100 Hari Prabowo Bidang Pertahanan, Imparsial: Menguatnya Militerisme dan Kembalinya Dwifungsi TNI

Nasional61 Dilihat

JAKARTA,SumselPost.co.id – Pemerintahan Prabowo – Gibran memasuki 100 hari masa pertama pemerintahanya. Masa pemerintahan 100 hari pertama sebuah pemerintahan biasanya akan mencerminkan bagaimana proyeksi pola kepemimpinan dan pemerintahan ke depannya. Di bidang pertahanan khususnya, Imparsial menilai 100 hari pertama pemerintahan ini, sektor pertahanan Indonesia menunjukkan tanda-tanda kemunduran serius yang mengarah pada menguatnya militerisme dan kembalinya Dwifungsi TNI.

Demikian disampaikan Ardi Manto Adiputra, Direktur Imparsial di Jakarta, Rabu (22/1/2025).

Hal itu kata Manto, dapat dilihat secara nyata dari beberapa hal; Pertama, Dwifungsi TNI menguat dengan penempatan prajurit TNI aktif dalam jabatan sipil, sebagaimana terlihat dari pengangkatan Mayor Teddy Indra Wijaya (Mayor Teddy) sebagai Sekretrais Kabinet (Seskab).

“Pengangkatan Mayor Teddy sebagai Sekretaris Kabinet merupakan bentuk pelanggaran nyata terhadap Undang-Undang No. 34 tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) terkait penempatan personel militer aktif di jabatan sipil dan keterlibatan prajurit TNI aktif dalam politik praktis. Pengangkatan Mayor Teddy yang merupakan seorang prajurit aktif TNI sebagai Sekretaris Kabinet jelas bertentangan dengan pasal 39 dan 47 UU TNI yang menyatakan bahwa prajurit TNI tidak boleh terlibat dalam kegiatan politik praktis serta prajurit aktif hanya dapat menduduki jabatan pemerintahan sipil setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas aktif keprajuritan,” ujarnya.

Mengacu pada Pasal 47 ayat (2) UU TNI, Sekretaris Kabinet tidak termasuk dalam instansi yang diperbolehkan untuk diduduki oleh prajurit TNI aktif. Jabatan yang boleh diduduki oleh TNI aktif menurut pasal 47 ayat (2) adalah pada kantor yang membidangi koordinator bidang Politik dan Keamanan Negara, Pertahanan Negara, Sekretaris Militer Presiden, Intelijen Negara, Sandi Negara, Lembaga Ketahanan Nasional, Dewan Pertahanan Nasional, Search and Rescue (SAR) Nasional, Narkotika Nasional, dan Mahkamah Agung. Lebih dari itu pengangkatan Mayor Teddy tersebut juga mencederai semangat reformasi TNI dan juga menunjukkan adanya pengabaian terhadap supremasi hukum di Indonesia.

Baca Juga  Beli Sepeda Motor Honda Makin Untung dengan Program “MAUNG GARUDA” dari Astra Motor Sumsel

Kedua, Pembentukan Dewan Pertahanan Nasional yang kewenangannya melampaui yang diatur dalam UU Pertahanan. Meskipun pembentukan Dewan Pertahanan Nasional ini sudah dimandatkan dalam Undang-Undang No. 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara, namun dalam Pasal 3 huruf F Perpres No. 202 Tahun 2024 yang menyatakan bahwa DPN memiliki fungsi lain yaitu fungsi yang diberikan oleh presiden memberikan kewenangan yang sangat luas terhadap DPN dan dapat menimbulkan multi interpretasi.

“Dengan adanya pasal karet tersebut DPN berpotensi menjadi lembaga superbody dan memiliki potensi penyalahgunaan wewenang yang sangat tinggi,” jelas Manto.

Ketiga, pelibatan TNI dalam operasi militer selain perang semakin berlebihan. Operasi pengamanan proyek strategis nasional yang melibatkan TNI mendapat sorotan tajam dari publik, seperti PSN Food Estate di Merauke. Imparsial memandang program Food Estate yang diikuti dengan penambahan dan pembentukan lima batalyon Infanteri Penyangga Daerah Rawan (Yonif PDR) di Papua yaitu Yonif 801/Kesatria Yuddha Kentsuwri di Kabupaten Keerom, Yonif 802/Wimane Mambe Jaya di Kabupaten Sarmi, Yonif 803/Nduka Adyatma Yuddha di Kabupaten Boven Digoel, Yonif 804/Dharma Bhakti Asasta Yudha di Kabupaten Merauke dan Yonif 805/Kesatria Satya Waninggap di Kabupaten Sorong tidak hanya sebagai bentuk penyimpangan peran TNI tetapi juga berpotensi memperparah spiral kekerasan di Papua. Konflik antara TNI dengan masyarakat yang mengakibatkan terjadinya pelanggaran HAM sangat mungkin terjadi, apalagi berdasarkan keterangan Menteri Pertanian yang menyatakan bahwa pembukaan lahan satu juta hektar dikendalikan langsung oleh Pangdam XVII/Cenderawasih.

“Hal ini kemudian diikuti dengan pengiriman atau penambahan pasukan TNI secara ilegal di Merauke yang menjadi bukti nyata militerisme dan pendekatan sekuritisasi yang dijalankan oleh Pemerintah di Papua. Di sisi lain hal ini juga menunjukkan ketidakseriusan pemerintah dalam menyelesaikan konflik di Papua secara damai. Alih-alih menepati janji untuk mengutamakan dialog, langkah ini justru dapat memperburuk situasi, menambah ketakutan masyarakat lokal dan memperkuat pengaruh militer di wilayah yang sudah rentan konflik,” ungkap Manto.

Baca Juga  DPR: Digitalisasi Administrasi Pilkada Tingkatkan Akurasi Data Pemilih

Keempat, terus berlangsungnya kekerasan militer terhadap warga sipil yang diiringi dengan pelanggengan budaya impunitas. Ini terjadi seperti dalam kasus penembakan bos rental mobil yang dilakukan oleh anggota TNI aktif di KM 45 tangerang. Pernyataan Kapuspen TNI yang menyebutkan bahwa kasus tersebut akan diadili di peradilan militer sejatinya bertentangan dengan Pasal 65 ayat (2) UU TNI dan pasal 3 ayat (4)n huruf a TAP MPR No. VII Tahun 2000. Kedua regulasi tersebut dengan jelas menyatakan bahwa pelanggaran hukum pidana umum oleh prajurit TNI harus diselesaikan melalui peradilan umum.

Berdasarkan data yang dihimpun oleh Imparsial menurut Manto, peradilan militer seringkali menjadi sarana impunitas bagi prajurit TNI yang melakukan tindak pidana umum. Beberapa contoh kasus misalnya penyiksaan yang mengakibatkan kematian terhadap Jusni atau pembunuhan terhadap Pendeta Yeremia Zanambani, memperlihatkan bahwa pelaku cenderung dilindungi oleh sistem peradilan militer.

Kelima, menguatnya sekuritisasi melalui pelibatan TNI dalam tugas-tugas yang jauh dari fungsi utamanya sebagai alat pertahanan negara. Keterlibatan militer dalam program-program sosial seperti pemberian makan bergizi gratis, menunjukkan bagaimana peran militer yang seharusnya fokus pada pertahanan mulai bergeser ke ranah yang seharusnya dikelola institusi sipil. Pelibatan TNI dalam program ini tentunya akan mengganggu profesionalisme TNI sebagai alat negara yang dipersiapkan untuk menghadapi ancaman perang (external).

“Masih banyak lagi keterlibatan TNI dalam urusan selain pertahanan, seperti terkait ketahanan pangan, memberikan pelayanan kesehatan, pemberdayaan ekonomi lokal, dan pembangunan infrastruktur. Kesemua hal tersebut sejatinya adalah illegal karena tidak melalui sebuah keputusan politik negara sebagaimana yang diatur dalam UU 34 tahun 2004 tentang TNI. Hal ini menunjukkan terjadinya sekuritisasi,” tambah Manto.

Baca Juga  Ganjar Pranowo Bacakan Dedication of Life di Puncak Bulan Bung Karno

Keenam, penguatan struktur komando teritorial (Koter) TNI. Menteri Pertahanan Sjafri Sjamsoedin dalam sebuah rapat dengar pendapat bersama DPR mengemukanan bahwa TNI akan membentuk 100 batalyon territorial pembangunan (BPT) di tahun 2025. Batalyon-batalyon ini akan ditempatkan di bawah Kodim untuk membantu percepatan pembangungan diberbagai bidang seperti pertanian, peternakan, perikanan, dan kesehatan. Selain itu, BTP ini akan didampingi 2 batalyon Komcad (Komponen Cadangan).

Hal ini tentunya bertentangan dengan UU TN sebagaimana disebutkan dalam penjelasan Pasal 11 ayat (2) bahwa “pelaksanaan penggelaran kekuatan TNI, harus dihindari bentuk-bentuk organisasi yang dapat menjadi peluang bagi kepentingan politik praktis dan penggelarannya tidak selalu mengikuti struktur administrasi pemerintahan. Alih-alih melakukan restrukturisasi terhadap komando territorial, pemerintahan ini justru berencana menambah jumlah komando teritorial termasuk memperluas fungsi dan tugasnya.

Manto menegaskan, penguatan komando teritorial ini tentunya tidak sejalan dengan agenda reformasi TNI. Salah satu agenda reformasi TNI adalah melakukan restrukturisasi Koter dan mengurangi jumlah Koter, bukan memperkuatnya. Struktur Koter adalah struktur penyangga Dwifungsi TNI sebagaimana terjadi di masa Orba. Karena itu, penguatan Koter ini kembali akan memperkuat Dwifungsi TNI. Struktur Koter potensial digunakan untuk kepentingan politik praktis.

Imparsial menilai, pada 100 hari pertama ini, Pemerintahan hari ini tidak hanya gagal mengawal proses reformasi TNI yang telah diperjuangkan selama bertahun-tahun, tetapi justru memperkuat militerisme dan mengembalikan Dwifungsi dalam berbagai aspek kehidupan bernegara. “Ke depannya, Imparsial khawatir bahwa pola kebijakan semacam ini akan terus berlanjut sehingga sangat berpotensi mengancam demokrasi dan membuka peluang pelanggaran yang lebih besar terhadap hak asasi manusia dan supremasi hukum,” pungkasnya. (MM)

 

Komentar