Koalisi Masyarakat Sipil Sebut Revisi UU TNI di DPR, dan JR UU TNI di MK oleh Prajurit TNI: Legalisasi Arus Balik Reformasi Militer

Nasional526 Dilihat
banner1080x1080

JAKARTA,SumselPost.co.id – Pada 20 Maret 2025 yang lalu, sidang Paripurna DPR RI mengesahkan Revisi UU No. 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI). Pengesahan ini menambah daftar preseden buruk proses legislasi di DPR RI yang memicu penolakan meluas dari berbagai rakyat sipil, sejak sebelum hingga setelah pengesahan.

Koalisi memandang revisi UU TNI itu menunjukkan proses legislasi yang sangat mengesampingkan prinsip-prinsip yang baik dan benar dalam penyusunan peraturan perundang-undangan. Selain itu, Koalisi juga menilai ada berbagai persoalan secara substantif dalam muatan perubahan UU TNI. Penolakan itu pun bergulir secara masif di berbagai titik kota di seluruh Indonesia yang sayangnya direspon dengan tindakan represif oleh aparat.

Demikian disampaikan Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan, pada Kamis (27/3/2025).

Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan tersebut adalah: Imparsial, PBHI Nasional, YLBHI, KontraS, Centra Initiative, Amnesty International Indonesia, ELSAM, Human Right Working Group (HRWG), WALHI, SETARA Institute, LBH Jakarta, LBH Pers, LBH Masyarakat, LBH Surabaya pos Malang, , Aliansi untuk Demokrasi Papua (ALDP), Public Virtue, ICJR, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta, Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN), dan De Jure.

Baca Juga  Rafli/Eja : Kami Ikuti Pertandingan Bukan Hobi Saja, tapi Mencari Pengalaman Agar Bisa Mengikuti Event yang Lebih Besar

Atas hal tersebut, Koalisi berpendapat:

Pertama, revisi UU TNI bermasalah secara formil karena dibahas terlampau cepat dan terburu-buru tanpa memberikan kesempatan masyarakat lebih luas untuk turut terlibat dalam proses pembahasan (meaningful participation). Berbagai dialog dengan elemen akademisi maupun civil society lainnya dalam RDPU, semestinya memperlihatkan urgensi ruang dialog yang lebih luas.

Pembahasan juga dilakukan secara tertutup di hotel dan di hari libur semakin menunjukkan ketertutupan atas partisipasi publik. Ini mencerminkan rendahnya komitmen DPR RI dalam hal transparansi, keterbukaan dan partisipasi publik dalam penyusunan regulasi yang berdampak luas terhadap tata kelola pertahanan negara.

Kedua, revisi UU TNI alih-alih membahas problem-problem krusial dalam mendorong tranformasi TNI ke arah yang profesional, justru terkesan politis dan tidak menjawab kebutuhan reformasi TNI. Sebagaimana diketahui perubahan UU TNI yang disahkan dalam Paripurna DPR tidak menyentuh pada agenda krusial transformasi TNI; seperti reformasi peradilan militer (yang harusnya mencabut ketentuan pasal 74 UU TNI), penyusunan RUU Tugas Perbantuan Militer, Modernisasi Alutsista, Kesejahteraan Prajurit, Problematika Transparansi dan Akuntabilitas, hingga Kekerasan terhadap Warga Sipil.

Baca Juga  Gerindra Belum Siap Deklarasikan Cak Imin sebagai Cawapres Prabowo

Alih-alih membahas hal itu secara substantif tersebut, DPR RI justru mengesahkan pasal yang memperluas penempatan TNI di jabatan sipil, pengaturan OMSP yang karet dan terlalu luas, pelucutan kewenangan otorisasi oleh DPR terhadap OMSP dalam keputusan politik dan kebijakan politik negara sebagai landasan OMSP, serta penambahan kewenangan dan lain lain.

Di tengah kekacauan proses legislasi revisi UU TNI, koalisi mengendus adanya upaya perluasan peran dan fungsi TNI di ranah sipil (Dwifungsi) melalui Judicial Review (JR) UU TNI yang diajukan oleh Kolonel Sus Prof. Dr. Mhd. Halkis, M.H., yang merupakan anggota TNI aktif sekaligus pengajar di Universitas Pertahanan. Meski pengajuan ini merupakan bagian dari hak Konstitusional warga negara, tetapi poin-poin yang diuji berpotensi menjadi arus balik serius dalam reformasi militer. Dalam dokumen permohonan yang dapat diakses melalui website MK, kami menemukan adanya permintaan mengenai perluasan kompetensi jabatan sipil untuk TNI aktif hingga penghapusan ketentuan larangan berbisnis bagi prajurit.

Baca Juga  Setara Minta Lembaga Survei Tidak Menjadi Agitator untuk Menggiring Opini Capres Tertentu

Berdasarkan kondisi tersebut dan sebagai bentuk kritik atas upaya legalisasi Dwifungsi TNI baik melalui pengesahan Revisi UU TNI maupun melalui JR yang dimohonkan oleh Guru Besar Unhan, maka koalisi dalam waktu dekat akan melakukan JR UU TNI. JR ini adalah bentuk korektif atas UU TNI yang bermasalah secara formil dan material. Langkah JR ini dilakukan sebagai bentuk partisipasi konstitusonal warga dalam menyikapi UU TNI yang bermasalah.

Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan yang bisa dikonfirmasi:
•⁠ ⁠Ardi Manto Adiputra (Imparsial)
•⁠ ⁠Wahyudi Djafar (ELSAM)
•⁠ ⁠Julius Ibrani (PBHI)
•⁠ ⁠Usman Hamid (Amnesty International Indonesia)
•⁠ ⁠Daniel Awigra (HRWG)
•⁠ ⁠Teo Reffelsen (WALHI)
•⁠ ⁠Dimas Bagus Arya (KontraS)
•⁠ ⁠⁠Ikhsan Yosarie (SETARA)
•⁠ ⁠⁠Arif Maulana (YLBHI)
•⁠ ⁠Al Araf (Centra Inititaive)
•⁠ ⁠⁠Latifah Anum Siregar (Aliansi Demokrasi untuk Papua, dan
•⁠ ⁠Bhatara Ibnu Reza (De Jure). (MM)

 

Komentar