Fahri Hamzah: Kepala Desa Jangan Tergoda Iming-iming Parpol soal Perpanjangan Masa Jabatan 9 Tahun

Nasional731 Dilihat

JAKARTA,SumselPost.co.id – Wakil Ketua Umum Partai Gelombang Rakyat (Gelora) Indonesia Fahri Hamzah menilai para kepala desa lebih baik meminta penambahan anggaran desa dan kenaikan gaji daripada penambahan masa jabatan.

“Coba yang diminta adalah sesuatu yang membuat desa menerima transfer yang lebih besar setiap tahun dari pemerintah di atasnya. Itu lebih real daripada memperpanjang masa jabatan,” kata Fahri dalam Gelora Talks ke-79 bertajuk ‘Aparat Desa Unjuk Aksi, DPR Beraksi, Ada Apa? Rabu (25/1/2023).

Menurut Fahri, masa depan pembangunan Indonesia adalah di desa, sehingga pembiayaan pembangunannya perlu ditingkatkan lagi, bukan pada penambahan masa jabatan.

“Saat ini justru terlalu banyak anggaran yang terpotong di tingkat pemerintah pusat daripada di desa. Harus ada Presiden yang berani menjanjikan, kalau dia terpilih Rp 5 Miliar setiap desa misalnya,” ujar Fahri.

Fahri mengatakan, peningkatan anggaran desa harus meningkat agar pengelolaan desanya juga meningkat. Sebab, pembangunan desa, terutama infrastruktur dan pengelolaan kebersihan desa saat ini sedang masif dilakukan.

Jika insfrastrukturnya bagus dan pengelolaan kebersihanya di desa-desa Indonesia dijaga, maka akan dapat menarik untuk wisatawan untuk berkunjung.

“Desa kita akan menjadi desa bersinar, mengeluarkan cahaya karena bersih. Sungainya bersih, got-gotnya bersih. Barulah dia bisa menjadi tujuan kunjungan wisatawan dan sebagainya. Jadi menurut saya masa depan pembiayaan pembangunan kita itu, di desa aja,” katanya.

Hal itu, kata Fahri, yang seharusnya menjadi fokus perjuangan para kepala desa untuk diperjuangkan, bukan sebaliknya meminta penambahan masa jabatan. Fahri menilai dalam sistem demokrasi tidak ada istilah penambahan masa jabatan.

Sebab, dalam penerapan sistem tersebut masa jabatan justru harus dikurangi. Bahkan semakin matang demokrasi, biasanya masa jabatannya akan dipotong seperti yang terjadi dalam demokrasi Amerika Serikat (AS).

“Tidak ada yang namanya ekstensi jabatan. Dalam demokrasi jabatan itu malah harus dikurangi,” katanya.

Partai Gelora yang mendapatkan nomor urut 7 pada Pemilu 2024 ini, mengusulkan agar jabatan kepala desa justru diturunkan menjadi 5 tahun dan disamakan periodenya seperti jabatan diatasnya di republik ini, bukan selama 6 tahun atau ditambah menjadi 9 tahun.

Fahri mengatakan, para kepala desa harusnya lebih realistis meminta penambahan anggaran desa daripada penambahan masa jabatan. ia mengingatkan para Kepala Desa agar jangan mau dijanjikan perpanjangan masa jabatan.

“Jadi jangan teman-teman Kepala Desa itu mau diiming-imingi dengan perpanjangan masa jabatan yang tidak punya konsekuensi anggaran,” kata mantan Wakil Ketua DPR Periode 2004-2009 ini.

Fahri lantas menambahkan, nominal gaji kepala desa yang hanya Rp 2 juta per bulan, yang sebelumnya dibayarkan per tiga bulan. Sementara gaji lurah di DKI Jakarta mencapai Rp. 30 juta per bulan. Padahal kepala desa itu, dipilih rakyat secara langsung, sementara lurah di DKI ditunjuk oleh pejabat.

Baca Juga  Sidang Umum AIPA ke-44, DPR Siap Dorong Stabilitas Kawasan Sebagai Penunjang Utama Pertumbuhan Ekonomi

“Jadi mesti melihat desa itu menjadi unit yang independen dia bisa lebih kuat dari negara, income per kapita desa bisa lebih kuat dari negara, pembangunan desa itu bisa lebih hebat dari ibu kota,” kata Fahri.

“Karena itu lihatnya desa itu sebagai satu unit yang mau kita lengkapkan, demokrasinya lengkap, organisasinya lengkap, sistem pemerintahannya lengkap, gajinya juga dikasih baik,” imbuh dia.

Fahri kemudian menyebut nominal gaji per bulan kades Rp 2 juta adalah hal yang tak masuk akal, karena gaji lurah di DKI mencapai puluhan juta rupiah.

“Masa gaji kepala desa Rp 2 juta, sementara gaji lurah di DKI gajinya puluhan juta tidak dipilih oleh rakyat. Kalau gaji lurah DKI segitu besarnya gaji kepala desa yang dipilih rakyat langsung, Rp 15 juta misalnya. Itu saya kira realistis,” tegasnya.

Pada prinsipnya, Partai Gelora setuju UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa direvisi, tapi revisi tersebut tidak terkait dengan pernambahan jabatan kepala desa, tetapi menyangkut pembiayaan dan pengelolaan pembangunan desa.

“Sehingga menjadikan pengelolaan desa itu maksimal, uangnya harus besar, makanya yang kita pikirkan bukan aparatnya, yang pertama kita pikirkan rakyat desa. Kita ingin orang-orang desa lebih maju dari Jakarta seperti Pak Ryas Rasyid yang dulunya mantan lurah bisa jadi menteri (mantan Menteri Otonomi Daerah era Presiden Abdurrahman Wahid),” ujarnya.

*Godaan Parpol*

Sementara itu, Ketua Majelis Pertimbangan Organisasi Asosiasi Pemerintah Desa Seluruh Indonesia (MPO APDESI), Muhammad Asri Anas mengatakan, bahwa wacana penambahan masa jabatan kepala desa dari 6 tahun menjadi 9 tahun, itu godaan dari parpol tertentu.

Sebab, kepala desa yang menyuarakan usulan penambahan masa jabatan itu, tidak lebih dari 15 persen. Apalagi kepala desa itu, dituntut untuk membuat video ucapan selamat kepada partai tertentu, bahwa aspirasi penambahan jabatan telah disuarakan.

“Makanya kami menganggap, bahwa ini godaan dari, ya mohon maaf ya, saya sebut saja partai politik, politisi ini kok enggak berdinamika bicara tentang substansi. Dan kepala desa yang mendukung itu, hanya sekitar 15 persen, tidak mewakili semua, dan para kepala desa itu diminta buat video ucapan selamat,” ujar Asri Anas.

Hal ini tentu saja membuat APDESI menjadi terbelah, karena ada kepala desa yang mendukung penambahan jabatan 9 tahun, dan ada yang menilai masa jabatan 6 tahun 3 periode sudah cukup. Udah luar biasa itu kalau periodisasi,” tutur Asri Anas.

Baca Juga  Honda Big BOS Sulawesi Journey 2 Hadirkan Kegembiraan Berkendara dan Penjelajahan Menantang

Asri Anas berharap agar Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan DPR segera mengambil sikap untuk mengakhiri pro kontra penambahan masa jabatan kepala daerah. Sebab, isu ini cukup sensitif dan membuat pemerintahan desa di seluruh Indonesia menjadi terbelah.

“Ini termasuk isu yang cukup sensitif dan dan membuat terbelah pemerintahan desa di Indonesia. Kami berharap DPR dan pemerintah cepat mengambil sikap, teman-teman APDESI menunggu hal itu,” tegas mantan Anggota DPD RI ini.

Ketua Umum APDESI versi Arifin Abdul Majid menambahkan, bahwa usulan perpanjangan masa jabatan kepala desa dari 6 tahun menjadi 9 tahun belum menjadi kesepakatan bersama di internal APDESI, hanya disuarakan sebagai kecil anggota.

Ia pun tak menampik usulan masa jabatan itu dapat dipolitisasi berkaitan kepentingan Pemilu 2024 lantaran terkesan ada yang menggerakan mereka untuk menyuarakan hal itu ke DPR.

“Nah yang menjadikan masalah ini akan jadi bumerang bagi kepala desa yang seolah-olah usulan kemarin itu seolah-olah sudah ditetapkan dan mereka euphoria dengan sendirinya, bahwa masa jabatan mereka itu akan diperpanjang menjadi 9 tahun,” kata Arifin.

Arifin takut APDESI terjebak oleh gerakan politik menjelang Pemilu 2024, meskipun usulan penambahan masa jabatan kepala desa itu, hak asasi anggota. Namun, gerakan tersebut bisa mempengaruhi penilaian maupun citra publik terhadap APDESI.

“Jadi soal masa jabatan sebenarnya kita sudah pernah mengalami satu tahun pernah, 4 tahun pernah, 5 tahun pernah, 8 tahun pernah dan pernah juga 10 tahun,” katanya.

Ia menegaskan, UU Desa sekarang sebenarnya sudah cukup mengakomodasi kepentingan masyarakat desa dan pemerintah desa.

“UU Desa sekarang sudah bagus, belum perlu direvisi untuk saat ini, laksanakan saja dulu. Tapi yang perlu dibicarakan sekarang adalah masalah turunan atau regulasi dari UU Desa. Sehingga penyelenggaraan pemeritahan dan pembangunan di desa berjalan dengan baik,” katanya.

*Belum Ada Keputusan*

Sementaara itu, Anggota Komisi II DPR dari Fraksi PAN Guspardi Gaus mengatakan, bahwa usulan perpajangan jabatan kepala desa dan merevisi UU Desa itu, baru sekedar aspirasi, belum menjadi keputusan Komisi II DPR, apalagi DPR secara kelembagaan.

“Mereka menyampaikan hal itu (para kepala desa) untuk bisa diperjuangkan disalurkan dengan cara merevisi UU No.6 Tahun 2014. Jadi sebenarnya baru aspirasi yang kita tampung, belum ada keputusan,” kata Guspardi Gaus.

Guspardi menegaskan, bahwa revisi UU No.6 Tahun 2014 tidak masuk dalam Prolegnas Prioritas 2023, tapi masuk dalam Prolegnas 2000-2024. Jika ingin direvisi, maka Badan Legislasi harus merevisi Prolegnas Proritas 2023 dan memasukkan revisi UU Desa.

Baca Juga  Selain Pengawasan, DPR Berharap Partisipasi Masyarakat dalam Pemilu 2024 Capai 80%

“Jadi revisi UU Desa itu tidak masuk Prolegnas Prioritas 2023, kalau mau dibahas ya harus direvisi Prolegnas Prioritasnya dan sampai sekarang belum ada pembahasan untuk merevisinya,” tegas Politisi PAN ini.

Guspardi berharap agar Menteri Desa dan Pembangunan Desa Tertinggal dan Transmigrasi (PDTT) Abdul Halim Iskandar melakukan kaji mendalam dari berbagai aspek mengenai efektifitas perpenjangan jabatan kades 9 tahun, dan tidak sekedar melempar wacana dan membuat polemik di publik.

“Masalah perpanjangan jabatan ini, saya mengatakan, menteri tolong dilakukan kajian mendalam dari aspek sosial politik, ekonomi dan berbagai aspek lainnya agar ada solusi dan cara mengatasinya,” kata Anggota Komisi II DPR ini.

Ia mengingatkan, agar Halim Iskandar mendengar berbagai alasan mengenai pro kotra perpanjangan jabatan kepala desa, seperti ketika kepala desa yang terpilih ternyata tidak berkualitas dan tidak punya inovasi, sementara jabatannya masih panjang.

“Ujung-ujungnya nanti yang dikorban masyarakat desa. Masukan dan saran seperti ini akan menjadi pendapat Komisi II DPR. Karena itu, saya menyampaikan apresiasi kepada Partai Gelora yang punya kepedulian untuk menyampaikan aspirasi, gagasan persoalan-persoalan dan dinamika di ranah desa,” ujarnya.

Sedangkan Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS) Anthony Budiawan mengatakan, masa jabatan sembilan tahun untuk kepala desa bisa menimbulkan chaos di masyarakat.

“Kalau satu periodenya adalah sembilan tahun, kalau ada ketidakpuasan dari masyarakat, maka yang terjadi adalah chaos. Kalau (masa jabatan) empat tahun atau lima tahun bisa cepat, oke kita menunggu bahwa masa jabatannya habis kita mengadakan pemilihan lagi. Tetapi kalau sembilan tahun, kalau baru tiga tahun dirasakan kepala desa sudah tidak bisa melayani masyarakat, maka yang terjadi adalah chaos, yang terjadi adalah demo dan penggantian-penggantian di tengah jalan,” kata Anthony.

Menurut Anthony, masa jabatan kepala desa yang singkat dapat membuktikan bahwa sosok tersebut adalah orang yang mampu bekerja dengan baik.

“Jadi, semakin pendek itu masa jabatan, tentu saja cukup untuk membuktikan bisa bekerja dan itu semakin baik. Makanya kalau di negara maju kebanyakan empat tahun,” tambah Anthony.

Anthony juga menyoroti sikap DPR yang langsung menyatakan akan mempertimbangkan wacana perpanjangan masa jabatan kepala desa. Menurutnya, itu hanya lah janji yang manis dilakukan DPR.

“Nah, ini kan asal menjanjikan yang tadi itu. Jangan sampai asal menjanjikan, asal mengiming-imingi saja. Ladahal pada saat itu tidak bisa dibahas,” ungkapnya.(MA)

 

Komentar