JAKARTA,SumselPost.co.id – Kecelakaan yang diakibatkan pengemudi, sopir, rem blong, jalan rusak dan sebagainya masih sering terjadi dan terakhir truk ODOL – Over Dimension Over Load (muatan melebihi kapasitas) di tol Ciawi 2, Bogor, Jawa Barat, yang menewaskan 8 orang. Karena itu, Komisi V DPR RI segera merevisi Undang- Undang (UU) No. 22 Tahun 2009 tentang peraturan lalu lintas dan angkutan jalan. Apalagi menjelang Lebaran 2025.
“Komisi V DPR segera merevisi UU angkutan jalan tersebut pada sidang 2025 ini. Tapi, revisi itu bukan akibat adanya tabrakan di tol Ciawi 2.Bogor, melainkan UU No.22 tahun 2009 itu memang masuk Prolegnas (program legislasi nasional) 2025, sehingga layak masuk prioritas,” tegas Sofwan Dedy Ardyanto, Anggota Komisi V DPR RI.
Hal itu disampaikan Sofwan dalam diskusi “Keselamatan Lalu Lintas dan ODOL” kerjasama KWP dan Pemberitaan DPR RI. Sofwan berbicara bersama pengamat transportasi publik Darmaningtyas di Gedung DPR RI, Senayan Jakarta, pada Selasa (11/2/2025).
Lebih lanjut Sofwan politisi dari Fraksi PDIP itu mengatakan jika ada tiga variabel dalam situasi ini yaitu regulasi, implementasi, dan aktor yang terlibat di dalam sektor keselamatan transportasi. Dari regulasi yang terkait dengan lalu lintas dan angkutan jalan itu telah diatur UU No. 22 tahun 2009, pasal 184 soal tarif antara pengguna jasa dan perusahaan angkutan umum itu sudah tidak ada lagi yang namamya tarif bawah tarif atas, karena sudah diserahkan ke mekanisme pasar, dan itu menjadi salah satu penyebab kecelakaan. “Sehimgga tarif yang paling murah yang akan mendapatkan job atau order banyak dan hasilnya ugal-ugalan di jalan,” kata Sofwan.
Menurut politisi dari Dapil Jawa Tengah VI ini, kedua adalah tentang implementasi bahwa apapun konsepnya, aturannya, kata kuncinya adalah pengawasan. Dulu, PT KAI itu sangat semrawut lalu diperbaiki oleh Ignatius Jonan dengan sistem monitoring yang ketat, akhirnya kereta api sekarang bisa menjadi seperti sekarang ini, tapi konsekuensinya harganya menjadi bersaing. “Jadi kalau nanti monitoring terhadap angkutan darat ini diperketat dipastikan akan lebih baik. Seperti sistem yang diterapkan TransJakarta,” ungkapnya.
Yang ketiga lanjut Sofwan, adalah pelaksanaannya dari regulasi implementasi oleh SDM perhubungan darat perlu di-upgrade agar orang-orang yang masuk ke dalam sistem transportasi darat itu diperketat. Baik sopir truk, bus, kelayakan mobil, jangan ada sopir tembak, gaji yang layak, istirahat yang cukup, uji KIR yang benar, dan sebagainya. “Dengan begitu, jaminan keselamatan bisa lebih baik,” ungkapnya.
Menurut Darmaningtyas awal mula berkembangnya ODOL adalah ketika baru muncul satu atau dua unit dibiarkan, akhirnya muncul ODOL berikutnya. Itu persis kasus becak motor di Yogya. Saat sedang muncul satu dua unit becak motor, dibiarkan oleh Pemkot Yogya, akhirnya muncul unit-unit becak motor baru yang sampai ribuan unit, dan begitu jumlahnya mencapai ribuan, sudah terlalu sulit untuk diberantas karena di sana sudah ada unsur politiknya. “Hal yang sama juga terjadi di ODOL. Saat satu dua unit muncul dibiarkan, karena muncul bengkel- bengkel truk ODOL yang dapat memperpanjang dimensi kendaraan, dan karena jumlah truk ODOL maupun bengkelnya banyak, tidak mudah pula diberantas karena telah menjadi kekuatan politik tersendiri. Coba seandainya ketika baru muncul satu dua unit truk ODOL langsung ditindak, tentu tidak bakal berkembang seperti saat ini,” jelasnya.
Dikatakan, masalah ODOL ini muncul karena pemilik dan penerima barang ingin agar barangnya sampai tujuan dengan harga murah; pengusaha angkutan akan menyesuaikan kebutuhan pasar; tidak ada standarisasi tarif angkutan barang perkilogramnya untuk setiap jenis barang, sehingga antar pengusaha angkutan akan bersaing di harga, siapa yang berani dibayar murah, itulah yang dipilih.
Di sisi lain lanjut Darmaningtyas, pengemudi punya kepentingan sendiri, yaitu bagaimana mendapatkan upah yang cukup untuk sekali jalan, sehingga tidak peduli dengan kondisi truknya yang ODOL. “Apalagi ketika ODOL ternyata tidak ada penindakan dari aparat penegak hukum. Ekses dari ODOL itu akhirnya: terjadinya kemacetan panjang yang dapat berdampak pada kelambanan distribusi barang, lantaran perjalanan ODOL ini di jalan tol pun tidak mencapai 50 km/jam; kecelakaan lalu lintas yang berdampak pada fatalitas; kerusakan jalan semakin cepat; tingginya biasa pemeliharaan jalan; serta melahirkan budaya premanisme,” ungkapnya.
Berdasarkan data Korlantas Polri, pada tahun 2024 memang terjadi penurunan laka lantas sebanyak 1.102 kasus atau 0,72% dibandingkan tahun 2023. Penurunan tersebut juga terjadi pada kecelakaan yang melibatkan ODOL.
Sementara jumlah laka akibat ODOL sepanjang 2022-2024, terbagi atas over dimensi (OD) dan over load (OL) adalah sebagai berikut: 2022 OD 10 laka, OL 30 laka; 2023 OD 13 laka, OL 49 laka; 2024 OD 4 laka, OL 30 laka. Berdasarkan data ini memang terjadi penurunan pada tahun 2024, baik OD maupun OL dibandingkan tahun 2023, tapi tetap masih tinggi, karena umumnya laka yang melibatkan ODOL ini dampaknya banyak, melibatkan beberapa kendaraan lain.
Catatan serupa disampaikan oleh Jasa Marga sebagai pengelola ruas tol terpanjang di Indonesia. Menurut Jasa Marga, kinerja keselamatan menunjukan perbaikan dari tahun 2020 s.d. 2024. Tingkat Kecelakaan 2024 turun sebesar 5,35, rata-rata tiap tahun turun 10,4%, sedangkan tingkat fatalitas 2024 sebesar 0,90, rata-rata tiap tahun turun -7,5% 2.
“Jasa Marga juga mencatat bahwa jumlah angkutan barang yang terlibat kecelakaan pada tahun 2024 mengalami penurunan sebesar 5% (32 kendaraan) dari tahun 2023. Dan berdasarkan evaluasi operasi ODOL tahun 2020 s.d Desember 2024, terdapat total 7.400 kendraan overload (34%) dari total kendaraan terjaring (21.535). Sedangkan pada tahun 2024 terdapat 1.694 kendaraan overload (36%), dari total kendaraan terjaring (4.703). Meskipun jumlah angka kecelakaan turun, tapi Korlantas mencatat bahwa kecelakaan lalu lintas telah menjadi penyebab kematian ketiga tertinggi di Indonesia. Ini sesuai dengan prediksi WHO tahun 2002 lalu,” pungkasnya. (MM)
Komentar