JAKARTA,SumselPost.co.id – Wakil Ketua Komisi XIII DPR RI Sugiat Santoso menegaskan pihaknya berkomitmen merampungkan Rancangan Undang-Undang tentang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) pada periode sekarang. Hal itu agar menjadi kepastian hukum bagi PPRT karena pembahasannya sudah selama 20 tahun tapi selalu gagal di DPR RI.
Demikian disampaikan politisi Gerimdra itu dalam forum legislasi “UU PPRT Menjadi Landasan Perlindungan Pekerja Rumah Tangga” yang digelar Koordinatoriat Wartawan Parlemen (KWP) bekerja sama dengan Biro Pemberitaan DPR RI bersama Anggota Baleg DPR RI Ledia Hanifa dan Wakil Ketua Komnas HAM Putu Elvina, di Gedung DPR RI Senayan, Jakarta, Selasa (16/9/2025).
Lebih lanjut Sugiat mengatakan iDPR, Komnas HAM dan kawan-kawan media mempunyai satu perspektif bahwa di periode ini dalam waktu yang secepat-cepatnya akhir tahun 2025 ini RUU PPRT harus ‘dimenangkan’ di DPR. Sebab, pembahasan RUU PPRT ini terlalu lama dibahas, padahal ini untuk rakyat kecil dan sama tidak ada kepentimgan politik.
“Saya kirai sudah keterlaluan RUU PPRT yang dibahas sejak 2004 ini gak tuntas-tuntas. Sehingga RUU PPRT ini merupakan ‘Pekerjaan Rumah’ yang harus segera dituntaskan. Terlebih, payung hukum ini berkaitan dengan nasib 5 jutaan lebih rakyat yang menggantungkan hidupnya sebagai PPRT,” jelas Sugiat.
Karena itu, wakil rakyat dari Dapil Sumatra Utara (Sumut) III itu berharap pembahasan RUU PPRT tidak hanya berhenti di Komisi XIII DPR maupun Baleg DPR RI, tapi ada tindak lanjut yang konkret dari pimpinan fraksi, pimpinan komisi, dan pimpinan DPR RI
untuk mengesahkan RUU PPRT ini menjadi Undang-Undang.
Menurutnya, sejauh ini tidak ada regulasi bagi para penyalur dan penerima jasa yang mengatur gaji para PPRT. Sementara jam kerja PPRT tidak mengenal waktu. “PPRT di Indonesia gajinya di bawah UMR, suka-suka majikan, ada yang cuma gaji di bawah Rp1 juta per bulan, padahal waktu kerjanya selama 24 jam,” ungkapnya.
Terlepas apakah isi RUU PPRT ini tidak sempurna, itu biasa nanti bisa direvisi. “Tapi, bahwa RUU PPRT ini suatu keharusan untuk kepastian hukum bagi PPRT, itu pasti. Maka RUU PPRT ini harus segera disahkan,” pungkasnya.
Sementara itu Ledia Hanifa mengakui memang terkait RUU PPRT ini ada beberapa hal yang masih harus didefinisikan; misalnya sebenarnya siapa sih yang dikategorikan PPRT ini, apakah yang dititipkan oleh keluarganya untuk membantu saudaranya ini atau tidak?Apakah yang disalurkan melalui penyalur resmi? “Juga yang dititipkan untuk disekolahkan, tapi imbalannya adalah menjadi PPRT? Dan lain-lain,” kata Ledia.
Hanya saja perlu diketahui bahwa RUU PPRT ini untuk di dalam negeri. Kalau untuk pekerja migran di luar negeri sudah diatur melalui pekerja migran dan UU Ketenagakerjaan. “Sejauh itu saya optimis RUU PPRT ini akan selesai pada masa sidamg tahun 2025 ini. Meski masih harus melakukan penyesuaian DIM (daftar inventarisasi masalah), rapat Baleg, pimpinan fraksi, dan pimpinan DPR RI,” kata politisi PKS itu.
Putu Elvina juga menyambut positif RUU PPRT ini masuk prolegnas dan akan segera disahkan. Komnas HAM harus menggaris bawahi bahwa tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Kata kunci pekerjaan yang layak untuk penghidupan bagi kemanusiaan artinya setiap pekerjaan pasti memiliki nuansa hak asasi manusia (HAM). “Komnas HAM sudah banyak mendorong melalui berbagai forum bahwa RUU PPRT ini sangat penting karena terkait 5 jutaan lebih rakyat kecil yang menjadi PPRT dan mayoritas adalah perempuan dan masih anak-anak,” ujarnya.
Mereka harus kerja di rumah secara ekslusif, ruang senyap dan pasti rentan. Bukan saja masalah upah sesuai UMR atau tidak? Tapi, tanpa perjanjian kerja, tanpa jam kerja, apakah PPRT itu pekerja formal atau non formal dan sebagainya itu akan terus menjadi perdebatan. “Jadi, Komnas HAM mendorong untuk segera disahkan sebagai upaya memberikan perlindungan dan pengawasan masyarakat terhadap PPRT. Apalagi, PPRT ini juga rentan dieksploitasi, kekerasan fisik.maupun seksual,” kata Putu Elvina. (MM)
Komentar