Badan Pengkajian MPR RI: MPR, DPR, dan DPD Harus Dipertegas Tugas, Pokok, Fungsi, dan Kewenangannya

Nasional126 Dilihat
banner1080x1080

JAKARTA,SumselPost.co.id – Anggota Badan Kajian MPR RI dari kelompok DPD RI Dedi Iskandar Batubara berharap MPR RI, DPR RI dan DPD RI memiliki tugas pokok, fungsi dan kewenamgan yang harus dipertegas lagi. DPD RI khususnya bagaimana memiliki kewenangan terkait daerah, transfer keuangan daerah, pengawasan pelaksanaan kebijakan daerah dan sebagainya, karena DPD RI sebagai amanah konstitusi dari amandemen UUD NRI keempat.

“Kita menganut sistem politik ketatanegaraan trias politika; ada eksekutif, legislatif dan yudikatif. Tapi, legislatif hari ini sangat powerfull, eksekutif juga powerfull. Padahal, ada pandangan bikameral atau dua kamar (DPR dan DPD RI) sebagai check amd balancing. Karena itu, sebagai lembaga legislatif tentu MPR, DPR, dan DPD ini harus dipertegas kewenangannya,” tegas Dedi Iskandar.

Hal itu disampaikan anggota MPR RI itu dalam dialog konstitusi MPR RI bekerjasama KWP dan Biro Humas dan Sistem Informasi Setjen MPR bertajuk “Wewenang dan Pola Hubungan Antarlembaga Negara dalam Struktur Ketatanegaraan Indonesia” bersama Abdul Hakim MS, dari Skala Survei Indonesia (SSI), di Gedung MPR RI, Senayan Jakarta, Rabu (1/10/2025).

Lebih lanjut Dedi Iskandar mengatakan bahwa penegasan kewenangan itu tentu harus dilakukan melalui amandemen konstitusi kelima. Selain kewenangan untuk menyusun pokok-pokok haluan negara, DPD RI diharapkan bisa menjadi check and balance (penyeimbang) dengan DPR RI. Sehingga DPD tidak saja berwenang mengusulkan RUU terkait daerah sekaligus mempertegas sistem penyelenggaraan kenegaraan.

“Sekarang ini legislatif.dan eksekutif sangat kuat. Keduanya, bisa mengusulkan dan memutuskan RUU dan kebijakan lainnya. Nah, DPD RI setidaknya harus diberi kewenamgan lebih besar untuk daerah. Tapi, dalam prakteknya sebagian besar kewenangan dan otonomi daerah itu justru kini diambilalih lagi oleh pusat. Praktek ini membuat DPD RI dalam sistem ketatanegaraan ini seolah-olah tidak punya kewenangan apa-apa lagi,” kata Dedi.

Padahal, DPD RI yang memahami persoalan daerah dan karakteristik daerahnya. Untuk itu, pembagian kewenangan itulah yang harus diperkuat dan dipertegas, agar pengawasan dan keseimbangannya bisa berjalan dengan baik. Untuk itu, Dedi Iskandar menawarkan tiga hal penguatan DPD RI tersebut.

Pertama, mendorong penguatan DPD melalui amandemen kelima UUD NRI 1945, sebagai kelanjutan proyeksi penguatan terhadap sistem presidensial terkait kedudukan DPD RI sebagai kamar kedua di parlemen.

Kedua, DPD harus terus memberikan kerja-kerja optimalnya melalui jalan pengawasan yang maksimal terhadap pelaksanaan undang-undang terkait dengan kepentingan daerah terutama soal dana transfer daerah, dan lain-lain yang tentu saja berurusan langsung dengan kepentingan daerah.

Ketiga, mengoptimalkan peran DPD RI melalui jalan kolaborasi dalam fungsi pengawasannya. “Penhawasan itu tidak boleh lepas karena hal itu yang paling bisa dilakukan dan dikerjakan oleh anggota DPD RI. Kolaborasi ini artinya memastikan bahwa ketika ada program pemerintah yang tidak jalan di daerah, program itu harus diawasi dengan baik. DPD RI ingin melihat semua rencana kerja pemerintah yang sudah diputuskan lewat APBN itu betul-betul terlaksana di daerah. Inilah yang harus dioptimalkan oleh DPD RI,” pungkasnya.

Sementara itu, Abdul Hakim MS, dari Skala Survei Indonesia (SSI) menilai demokrasi yang sehat membutuhkan harmoni, tetapi juga ketegangan yang produktif. Tanpa oposisi yang tegas, demokrasi bisa kehilangan daya kritisnya; tetapi tanpa keguyuban, demokrasi bisa terjebak dalam polarisasi yang memecah-belah bangsa.

“Demokrasi jalan ketiga Indonesia adalah model khas yang lahir dari pengalaman sejarah dan budaya politik sendiri. Secara konstitusional kita presidensial, secara praktik sering bercorak parlementer, dan hasilnya adalah oposisi abu-abu. Jalan ini bukan tanpa risiko, tetapi juga bukan tanpa nilai. Jika dijaga dengan seimbang, demokrasi jalan ketiga bisa menjadi kontribusi Indonesia bagi percakapan global tentang bagaimana demokrasi dapat bertahan di tengah keragaman dan tantangan zaman. Tapi faktanya, meski presidensial, faktanya semi parlementer,” ungkapnya. (MM)

Komentar