DPR Mendorong Pembenahan Data BPJS, Jangan Sampai Uang Negara Berantakan!

Nasional305 Dilihat
banner1080x1080

JAKARTA,SumselPost.co.id — Anggota Komisi VI DPR RI dari Fraksi PDI Perjuangan, Rieke Diah Pitaloka, menegaskan pentingnya pembenahan data peserta Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) agar tidak terjadi kebocoran anggaran dan salah sasaran dalam pemberian bantuan iuran. Tanpa perbaikan metodologi dan pengawasan ketat, program jaminan sosial nasional (JSN) dapat kehilangan arah dari cita-cita konstitusi.

Demikian Rieke Diah Pitaloka dalam forum dialektika demokrasi “Optimalisasi Perlindungan Jaminan Kesehatan bagi Insan Pers” di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Kamis (6/11/2025) bersama Anggota Komis IX DPR, Edy Wuryanto (FPDIP) dan perwakilan BPJS Mira Tayyiba, yang digelar KWP kerjasama dengan pemberitaan DPR RI.

Rieke prihatinan atas dugaan ketidaksesuaian data penerima bantuan iuran (PBI) tersebut. Menurut pokitisi PDI-P ini, hasil evaluasi menunjukkan potensi peserta fiktif mencapai 51,5 juta jiwa, dengan kerugian negara sekitar Rp126 triliun per tahun. “Kalau datanya tidak benar, negara harus mengeluarkan uang untuk peserta fiktif. Ini bukan angka kecil. Jangan sampai uang rakyat berantakan hanya karena data yang tidak akurat,” kata Rieke.

Rieke menyoroti bahwa banyak pekerja kehilangan pekerjaan namun belum otomatis terdaftar sebagai penerima bantuan iuran BPJS. Padahal, berdasarkan regulasi yang berlaku, peserta yang kehilangan pekerjaan berhak mendapatkan pembebasan iuran selama enam bulan.

Rieke juga menyinggung peran penting media dalam mengawal kebijakan publik, mengingat pada masa awal pembentukan BPJS pada 2011 silam, media turut berperan aktif dalam menyosialisasikan dan memperjuangkan Undang-Undang BPJS sebagai turunan dari Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN).

“Kalau tidak ada media, tidak mungkin undang-undang BPJS bisa lahir. Waktu itu (2009 – 28 Oktober 2011) kami bahkan membentuk jaringan ‘pewarta pejuang’, bukan hanya kuli tinta, untuk ikut mengawal perjuangan jaminan sosial. Bahwa pemerintahan Presiden Prabowo Subianto memiliki komitmen kuat terhadap penguatan jaminan sosial bagi seluruh rakyat, sebagaimana diamanatkan UUD 1945.

Namun, lanjut Rieke, langkah pemutihan data BPJS yang akan dilakukan pemerintah harus disertai pembenahan metodologi dan regulasi yang jelas. “Pemutihan tidak akan berjalan baik tanpa perbaikan metodologi. BPJS dan Kementerian Keuangan tidak bisa bergerak tanpa dasar hukum yang kuat, seperti Instruksi Presiden atau keputusan menteri,” jelas Rieke.

Rieke juga mengungkapkan bahwa pemerintah telah menyiapkan anggaran tambahan Rp400 miliar untuk tahun 2025 dan alokasi Rp6 triliun untuk 2026, guna memperkuat sistem data dan pengawasan BPJS. Untuk itu, ia berharap Komisi IX DPR ikut mengawal proses tersebut agar tepat sasaran.

“Kami berharap semua pihak menjaga integritas data negara, terutama yang menyangkut hak rakyat miskin atas jaminan sosial. Saya tidak takut apa pun, kecuali jika data rakyat dipermainkan dan uang negara kembali berantakan. Mari kita kawal bersama,” pungkasnya.

Pemerataan Akses

Anggota Komisi IX DPR RI dari Fraksi PDI Perjuangan, Edy Wuryanto, menyoroti masih adanya kesenjangan layanan antara daerah perkotaan dan wilayah tertinggal, serta menekankan perlunya penguatan sistem jaminan sosial nasional, khususnya BPJS Kesehatan, agar benar-benar mewujudkan prinsip “sehat untuk semua.” Padahal, dalam amanat konstitusi telah ditegaskan bahwa pemerataan akses layanan kesehatan bagi seluruh masyarakat Indonesia, sangat penting untuk dilakukan.

“Pasal 28 UUD 1945 jelas menyatakan setiap warga negara berhak memperoleh layanan kesehatan. Itu artinya, setiap penduduk wajib menjadi peserta BPJS agar tidak kehilangan akses terhadap pelayanan kesehatan,” ujar Edy.

Menurutnya, meski tingkat kepesertaan BPJS Kesehatan telah mencapai lebih dari 90 persen, hanya sekitar 70 persen yang masih aktif. Kondisi ini menunjukkan masih ada 20–30 persen masyarakat yang kesulitan mengakses layanan kesehatan. “Itu menjadi tanggung jawab negara untuk memastikan mereka kembali aktif,” ujarnya.

Edy menjelaskan, salah satu tantangan utama BPJS Kesehatan saat ini adalah keseimbangan antara pembiayaan dan kualitas layanan. Dengan iuran yang relatif murah dan konsep gotong royong, BPJS menghadapi tekanan finansial, terbukti dari rasio klaim yang kini mencapai 108 persen.

“Pemerintah sudah menambah dana sekitar Rp20 triliun dari APBN 2026 untuk memperkuat peserta penerima bantuan iuran (PBI), dan Rp2,5 triliun tambahan jika terjadi penyesuaian iuran bagi peserta mandiri,” tambahnya.

Ia mengapresiasi kebijakan pemutihan tunggakan peserta BPJS, yang dinilai dapat menyehatkan neraca keuangan lembaga tanpa melanggar konstitusi. “Kebijakan ini bukan penghapusan kewajiban, tapi bentuk penyehatan agar peserta bisa kembali aktif membayar dan mendapatkan haknya,” ungkap Edi.

Namun, persoalan paling serius menurutnya justru terletak pada ketimpangan akses layanan kesehatan antarwilayah. Ia mencontohkan, pasien jantung di Jakarta jauh lebih mudah mendapat perawatan dibandingkan warga di Nusa Tenggara Timur (NTT) atau Maluku. “Yang miskin malah lebih sulit mengakses layanan. Padahal prinsip jaminan kesehatan nasional adalah gotong royong — yang kaya membantu yang miskin,” tegasnya.

Edy mendesak pemerintah untuk memperluas pembangunan rumah sakit dan menambah jumlah dokter spesialis di daerah-daerah 3T (tertinggal, terdepan, terluar). “Kalau dokter maunya di kota, sementara biaya pendidikan spesialis mahal, maka pemerintah harus membuat regulasi agar mereka mau ditempatkan di daerah terpencil,” ujarnya.

Dalam konteks ketenagakerjaan, Edy juga mengingatkan pentingnya kepesertaan BPJS bagi semua pekerja, termasuk jurnalis. “Wartawan juga pekerja. Jika ada pemberi kerja, maka wajib mendaftarkan karyawannya pada BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan,” katanya.

Menurutnya, semangat dasar pembentukan BPJS adalah menjamin tidak ada warga miskin yang sakit dan harus memikirkan biaya. “Itu hak konstitusional warga negara yang harus dijaga negara,” pungkas Edy.

Sementara itu Mira Tayyiba, mengatakan saat ini JKN (Jaminan Kesehatan.Nasional) sedang melakukan penimgkatan jumlah kepesertaan. Karena itu, tidak perlu lagi takut berobat ke rumah sakit. “JKN terus mendorong peningkatan kepesertaan. Pesertanya kini sekitar 180juta dan 80% aktif. Jadi, kalau pemutihan penghapusan iuran BPJS belum ada,” ungkapnya. (MM)

 

Postingan Terkait

Postingan Terkait

Komentar