DPR Sayangkan Putusan MK Soal Pemisahan Pemilu, DPRD dan Pilkada

Nasional97 Dilihat
banner1080x1080

JAKARTA,SumselPost.co.id – Ketua Komisi II DPR RI Muhammad Rifqinizamy Karsayuda dengan tegas akan menentang Putusan MK Nomor 135/PUU-XXII/2024 terkait pemeisahan pemilu, DPRD dan pilkada. Sebab, jika putusan MK (Mahkamah Konstitusi) ini dijalankan dalam bentuk revisi UU Pemilu, maka berpotensi melanggar norma konstitusi. Khususnya Pasal 22E Ayat (1) dan Ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan bahwa pemilu dilaksanakan setiap lima tahun sekali untuk memilih Presiden, Wakil Presiden, anggota DPR, DPD, dan DPRD.

“Jika kita mengikuti putusan MK dengan jeda antara Pemilu nasional dan lokal minimal dua tahun hingga dua setengah tahun, maka siklus pemilu tidak lagi lima tahunan sekali, melainkan bisa menjadi tujuh hingga tujuh setengah tahun. Ini jelas bertentangan dengan konstitusi,” tegas Rifqinizamy.

Demikian disampaikan Rifqinizamy dalam dialektika demokrasi “Bagaimana Nasib DPRD setelah Putusan MK Pisahkan Jadwal Pemilu?” yang digelar Koordinatoriat Wartawan Parlemen (KWP) bekerja sama dengan Biro Pemberitaan DPR RI bersama pakar Hukum Tata Negara Margarito Kamis, pada Kamis (10/7/2025) di Gedung DPR RI Senayan Jakarta.

Baca Juga  Ridwan Kamil Sudah Sejak Lama Masuk Radar KIB

Menurut politisi NasDem dari Kalimantan Selatan itu, MK tidak memiliki kewenangan untuk mengubah isi dari konstitusi. Kewenangan MK hanya sebatas menguji norma dalam UU terhadap konstitusi, bukan mengubah makna atau substansi pasal-pasal dalam UUD 1945. Semestinya MK hanya dapat membatalkan UU yang dianggap bertentangan dengan konstitus

“Tapi, tidak bisa MK membuat tafsir baru yang berakibat pada perubahan norma dalam UUD 45. Ini yang membuat kami di Nasdem, khususnya saya pribadi, menolak putusan ini untuk ditindaklanjuti dalam bentuk revisi UU Pemilu dan itu sudah saya sampaikan ke Wakil Ketua MPR RI Ibu Lestari Moerdijat,” tambahnya.

Sementara itu, wacana revisi Undang-Undang No.7 Tahun 2017 tentang  Pemilu masih harus melalui tahapan di DPR. Mulai dari rapat pimpinan hingga badan musyawarah yang menentukan apakah revisi ini akan dilimpahkan ke Komisi II DPR atau badan lainnya, serta menentukan waktu pembahasannya. Selain itu, tidak adanya batas waktu spesifik yang disebutkan dalam putusan MK, membuat DPR tidak dalam posisi terdesak untuk segera menindaklanjuti.

Baca Juga  Presiden RI Resmikan Dua Terminal Tipe A di Sumut Tingkatkan Masyarakat Gunakan Angkutan Massal

Margarito Kamis juga menyayangkan putusan MK tersebut, karena menafsirkan konstitusi itu bukan wewenamg MK. “Harusnya MPR RI yang berwenang menafsirkan pasal-pasal UUD NRI 1945 itu. Bukan MK. Kalau MK ikut menafsirkan konstitusi, itu sama dengan merampas kewenangan MPR R, DPR RI dan DPD RI,” ujarnya.

Sebab, MK itu wewenangnya hanya menguji norma, tidak bisa bikin norma, kerjanya hanya menguji, menyatakan ini konstitusional atau tidak konstitusional. “Kalau putuaan MK itu dilaksanakan oleh DPR dan pemerintah, maka keputusan MK terkait pencawapresan Gibran Rakabuming di 2024 juga bisa digugat rakyat,” jelasnya.

Baca Juga  Arus Mudik-Balik Lancar, Komisi III DPR Apresiasi Kinerja Polri

Menurut Margarito, putusan MK ‘final dan mengikat’ itu kalau DPR tidak merespon putusan MK, maka otomatis putusan MK itu dipatuhi. Sebaliknya, kalau DPR sebagai pembuat undang-undang merespon putusan MK dan membuat aturan baru, maka putusan MK itu tidak final dan tidak pula mengikat.

“Jika DPR tidak merespons putusan MK ini, dalam arti mengubah misalnya, maka putusan MK itu sejak diputuskan, menyandang status dan sifat hukumnya sebagai hukum, karena menyandang status sebagai sifat hukum, maka putusan itu sah menjadi dasar kepemiluan,” kata Margarito.

Dikatakan, yang dimaksud final itu adalah sudah tidak ada banding, tidak ada kasasi. “Bukan berarti tidak bisa diubah oleh pembentuk undang-undang, jadi bisa diubah. Apalagi ini norma yang nyata-nyata diciptakan MK dengan cara melampaui wewenangnya,” pungkasnya. (MM)

 

Postingan Terkait

Postingan Terkait

Komentar