JAKARTA,SumselPost.co.id – Ketua Komisi Kajian Ketatanegaraan MPR RI, Taufik Basari, menekankan pentingnya meninjau kembali relevansi TAP MPR Nomor 1 Tahun 2003 dalam konteks politik Indonesia saat ini, bahwa ketetapan tersebut lahir dari semangat reformasi 1998 yang harus tetap menjadi pedoman penyelenggara negara. Baik ekselutif, yudikatif dan legislatif dari pusat hingga daerah.jangan sampai jauh dari rakyat.
“Kalau rakyat merasa amanahnya tidak dijalankan, berarti ada masalah. Masalah utama adalah soal etika berbangsa dan bernegara. Belakangan ini ditandai dengan meningkatnya kritik publik dan aksi demonstrasi. Kondisi tersebut sebagai tanda bahwa aspirasi rakyat belum sepenuhnya terakomodir dengan baik,” tegas Taufik Basari dalam diskusi konstitusi dan demokrasi Indonesia, “Evaluasi Keberadaan TAP MPR 1/2023 Tentang Peninjauan Terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan MPRS/MPR Tahun 1960 s/d 2002″, bersama Wakil Ketua Komisi Kajian Ketatanegaraan (KKK) MPR RI dari Partai Gerindra, Martin Hutabarat di Gedung MPR RI Senayan, Jakarta, Rabu (17//92025).
Padahal, banyak TAP MPR yang masih relevan untuk dijadikan rujukan, terutama yang berkaitan dengan pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN), rekomendasi kebijakan antikorupsi, serta etika kehidupan berbangsa dan bernegara. Tiga ketetapan itu seharusnya menjadi refleksi bagi para pemegang kekuasaan.
“Praktik politik oligarki tidak boleh dibiarkan. Kekuasaan harus dikembalikan ke rakyat sesuai konstitusi. Dan, dalam TAP MPR Nomor 1 Tahun 2003 yang lahir dari amanat UUD 1945 periode 1999–2002, ada yang masih berlaku, dicabut, atau berlaku sementara. Juga masih relevan dan tidak boleh diabaikan hanya karena muncul undang-undang yang baru,” kata politisi Partai NasDem itu.
Karena itu lanjut Taufik, semangat reformasi 1998 harus tetap menjadi fondasi berbangsa. “Kita ingin negara yang demokratis, bukan kembali ke praktik otoriter atau sentralistik. Banyak masalah dalam praktek pemilu yang makin transaksional, korupsi yang sampai ratusan triliun rupiah, kemiskinan, kebodohan dan ketertinggalan lainnya yang harus dibenahi,” ungkapnya.
Wakil Ketua Komisi Kajian Ketatanegaraan (KKK) MPR RI dari Partai Gerindra, Martin Hutabarat menegaskan pentingnya menghidupkan kembali perhatian terhadap ketetapan MPR) dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Menurutnya, TAP MPR Nomor I Tahun 2003 yang menjadi dasar hukum keberlakuan sejumlah ketetapan MPR, harus segera ditindaklanjuti agar tidak terus terabaikan.
Namun, setelah reformasi, kedudukan MPR bukan lagi senagai lembaga tinggi megara, sehimgga sejajar dengan lembaga negara lain, sementara kewenangan memilih presiden beralih langsung ke rakyat. “Dari 139 TAP MPR yang pernah dibuat sejak 1960, sebanyak 104 sudah dicabut. Sebagian lainnya masih berlaku hingga ada undang-undang yang menggantikannya. Masalahnya, banyak TAP MPR yang sampai sekarang belum ditindaklanjuti dalam bentuk undang-undang,” kata Martin.
Ia menyontohkan, TAP MPR terkait etika kehidupan berbangsa dan pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN), seharusnya dijadikan prioritas. Hilangnya nilai etika politik dan maraknya kasus korupsi saat ini menegaskan pentingnya implementasi TAP MPR tersebut.
Martin menambahkan, sejumlah undang-undang seperti tindak pidana korupsi dan tindak pidana pencucian uang (TPPU) memang sudah hadir, tetapi masih parsial dan belum sepenuhnya menjawab amanat TAP MPR itu. “Ada tuntutan agar TAP MPR Nomor I Tahun 2003 benar-benar dilaksanakan. MPR bisa menyarankan pada pemerintah dan DPR untuk menindaklanjuti ketetapan yang belum dijabarkan dalam undang-undang,” ujarnya.
Martin berharap pemerintah dan DPR harus menjadikan isu TAP MPR sebagai agenda serius. “Kalau sudah ada undang-undang, TAP MPR otomatis tidak berlaku lagi. Tetapi jangan dibiarkan menggantung tanpa tindak lanjut. Ini momentum bagi kita memperkuat etika berbangsa, bernegara, dan pemberantasan KKN,” pungkas Martin. (MM)
Komentar