensi. Reformasi bukan soal semboyan, tapi soal praktik nyata yang dirasakan masyarakat,” ujarnya.
“Reformasi Polri adalah bagian dari menjaga masa depan demokrasi kita. Polisi yang profesional, tegakkan.hukum yang adil, dan humanis akan membuat rakyat merasa aman dan negara semakin kuat,” pungkas Nasir Djamil.
Anggota Komisi III DPR RI dari Fraksi Partai NasDem, Rudianto Lallo, menegaskan pentingnya percepatan reformasi di tubuh Kepolisian, agar lembaga tersebut benar-benar menjadi institusi yang melindungi masyarakat, bukan alat kekuasaan politik.
Rudianto menilai komposisi tim reformasi Polri yang baru dilantik Presiden belum menunjukkan perubahan signifikan. “Kalau melihat nama-nama yang ada, tidak ada hal baru, tidak ada yang istimewa. Mereka adalah tokoh-tokoh lama, bahkan beberapa di antaranya pernah menjadi menteri atau ketua Kompolnas,” kata Rudianto.
Menurutnya, kehadiran tim percepatan reformasi seharusnya menjadi momentum untuk membenahi struktur dan kultur Polri secara menyeluruh, bukan sekadar rotasi jabatan atau pembentukan tim seremonial. “Kita ingin reformasi yang benar-benar substantif, bukan kosmetik. Polri harus kembali pada mandat konstitusi: melindungi, mengayomi, dan melayani masyarakat,” tegas Rudianto.
Ia mengingatkan bahwa pasca berbagai kasus yang mencoreng citra Polri dalam beberapa tahun terakhir, publik berharap adanya koreksi besar-besaran di semua level institusi penegak hukum. Ia menilai, masih banyak persoalan mendasar seperti penyalahgunaan kewenangan, lambannya proses hukum, dan minimnya kepastian hukum yang harus segera dibenahi.
“Banyak laporan masyarakat tidak ditindaklanjuti. Ada kasus yang berlarut-larut tanpa kejelasan. Ini menandakan masih lemahnya mekanisme pengawasan internal dan akuntabilitas Polri,” kata legislator asal Makassar itu.
Perkuat Kelembagaan
Selain pembenahan struktural dan prosedural, Rudianto menekankan pentingnya memperkuat posisi kelembagaan Polri dalam sistem demokrasi agar tidak mudah ditarik ke dalam kepentingan politik tertentu. “Polri harus menjadi alat negara, bukan alat kekuasaan. Jangan sampai digunakan untuk kepentingan kelompok tertentu,” ujarnya.
Secara konstitusional, Polri tetap berada di bawah Presiden, bukan di bawah kementerian mana pun. “Konstitusi sudah jelas, Polri berada di bawah Presiden. Jangan lagi ada wacana menempatkan Polri di bawah kementerian. Itu justru mundur dari semangat reformasi,” tambahnya.
Rudianto berharap tim percepatan reformasi Polri dapat bekerja secara terbuka, kolaboratif, dan berbasis hasil, bukan sekadar formalitas politik. “Yang kita harapkan, reformasi ini menghasilkan Polri yang kuat sebagai institusi publik, profesional dalam penegakan hukum, dan dipercaya rakyat,” pungkasnya.
Gatot Tri Suryanta menyatakan kesiapannya dengan reformasi Polri yang diketuai oleh Jimly Asshiddiqie. “Polri akan selalu berusaha lebih baik dan lebih baik lagi untuk melayani dan melindumgi masyarakat. Namun, Polri juga menerima berbagai kritik, saran, dan koreksi dari masyarakat demi profesionalisme Polri,” jelasnya.
Trubus Rahardiansyah menilai reformasi Polri harus diarahkan kembali pada esensi utama lembaga kepolisian sebagai pelindung dan pengayom masyarakat, bukan sekadar alat kekuasaan. Masyarakat seharusnya patuh bukan karena takut pada polisi, melainkan karena adanya rasa empati, teladan, dan kepercayaan terhadap institusi tersebut.
“Peran polisi itu seharusnya tidak lagi pada tataran kekuasaan, tapi bagaimana publik merasa terayomi. Masyarakat patuh bukan karena takut, tapi karena empati dan rasa percaya,” ujar Trubus.
Trubus menyontohkan sejumlah dinamika internal Polri yang membingungkan publik, termasuk polemik terbaru soal dugaan ijazah palsu pejabat kepolisian yang ramai dibicarakan. Menurutnya, langkah-langkah reformasi yang dijalankan Polri kerap terhambat oleh inkonsistensi dan minimnya transparansi di institusi Polri.
“Kalau ada pejabat baru langsung mengkritik soal ijazah palsu, lalu disangkal oleh pihak lain, ini justru menunjukkan masih lemahnya sistem internal dan komunikasi publik Polri. Reformasi Polri membutuhkan langkah yang revolusioner, yakni fokus pada pelayanan, bukan sekadar citra,” ungkapnya.
Berdasarkan survei Litbang Kompas terakhir, tingkat kepercayaan publik terhadap Polri masih relatif tinggi, mencapai 70 persen. Namun angka itu sempat menurun pada beberapa periode sebelumnya, terutama saat muncul kasus-kasus yang menurunkan citra kepolisian.
“Survei menunjukkan bahwa kepercayaan publik terhadap Polri fluktuatif. Ini menjadi catatan penting: bagaimana Polri bisa membangun kembali budaya yang adem, transparan, dan berorientasi pada publik,” sebut dia lagi.
Era Society 5.0
Tantangan Polri ke depan juga terletak pada perubahan karakter masyarakat yang kini memasuki era Society 5.0, di mana arus informasi dan opini publik lebih banyak terbentuk lewat media sosial. Hal ini membuat polisi harus lebih adaptif terhadap isu digital, termasuk kejahatan siber, penyebaran hoaks, hingga pornografi daring yang kian marak. “Masyarakat sekarang lebih percaya pada media sosial daripada institusi resmi. Jadi Polri harus merespons cepat setiap isu yang muncul di ruang digital,” ungkapnya. (MM)






















Komentar