Dorong ‘Trias Politica’ Efektif, Fahri Hamzah Berjanji akan Perbaiki Sistem Demokrasi Indonesia

Nasional113 Dilihat
banner1080x1080

JAKARTA,SumselPost.co.id – Wakil Ketua Umum Partai Gelombang Rakyat (Gelora) Indonesia Fahri Hamzah mengatakan, Partai Gelora akan mendorong penguatan Sistem ‘Trias Politica’ dalam tradisi demokrasi di Indonesia. Dimana tiga cabang kekuasaan yang ada, eksekutif, legislatif dan yudikatif dapat berjalan efektif, sejalan dan seiring.

Sehingga ketiganya akan sama-sama kuat, karena saling mengawasi dan saling mengontrol atau ada check and balance. “Trias Politica mendorong supaya kita bisa memandang berbagai persoalan secara utuh, bukan parsial agar kita tidak mengalami keterjebakan dalam berbangsa dan bernegara,” kata Fahri Hamzah, Sabtu (27/12/2025).

Hal itu disampaikan Fahri Hamzah dalam Kajian Pengembangan Wawasan dengan tema ‘Wawasan Kebangsaan’ Seri ke-12 yang diselengarakan DPP Partai Gelora di Jakarta, Jumat (26/12/2025) malam.

“Saya ingin mengambil contoh dari cara kita melihat presiden dari waktu ke waktu. Di negara kita, sering ujung-ujungnya menyalahkan presiden dari zaman Orde Lama, Orde Baru, Era Reformasi hingga kini,” ujarnya.

Ketika Orde Lama, lanjut Fahri, semua orang mendewa-dewakan mantan Presiden Soekarno. Namun, saat Bung Karno tidak lagi menjabat, dicaci maki, bahkan ada upaya untuk menghilangkan jejak dalam sejarah.

Demikian juga saat mantan Presiden Soeharto menjabat sebagai penguasa Orde Baru selama 32 tahun. Ia menilai Soeharto juga didewa-dewalan dan disanjung luar biasa dengan diberikan berbagai gelar. “Tapi begitu Presiden Soeharto berhenti, lalu kita memaki-makinya seolah-olah tidak ada
harganya dan tidak pernah ada jasanya,” katanya.

Namun, semua pihak pada akhirnya patut bersyukur, karena Presiden Prabowo Subianto telah memberikan gelar Pahlawan kepada Soeharto pada HUT RI ke-80 pada Agustus 2025 lalu.

Situasi ini juga terjadi pada presiden setelah seperti mantan Presiden BJ Habibie, Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Megawati Soekarno Putri, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Joko Widodo (Jokowi). “Terutama yang memimpin agak lama. Waktu itu pernah Pak SBY diganggu. Sekarang kita masih menyaksikan
bagaimana Pak Jokowi diganggu luar biasa,” ungkapnya.

Padahal waktu Jokowi berkuasa, kata Fahri,
dielu-elukan luar biasa, seolah-olah tidak ada orang yang lebih baik daripada Presiden RI ke-7 itu. “Saya sendiri pernah mengalami, karena mengkritik Pak Jokowi. Sebagai anggota dewan, saya sempat didemonstrasi sama orang, bahkan diacung-acungkan pedang di suatu tempat, karena dianggap mengkritik Pak Jokowi,” kata Wakil Ketua DPR Periode 2014-2019 ini.

Sebab, tindakannya saat mengkritik Jokowi ketika itu, dianggap membenci seorang pemimpin, padahal dirinya hanya menjalankan fungsi sebagai anggota legislatif.

“Kemudian begitu Pak Jokowi berhenti, tiba-tiba semua orang menyerang Pak Jokowi seolah-olah tidak ada jasanya. Padahal beliau memiliki
jasa juga bagi kemajuan dan pertumbuhan bangsa kita, terlepas dari kekurangan-kekurangannya,” jelas Fahri.

Kejadian ini, menurut dia, akan terus berulang apabila kita masih mengkultuskan atau melebih-lebihkan pemimpin yang akan datang. “Tapi kemudian pada saat yang bersamaan kita bisa
bersikap sadis, setelah pemimpin itu berhenti, kita akan membencinya. Gejala ini, saya anggap sebagai salah satu yang disebabkan oleh kelemahan kita dalam memandang negara sebagai sebuah sistem,” ungkapnya.

Wakil Menteri Perumahan dan Kawasan Pemukiman RI ini, berpandangan bahwa dalam negara itu, memiliki banyak komponen, antara lain komponen rakyat. “Rakyat itu komponen yang harus terus menerus mendidik diri supaya
tidak salah pilih. Karena begitu salah pilih, yang menyesal dan marah kita juga,” tambahnya.

Karena itu, semua pihak perlu memantau dan membaca siapa yang akan
memimpin secara lebih baik, termasuk menawarkan perbaikan sistem berbangsa dan bernegara. “Jelas dalam hal ini, Partai Gelora adalah partai yang ingin mengajak semua
untuk memperbaiki sistem, termasuk yang dianggap
anggap harus kita evaluasi, ” katanya.

Partai Gelora akan membuka pintu dialog untuk berdiskusi penyempurnaan sistem politik atau mekanisne penyelenggara an pemilu misalnya, atau
sistem ketatanegaraan dan lain-lainnya. “Bahkan menurut saya diskusi tentang amandemen kelima untuk menyempurnakan
konstitusi juga tetap harus kita buka,” jelas Fahri.

Menyadari dalam 30 tahun
terakhir setelah amandemen I-IV, terdapat banyak
masalah yang harus segera dicarikan solusi melalui perbaikan konstitusi lagi.

“Diharapkan nanti kita akan
menemukan satu sistem yang lebih ideal dan lebih solid. Sebab sebuah sistem terutama konstitusi dan undang-undang itu adalah karya manusia. Dia terbuka untuk didiskusikan, serta dibahas perbaikan dan penyempurnaannya ke depan,” pungkas Fahri. (MM)

 

Postingan Terkait

Postingan Terkait

Komentar