JAKARTA,SumselPost.co.id – Badan Legislasi (Baleg) DPR RI sedang mengharmonisasi Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Keuangan Haji. Anggota Baleg dari Fraksi PKB, Habib Syarief Muhammad mengusulkan agar Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) bertanggung jawab langsung ke Presiden.
Anggota Komisi VIII DPR itu mengatakan, RUU ini hadir sebagai respons atas beberapa permasalahan krusial yang telah teridentifikasi. Salah satu isu sentral adalah disparitas yang kian melebar antara Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) dengan Biaya Perjalanan Ibadah Haji (Bipih) yang mesti ditanggung oleh jemaah.
“Kajian kami menunjukkan bahwa terjadi lonjakan signifikan BPIH, bahkan mencapai 41,3% pada 2022 dibandingkan 2019. Kenaikan ini tidak linier dengan peningkatan setoran lunas jemaah, yang secara sistemik telah menyebabkan porsi nilai manfaat yang dimanfaatkan untuk menutupi selisih tersebut mengalami tren kenaikan, bahkan mencapai titik tertinggi 59% pada 2022,” tegas Habib Syarief, Rabu (10/12/2025).
Jika tidak segera diatasi dengan kerangka regulasi yang adaptif, hal itu berpotensi menggerus dana abadi umat dan menimbulkan persoalan mendasar terkait kehalalan pendanaan. Penggunaan nilai manfaat yang sejatinya merupakan hak jemaah tunggu untuk membiayai jemaah berangkat tanpa adanya izin eksplisit, merupakan bentuk pelanggaran hak serius oleh negara.
Menurut Habib Syarief, RUU ini mendorong optimalisasi tata kelola keuangan haji melalui perluasan jangkauan dan terobosan kebijakan investasi yang lebih produktif oleh Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH). Pengelolaan dana haji yang mencapai triliunan rupiah setiap tahunnya itu harus mampu memberikan nilai manfaat yang optimal dan berkelanjutan.
Dia juga menyoroti ketentuan yang mengatur pengeluaran penempatan atau investasi keuangan haji mesti mendapatkan persetujuan seluruh dewan pengawas. Proses ini, dalam praktik, kerap memakan waktu yang lama akibat perbedaan pandangan di antara anggota dewan pengawas.
Oleh karena itu, RUU ini mengusulkan adanya ketentuan mengenai persentase minimal persetujuan dewan pengawas, misalnya 50%+1, untuk mempercepat dan mengefisiensikan pengambilan keputusan investasi tanpa mengabaikan prinsip kehati-hatian dan akuntabilitas.
Dalam konteks manajemen risiko, RUU ini akan memperkuat kerangka perlindungan dana haji dengan mendorong pembentukan cadangan modal yang sistematis untuk mengantisipasi kerugian yang timbul dari ‘business judgment’ serta berbagai risiko investasi lainnya, seperti risiko kredit, pasar, likuiditas, imbal hasil, operasional, strategis, kepatuhan, dan hukum.
RUU ini juga memperluas kewenangan BPKH. Saat ini, kewenangan BPKH cenderung terbatas pada lingkup penempatan investasi dana haji. Dia berpandangan bahwa BPKH harus turut andil secara signifikan dalam pengambilan keputusan terkait besaran penerimaan dan pengeluaran keuangan haji.
RUU ini juga akan memperjelas garis akuntabilitas BPKH. Dia mengamati bahwa pola pertanggungjawaban BPKH kepada Presiden melalui menteri saat ini kurang tepat, mengingat bahwa pengelolaan keuangan haji oleh BPKH merupakan entitas yang berbeda secara fungsional dengan penyelenggaraan ibadah haji oleh Kementerian Haji.
“BPKH selayaknya langsung bertanggung jawab kepada Presiden. Hal ini akan memperkuat posisi BPKH sebagai lembaga pengelola keuangan yang independen, profesional, dan akuntabel, serta terhindar dari potensi tumpang tindih kewenangan atau bias politik,” pungkad legislator asal Dapil Jawa Barat I itu. (MM)




















Komentar