JAKARTA,SumselPost.co.id – Demokrasi yang damai dalam pemilihan kepala daerah (Pilkada) serentak 27 November 2024 nanti, akan ditentukan oleh elit politik sendiri. Kalau rakyat sudah damai. Tapi, rakyat diintimidasi, diancam dan ditekan untuk menentukan pilihamnya dalam Pilkada, pasti akan terjadi konflik, kegaduah, dan polarisasi politik di tengah masyarakat.
“Jadi, pilkada itu harus dikembalikan pada demokrasi itu sendiri. Yaitu dari rakyat, olrleh rakyat dan untuk rakyat. Tidak perlu cawe-cawe dengan mengancam, intimidasi dan tekanan lainnya termasuk pada ASN untuk memenangkan calon tertentu,” tegas Herman Khaeron
Hal itu disampaikan anggota Fraksi Demokrat itu dalam diskusi dialektika demokrasi “Menyonsong Pilkada Serentak 2024 dengan Penuh Damai” bersama anggota DPR RI Fraksi PKB Luluk Nur Hamidah, dan pengamat politik Ujang Komarudin di Gedung DPR RI Senayan Jakarta, pada Kamis (19/9/2024).
Lebih lanjut Herman Khaeron memgatakan bahwa demokrasi itu sejatinya membebaskan rakyat untuk menentukan pilihannya berdasarkan hati nuraninya, tanpa tekanan dan.ancaman. Selain itu harus ada kontrak politik antara kandidat calon kepala daerah, parpol pengusung, timses dan anggota masyarakat lainnya.
Hanya saja menurut Herman Khaeron, mungkin bagi KPU, Bawaslu dan partai agak kewalahan dalam menyiapkan teknis pelaksanaan pilkada ini, karena terlalu dekat dengan pelaksanaan pemilu dan pilpres 2024 lalu. “Karena itu, saya mengusulkan pilpres dan pileg dipisah, dan pilkada perzona wilayah. Tidak semuanya serentak. Kalau pilkades bisa dicoba untuk dilakukan secara serentak,” ungkapnya.
Luluk menilai mengingat Pilkada ini adalah hajatan demokrasi yang sangat besar maka jangan sampai ada masyarakat yang merasa dicederai, sehingga Pilkada ini tidak dapat menghasilkan dan menghadirkan prinsip-prinsip demokrasi yang berkeadilan untuk semua kontestan. Mengapa? “Karena ada incomben atau bahkan ada pihak-pihak yang bekerja untuk calon tertentu dengan cara-cara yang tidak patut menurut kaidah dan prinsip-prinsip demokrasi,” ujarnya.
Karena itu, Luluk minta semua elemen masyarakat harus mengawal agar Pilkada ini benar-benar tidak menyimpang dari semangat dan esensi demokrasi yaitu keadilan. “Media dan masyarakat menjadi sangat penting agar jangan sampai terjadi mobilisasi sumber daya misalnya negara menggunakan APBN atau bahkan APBD hanya untuk mendukung pasangan tertentu, ini pasti akan menyakiti masyarakat,” tambahnya.
Luluk juga berharap tidak ada keterlibatan aparat keamanan khususnya yang ada di tingkat lokal. Misalnya adanya dukungan dari aparatur keamanan yang ini merupakan kerja kerja dari pusat atau dari Jakarta yang diturunkan untuk memenangkan calon tertentu di daerah, baik itu tingkat provinsi ataupun di kabupaten atau kota. “Kita mesti mewaspada penggunaan sumber daya APBD atau APBN, agar pilkada ini berjalan dengan fair karena kalau ada memobilisasi APBD untuk kemenangan calon tertentu dengan menggunakan birokrasi dan unsur-unsur kekuasaan yang lainnya, ini harus dicegah,” tegas Luluk.
Sementara itu, Ujang Komarudin merasa kaget dengan pernyataan Mendagri yang membolehkan ASN ikut kampanye pilkada. Sebaliknya Kapolri memgingatkan bahwa aparat harus netral. “Kalau ASN ikut kampanye pilkada, maka tak ada lagi netralitas dan bahkan bisa dimobilisasi. Padahal, itu tidak boleh dalam demokrasi. Itu merusak proses demokrasi,” katanya.
Anehnya lagi menurut Ujang, jumlah rakyat miskin penerima bamsos itu sejak era Presiden SBY (Susilo.Bambang Yudhoyono) sampai sekarang jumlahnya tak pernah berkurang, sekitar 20 jutaan orang. “Itu artinya tidak ada kemajuan, dan sebaliknya jumlah rakyat miskin ini justru dipelihara untuk kepentingan politik 5 tahunan. Belum lagi mayoritas pemilih masih berpendidikan rendah; SD dan SMP. Kalau ini terus berulang dan berputar-putar dengan Bansos, maka proses demokrasi yang sehat dan berkualitad tak akan pernah terwujud,” pungkasnya.(MM)
Komentar