JAKARTA,SumselPost.co.id – Banyaknya ibu melahirkan yang meninggal dunia, anak-anak yang stunting, kurang gizi, putus sekolah, pernikahan di bawah umur, eksploitasi dan kriminalisasi anak, kekerasan seksual dan sebagainya, kondisi inilah yang melahirkan RUU KIA (Kesejahteraan Ibu dan Anak). Hal itu harus menjadi perhatian negara termasuk pemerintah daerah menyongsong Indonesia Emas 2045.
“Kalau tidak mempersiapkan generasi yang tangguh dan unggul SDM -nya maka Indonesia akan sulit mencapai Indonesia Emas tersebut. Karena itu, negara harus hadir menyiapkan generasi emas itu dengan memperhatikan kesejahteraan ibu dan anak,” tegas Luluk Nur Hamidah.
Hal itu disampaikan anggota Baleg DPR yang juga inisiator RUU KIA ini
dalam diskusi ‘Forum Legislasi “RUU Kesejahteraan Ibu Anak dan Tantangan Generasi Unggul” bersama Retno Listyarti dari Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) di Gedung DPR RI Senayan.Jakarta, Selasa, (6/6/2023).
Bahkan lanjut anggota Komisi VI DPR dari FPKB itu, ibu yang mengalami anemia mencapai 40%, sehingga banyak ibu dan anaknya meninggal dunia saat melahirkan. “Angka kematian itu tertinggi kedua di Asia Tenggara, dan angka stunting anak mencapai 50%. Padahal kesejahteraan, hak mendapatkan kesehatan, pendidikan dan lain-lain itu dijamin oleh konstitusi,” ujarnya.
Menurut Luluk, banyak ibu hamil mengalami babby blues, depresi, gangguan keseimbangan hormonal, emosional mental, dan sebagainya sehingga tidak selalu siap menerima kelahiran bayinya. Ia khawatir kalau itu tidak diperhatikan oleh negara, kaum perempuan bisa tidak mau lagi hamil. “Kalau sampai mogok hamil, maka di tahun 2045 akan banyak Lansia, dan ini berarti negara tidak bisa melanjutkan program pembangunan. Alhasil akan tertinggal oleh negara lain. Justru karena ada perempuan yang melahirkan inilah, maka kehidupan ini bisa dilanjutkan” kata dia.
Retno menegaskan kalau
stunting itu bukan hanya masalah makan dan kesehatan, tapi terkait perawatan, pengasuhan, pendampingan tumbuh kembang anak, kecerdasan, sejak bayi hingga dewasa. Apalagi angka stuntingnya, Indonesia masih di peringkat 140 dari 190 negara di dunia.
Retno menilai sumber stunting yang dominan adalah akibat perkawinan dini di usia 10 – 17 tahun. Mereka ini masih belum sadar dan belum memahami alat reproduksinya. Akibatnya saat melahirkan banyak yang meninggal, bayinya stunting, kurang mendapat kasih sayang, terjadi perbudakan dan kriminalisasi anak, dan ini pelanggaran HAM.
Untuk itu kata Retno selain pemerintah pusat, pemerintah daerah (Pemda) juga harus ikut bertanggungjawab. Mengingat untuk pernikahan dini akibat putus sekolah itu di desa mencapai 27% dan di kota 17%. “Fakta itulah yang menghambat pencapaian SDGs Goal 5P indeks pembangunan manusia. “Jadi, hindari dan terus kurangi pernikahan anak di bawah umur ini,” pungkasnya.
SDGs adalah Sustainable Development Goals (SDGs), sebuah rencana aksi yang menyasar pada 5P, yaitu: People (Umat Manusia), Planet (Bumi), Prosperity (Kemakmuran), Peace (Perdamaian), Partnership (Kemitraan) yang saling terkait satu sama lain.(MM)
Komentar